Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panembahan Reso tanpa Burung Merak

Pertunjukan drama adalah seni peran, musik, koreografi, dan semua unsur panggung bertolak dari naskah yang kuat yang dipadukan oleh sutradara menjadi suguhan yang memberikan rasa nyaman dan menumbuhkan inspirasi. Itulah dua Panembahan Reso, 1986 dan 2020.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adegan pembuka dalam pentas Panembahan Reso di Ciputra Artprenuer, 25 Januari 2020./Lassak Imaji/Tagor Siagian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI panggung pertunjukan, Panembahan Reso 34 tahun kemudian, Sabtu, 25 Januari lalu, adalah tokoh yang serupa tapi tak sama. Di teater di Ciputra Artpreneur, Jakarta, itu, sang tokoh terasa menyatu dengan para pemain yang lain. Memang ia tetap mudah ditemukan oleh penonton dari ucapannya, dari cara bergerak, dari kostum. Namun Whani Darmawan, sang pemeran, tak sebagaimana W.S. Rendra ketika pada 1986 memerankan tokoh yang sama, sejauh yang saya bisa ingat. Rendra, dalam pementasan perdana naskah dengan judul tokoh itu, Panembahan Reso, bukan hanya penulis naskah dan sutradara drama yang memerlukan sekitar 40 pemain. Dia juga menjadi pusat perhatian begitu ia tampil. Tak begitu keliru jika ia mendapat julukan Sang Burung Merak--begitu ia muncul dalam satu adegan, “burung-burung” yang lain seperti kehilangan warnanya. Bahkan, ketika ia dianggap oleh para pemain lain tidak tampil prima pada hari pertama dari dua hari pementasan di Istora Senayan, Jakarta, Agustus 1986, ia tetap “merajai” panggung, tetap ada tepuk tangan penonton setiap kali ia muncul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sukses Panembahan Reso 1986, menurut hemat saya, didukung dua hal pokok. Yang pertama adalah naskah; seperti halnya puisi-puisi Rendra yang mudah dipahami, memanfaatkan bahasa sehari-hari tapi dengan pilihan kata dan susunan kalimat sedemikian rupa hingga bernas, menyajikan imaji, dan jauh dari bahasa klise, demikianlah naskah ini. Panembahan Reso mudah diikuti, alur cerita jelas, dan tiap adegan mengandung perkembangan yang mengundang keingintahuan: apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang kedua adalah penyutradaraan. Sampai hari ini saya berpendapat bahwa Rendra adalah empu panggung: ia peka kapan adegan harus berubah karena sudah menjurus ke suasana membosankan. Biasanya ada musik atau (setelah Rendra belajar silat di Persatuan Gerak Badan Bangau Putih) disajikan semacam demonstrasi jurus silat oleh pemain ataupun oleh murid-murid Bangau Putih. Hasilnya, pertunjukan teater yang membuat penonton betah di kursinya. Kalau tak salah, terakhir kali Rendra menyutradarai Sobrat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2005, “ilmu” itu masih ampuh diterapkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sobrat adalah naskah pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta karya Arthur S. Nalan, anggota Studiklub Teater Bandung. Mungkin Rendra memilih naskah itu karena mudah diikuti, tidak rumit, dan mirip sebuah dongeng, dengan dialog yang memancing tafsir, bukan slogan. Banyak pendapat mengatakan bahwa pementasan Sobrat buruk, sekadar hiburan. Bagi saya, Sobrat mencerminkan kepiawaian Rendra menggarap panggung, menyatukan pemain yang kemampuan berperannya beragam (Sobrat diperankan oleh anak Rendra yang baru kali itu ikut pementasan drama). Dan, tepat di saat adegan mulai membosankan, ada tari dan musik yang membuat penonton tetap duduk. Kurang-lebih begitulah pementasan Panembahan Reso 1986: drama sekitar tujuh jam, dengan sekali waktu istirahat, di arena olahraga berkapasitas 10 ribu penonton dan, dalam dua hari, tiga perempat tempat penonton terisi. Memang, sehabis waktu istirahat, penonton berkurang, tapi seingat saya tak terlalu berarti: pada pukul tiga pagi, dalam adegan penutup, masih separuh kapasitas tempat penonton terisi.

Pementasan Drama Panembahan Reso oleh Bengkel Teater di Istora Senayan Jakarta, 1986./Dok TEMPO/Rini PWI Asmara

Panembahan Reso 2020 memang tak sekolosal pendahulunya dalam hal ruang pertunjukan, jumlah penonton, dan durasi pementasan. Dan, dalam persiapan, juga tak seheboh 34 tahun lalu: waktu itu adalah pertama kali Rendra bisa tampil setelah lima tahun dramawan yang populer dengan protes sosial dan mendapat respons penonton ini dilarang mementaskan pertunjukan teater. Maka persiapan Panembahan Reso 1986 mendapat publikasi ramai di media massa. Kali ini Panembahan Reso hanya berlangsung tiga jam dan tak ada dukungan berarti dari media massa ataupun media sosial selama persiapannya. Ini bukan sebuah excuse dari penulis artikel ini yang didapuk sebagai salah satu “konsultan karya dan visual” pementasan Panembahan Reso--meski sesungguhnya hampir tak ada yang dilakukannya.

Untunglah Panembahan Reso tujuh jam dan yang tiga jam memiliki kekuatan yang sama: naskah. Percakapan dengan bahasa yang plastis, memancing imaji, mencerminkan kecerdasan, dan “menghibur”. Yang saya ingat, percakapan Reso dengan istrinya.

Istri: Semua cita-cita sudah Kakanda capai. Kakanda sudah mulia dan jaya (…) Sekarang masih kurang apa?

Reso: Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala.

Istri: Apakah yang Kakanda lihat di sana?

Reso: Takhta Raja.

Istri: Duh Gusti Jagad Dewa Batara!

Atau percakapan antara Siti Asasin, sang pembunuh bayaran, dan Ratu Dara, salah seorang istri raja yang bercita-cita menduduki takhta.

Siti: Syaraf-syaraf Anda bergetar. Bibir Anda terbuka dan mengering, napas memburu, bola mata sedikit berair (…) Tandanya gairah Anda bangkit.

Dara: Kenapa begitu?

Siti: Kekerasan menimbulkan gairah Anda. Sama dengan hamba. Bagi kita, kekerasan bisa menjadi keindahan. Hamba tidak mau membunuh tanpa gaya yang indah.

Adapun maksud saya, penyuntingan dari naskah tujuh jam menjadi tiga jam bukan hanya tak mengurangi pokok kisah. Daya pukau bahasa dalam percakapan juga tetap bertahan. Rendra sudah barang tentu sangat memahami hal ini. Hanindawan, sutradara Panembahan Reso 2020, penyunting utama naskah menjadi tiga jam, tentulah memahami kekuatan naskah. Itu tertontonkan selama tiga jam pertunjukan: boleh dikata tak ada “pergerakan” berarti di panggung. Penempatan dan pengelompokan pemain bisa dibilang statis. Bahkan adegan percakapan dua atau tiga pemain mengambil salah satu sudut panggung. Gerak pemain pun “seperlunya”. Konsep ini dengan demikian mengutamakan percakapan sebagai suguhan utama. Walhasil, disengaja atau tidak, artikulasi, intonasi, dan diksi dalam percakapan menjadi hal utama hingga Panembahan Reso ternikmati. Sedangkan kemungkinan datangnya kebosanan terusir oleh disajikannya sejumlah sajian “tari” dalam beberapa pergantian adegan, yang koreografinya digarap Hartati dan musik diaransemen Dedek Wahyudi.

Memang tak lalu berarti pertunjukan sempurna tersaji. Penyuntingan dari tujuh jam menjadi tiga jam berisiko ada hal-hal yang terpaksa dibuang padahal bagian tersebut adalah “penjelasan” mengapa seorang tokoh atau sebuah peristiwa berkembang menjadi seperti yang tersaji. Yang saya ingat, sulit memahami mengapa Pangeran Rebo mengusulkan kepada raja agar lebih dulu melakukan perundingan dengan Panji Tumbal, sang pemberontak, sebelum mengirim pasukan untuk menumpasnya. Pada adegan yang dihapus, ada pertemuan antara Tumbal dan Rebo--Tumbal menawari Rebo takhta karena ia tak ingin menjadi raja. Juga kurang jelas keputusan istri Reso meracuni suaminya dan sebaliknya, Reso memutuskan menghabisi istrinya. Percakapan dan solilokui yang menyugestikan hal itu dihilangkan. Juga keputusan Ratu Dara membunuh sang raja, yang adalah anak kandungnya, menjadi kurang jelas. Kita terpaksa mereka-reka sendiri, barangkali karena itu, atau ini, atau yang lain.

Yang juga sebagian tak saya dengar adalah percakapan “remeh-temeh” yang menjadikan drama ini berdurasi tujuh jam tapi tetap menghibur. Umpamanya percakapan Reso dengan Siti Asasin ini:

Reso: Apakah kamu selir Aryo Sekti?

Siti: Bukan.

Reso: Kenapa ia tak punya selir dan tak punya istri.

Siti: Tidak tahu.

(…)

Reso: Tetapi, apakah kamu punya hubungan gelap dengan Aryo Sekti?

Siti: Hubungan gelap yang kadang-kadang.

Reso: Kamu kelihatan mencintainya.

Siti: Yah, timbal balik sekadarnya.

Memang percakapan itu tak perlu benar ketika sutradara mempertahankan penyuntingan fokus pada ihwal perebutan takhta dan bunuh-membunuh yang mengawali dan mengikutinya. Namun tidakkah yang “remeh-temeh” itu “menghidupkan” peran-peran, sehingga mereka terasa ada “bersama” kita sebagai manusia dan bukan sekadar tokoh fiksi? Untunglah permainan beberapa pemeran menolong “memanusiakan” tokoh-tokoh itu: Gigok Anurogo (Raja Tua), Whani Darmawan (Reso), Sha Ine Febriyanti (Ratu Dara), Jamaluddin Latif (Rebo), dan, kejutan bagi saya, pemain yang baru naik pentas, Ucie Sucita (Siti Asasin). Terakhir, mesti dicatat, yang membuat panggung yang miskin gerak ini tetap enak dilihat: kostum rancangan Retno Damayanti.

BAMBANG BUJONO, PENGULAS SENI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus