JENDERAL Purnawirawan Soemitro kini tak angker seperti ketika menjabat Pangkopkamtib, sebelum pecah peristiwa Malari 1974. Belakangan, ia sering tampil dan berbicara di seminar-seminar dan menulis kolom di berbagai media massa. Pemikirannya di bidang politik dan kemiliteran acap mengagetkan. Bekas Wapangab dan Pangkopkamtib ini, misalnya, pernah menggulirkan masalah suksesi, yang segera menjadi isu nasional. Sebagian tulisan-tulisannya kini dirangkum dalam buku Tantangan dan Peluang 1993. Sebuah kumpulan pemikiran, yang secara keseluruhan berbicara mengenai langkah-langkah menghadapi pasca-Pemilu 1992 dan SU-MPR 1993. Rabu pekan lalu, buku yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan itu diluncurkan ke pasaran, ditandai dengan acara diskusi di kantor harian Suara Pembaruan, Jakarta. Ini merupakan buku kedua Soemitro setelah Mengungkap Masalah Menatap Masa Depan (1991). Dalam Tantangan dan Peluang 1993, selain mengupas masalah politik dan militer, Soemitro juga berbicara tentang transmigrasi. Tetapi, yang paling banyak mendapat sorotan peserta diskusi adalah tulisan di sekitar Dwifungsi ABRI. Gagasan Soemitro tetang peranan ABRI di masa mendatang memang terkesan progresif. Dalam "Peranan dan Hubungan ABRI-Sipil dalam Strategi Pembangunan di Indonesia", misalnya, ia menyinggung keterlibatan ABRI di bidang sosial politik. Ia mengingatkan bahwa keterlibatan ABRI, terutama TNI/AD, yang terlalu luas dalam kehidupan politik praktis akan mengekspos kelemahan-kelemahan yang tak perlu. "Misalnya, penyalahgunaan kekuasaan," katanya pada TEMPO. Dominasi ABRI lahir dari situasi "terpaksa" yang mengakibatkan ABRI kecewa. "Akibat ulah pemimpin politik," tulis Soemitro dalam bukunya. Kekecewaan pertama muncul pada 1948 setelah Perjanjian Renville, yang mengharuskan kantong-kantong perlawanan dikosongkan, ditandatangani. Ketika itu, semua pasukan dan rakyat harus masuk ke wilayah Republik yang luasnya hanya seperempat Pulau Jawa. Sedangkan rakyat yang ditinggalkan diteror oleh Belanda. Kekecewaan berikutnya muncul di masa demokrasi liberal, dan semakin tajam di zaman Nasakom, ketika masalah ideologi menjadi sumber konflik. Pancasila dan UUD 1945 terancam. Sementara itu, TNI menjadi bulan-bulanan politisi. Bahkan, tulisnya lagi, di zaman Nasakom, tak sedikit pimpinan TNI yang dituduh Nasakomphobi, dan kontrarevolusi. Serangkaian situasi krisis itulah yang mengilhami berlangsungnya Seminar Angkatan Darat di Bandung pada 1966. Dari sana, lahirlah Doktrin Cadek sebagai landasan formal Dwifungsi ABRI yang sekaligus melahirkan Orde Baru. Untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dan mengembalikan situasi normal, kata Soemitro, ABRI memang merekayasa kehidupan politik. Mayoritas jabatan penting di pemerintahan juga dipegang ABRI. Dan sejak saat itulah terkesan adanya dominasi ABRI, sedangkan posisi politisi sipil hanya sebagai subordinasi dari militer. Tetapi situasi krisis itu, menurutnya, sudah berlalu. Pengendalian politik harus dikembalikan ke situasi normal. Tiba saatnya, Doktrin Cadek yang berlaku hampir 25 tahun direevaluasi. Dalam tulisan "ABRI Perlu Mengkaji Ulang Peranannya" Soemitro menekankan agar meninjau kembali dan mengubah implementasi Dwifungsi ABRI. Sebab, dengan diterimanya Pancasila sebagai Asas Tunggal, ketegangan ideologis tak ada lagi. Semua lembaga demokrasi juga telah disusun dan berfungsi sesuai dengan UUD 1945. Toleransi kehidupan beragama pun telah tercipta. Peninjauan kembali masalah Dwifungsi itu diharapkan membuahkan konsep operasional atau konsep implementasi baru peran ABRI untuk menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks dan multidimensional. Ini bukan berarti Konsep Dwifungsi perlu diubah. Tetapi, implementasi dan intensitas keterlibatan ABRI di bidang politik tak perlu seperti masa-masa setelah G30S PKI. Kepeloporan ABRI, yang tercermin sejak proklamasi Kemerdekaan, juga perlu tetap dipertahankan. Karena ABRI bukanlah alat mati negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, kepeloporan itu terbatas sampai pada pemikiran dan pemecahan masalah. Tanpa harus terlibat dalam pelaksanaannya. Misalnya, bagaimana mengikis korupsi, mengatasi kesenjangan sosial, menghilangkan cara kerja birokrasi yang bertele-tele. Khusus di bidang politik dan pemerintahan, kepeloporan ABRI hendaknya ditekankan pada penciptaan peluang bagi kader-kader sipil agar lebih berperan. Mereka harus diberi kesempatan untuk memperoleh kembali kepercayaan dirinya. Di bidang birokrasi atau kepegawaian negara, dari tingkat bawah sampai eselon satu, sepenuhnya harus diisi oleh sipil. "Hal ini sudah dilakukan. Kalau dulu, paling tidak, 90% jabatan-jabatan penting dipegang militer, sekarang hanya tinggal kirakira 15%," ujarnya. Ia juga menulis, ada baiknya jabatan-jabatan, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, dan bupati, diperebutkan melalui pemilihan sesuai dengan konstitusi. Dan yang perlu digarisbawahi adalah: sewaktu kekuatan-kekuatan sosial politik melaksanakan tugasnya, ABRI tak perlu dilibatkan. Ini bukan berarti ABRI harus melepaskan diri dari politik. "ABRI bisa berperan dalam proses pengambilan keputusan politik pada tingkat DPR/MPR lewat wakil-wakilnya." Soemitro merasa optimistis bahwa generasi muda ABRI akan memberi peranan lebih banyak kepada politisi sipil. Mereka juga akan sanggup melaksanakan kepeloporannya secara konseptual. "Kita memiliki Akabri. Di sana, calon-calon perwira muda dilengkapi dengan pengetahuan nonmiliter. Jadi, secara akademis, mereka punya akses pada perkembangan-perkembangan nonmiliter." Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini