AFFANDI selalu menaikkan harga rata-rata lukisannya setiap kali ia pameran. "Kalau orang tetap membeli, ya, saya naikkan lagi, begitu terus," kata Almarhum, suatu kali. Dengan cara itu, Affandi mengatrol harga lukisannya sampai ke angka puluhan juta rupiah. Upaya mencari harga seperti itu, pekan lalu, menampilkan babak baru. Pelukis Sri Hadhy dan Jeihan Sukmantoro menjajal harga sampai Rp 250 juta untuk lukisan mereka melalui pameran berjudul Pameran Kolosal Dua Sahabat di Jakarta Design Center (JDC). Jeihan, pertengahan tahun lalu, sudah menawarkan karyanya seharga Rp 60 juta di Bursa Lukisan Hotel Hilton. Sementara itu, Sri Hadhy adalah pelukis yang kenal banyak pejabat tinggi. Di kantor Mendagri Rudini, terpampang sebuah lukisannya. Menko Ekuin Radius Prawiro mengaku punya tiga lukisan Sri Hadhy. Di masa kini, salah satu indikator harga dan pasar lukisan adalah koleksi para pejabat -- agak aneh memang. Pada pameran di JDC itu, Menteri Radius Prawiro tidak hanya meresmikan pameran. Ia bahkan menunggui buku tamu dan membisiki pengunjung agar membeli lukisan yang dipamerkan. Menko Radius sedang mengumpulkan dana untuk pembangunan gedung SMA 3 Yogyakarta. Sebagian hasil penjualan lukisan memang disisihkan untuk ini. Radius adalah anggota perkumpulan alumni SMA 3 itu, bersama Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, Menparpostel Soesilo Soedarman, dan Syaukat Banjaransari -- sekretaris militer presiden. Hasil penjualan lukisan dan niat menyumbang pendidikan hanya salah satu sisi pameran tadi. Di samping itu, wajar saja bila para pelukis mempunyai pertimbangan-pertimbangan profesional. Antara lain upaya mengatrol harga lukisan seperti yang dilakukan Affandi. Namun, cara Jeihan dan Sri Hadhy tidak hanya menunggu. Mereka mencoba menggali peluang untuk mencapai harga tinggi itu. Ihktiar pemasaran pameran ini lumayan berhasil. Pengusaha-pengusahaa besar, seperti Prayogo Pangestu dan Soedarpo, hadir pada pembukaan pameran. Beberapa lukisan laku terjual di hari pembukaan itu walau angka Rp 250 juta untuk sebuah lukisan belum "tembus". Upaya mempengaruhi harga di pasar lukisan adalah gejala baru yang sekarang ini semakin nyata. Fungsi pameran lukisan di masa kini kebanyakan diwarnai tujuan itu. Bahkan sudah ada pameran berkala yang berfungsi sebagai bursa lukisan. Di sini, ditampilkan lukisan-lukisan yang dianggap sudah masuk pasar, lengkap dengan harganya. Karya-karya ini kemudian dijual dengan sistem lelang tertutup. Mempengaruhi pasar dengan menggali peluang adalah cara lazim dalam perdagangan barang seni. Ini yang dilakukan balai lelang Amerika Sotheby's tahun 1987. Allan Bond, pengusaha kaya Australia yang sedang mencari nama internasional, membeli sebuah karya Van Gogh seharga US$ 53,9 juta di balai lelang itu. Inilah lonjakan harga terbesar dalam sejarah perdagangan barang seni. Standar harga Van Gogh pun bisa dikatrol. Tahun 1990, sebuah lukisan Van Gogh terlelang US$ 82,5 juta. Belakangan, terungkap Bond dibujuk Sotheby's untuk "menembak" angka US$ 53,9 juta, dengan janji ia boleh membayar separuh dulu. Sisanya dianggap kredit. Celakanya, bisnis Bond mengalami kesulitan dan ia tak mampu membayar angsuran. Lukisan Van Gogh, koleksi Bond, ditarik kembali secara diamdiam. Namun, "permainan" ini akhirnya terbongkar. Reputasi Sotheby's turun dan lelang-lelangnya sepanjang tahun lalu rata-rata gagal. Yang terbongkar pada peristiwa lelang Van Gogh di Sotheby's itu adalah usaha mencampuri mekanisme pasar secara berlebihan. Nilai lukisannya sendiri tidak diragukan. Karya Van Gogh -- bergaya ekspresionisme Jerman -- bersama lukisan-lukisan impresionisme, dianggap karya-karya yang menandai awal kebudayaan modern dunia. Para pembeli juga tahu bahwa lukisan Van Gogh yang beredar sangat sedikit. Jumlah terbesar dimiliki Museum Van Gogh di Belanda, dan tidak akan lepas ke pasar. Affandi "bermain" lebih cermat. Ia dekat dengan dua kelektor besar karya-karyanya, Almarhum Raka Sumichan dan Gudang Garam. Keduanya tidak pernah menjual lukisan Affandi dalam jumlah besar. Maka, bagi Affandi, tidak sulit mengukur harga yang terjadi akibat mekanisme pasar. Karena minat beli masih selalu lebih besar daripada produktivitasnya, wajar kalau harga naik terus. Di samping itu, nilai lukisan Affandi tidak perlu diragukan. Pertumbuhan perdagangan lukisan di masa kini membuat situasi pasar jauh lebih rumit ketimbang keadaan yang dihadapi Affandi. Pangsa pasar para pelukis sudah terpecah sangat banyak. Peredaran lukisan tidak lagi ditentukan para pelukis sendiri, tapi juga galeri, pedagang lukisan, dan kolektor yang melihat peluang. Minat beli, sementara itu, sulit ditebak. Selain daya beli yang luar biasa mengejutkan, belum terlihat ada patokan lain. Dalam situasi semacam itu, banyak pelukis melakukan "terjun bebas". Menggali semua peluang yang terlihat dan terutama menguatkan sektor pemasaran. Di sini, percobaan menetapkan harga praktis tidak punya batas. Dan harga yang tampil ditetapkan untung-untungan dan bukan akibat mekanisme pasar. Tradisi pameran mengetengahkan nilai-nilai seninya praktis sering dilupakan. Padahal tak bisa disangkal, harga karya berakar di sini. Pameran Jeihan dan Sri Hadhy termasuk yang larut ke trend pameran lukisan masa kini. Katalog pameran yang cukup tebal tidak banyak memberikan informasi tentang karya-karya mereka. Bahkan biodata dan data perjalanan berkarya tidak bisa ditemukan, hal yang lazim dalam pameran di mana pun. Paling tidak, inilah keterangan minimal untuk mengenal reputasi seorang seniman. Panduan untuk mengamati sangat diperlukan, mengingat kedua pelukis masing-masing menampilkan 50 karya. Jarak pembuatan lukisan Jeihan yang dipamerkan cukuppanjang, 1972-1991. Karena ia pelukis yang nyaris tak pernah mengubah tema lukisannya, perjalanan berkaryanya hanya bisa dilihat pada nuansa perubahan yang subtil. Untuk ini diperlukan pengelompokan. Pada Pameran, lukisan Jeihan dan lukisan Sri Hadhy yang ditempatkan berselang-seling, mengganggu upaya mengamati kualitas lukisan. Bila pameran lukisan melupakan nilai-nilainya sendiri, ke mana sebetulnya harga lukisan digantungkan? Bila pembelinya juga tidak peduli, inilah kejanggalan yang sulit dipahami. Jim Supangkat dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini