Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sore itu Ken Zuraida, istri mendiang W.S. Rendra, mengenang kembali pementasan Panembahan Reso tahun 1986. Beberapa kali di tengah percakapan, dia terbatuk, dalam dan panjang, hingga suaranya menjadi lirih sekali. “Paru-paru kiri saya sedang jadi pemalas akhir-akhir ini,” kata Ida, panggilan Ken Zuraida, 65 tahun. Walau begitu, dia lancar sekali mengingat dan bercerita tentang almarhum suaminya. Di rumah panggung yang lengang dan dikelilingi rimbun pepohonan di Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Jawa Barat, Ida menuturkan masa-masa Rendra dan Bengkel Teater dicekal Orde Baru hingga asal-usul Panembahan Reso, sebuah pentas bersejarah. Naskah tentang perebutan takhta oleh raja-raja tanah Jawa itu dipentaskan di Istora Senayan, Jakarta, setelah sembilan tahun Si Burung Merak--julukan Rendra--absen dari panggung. Durasinya tujuh-delapan jam. Pada 25 Januari lalu, Panembahan Reso dihidupkan kembali di panggung Ciputra Artpreneur, Jakarta, meski dengan pemadatan--hanya menjadi tiga jam. Apa komentar Ken Zuraida?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panembahan Reso adalah pertunjukan pertama W.S. Rendra pada 1986 setelah sembilan tahun absen berpentas. Apa yang terjadi saat itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya pentas. Semua public appearance, apakah itu baca puisi; wawancara radio, televisi, koran, ataupun majalah, juga tidak boleh. Pergi ke luar kota juga susah banget. Sudah biasa ada koleksi buku-buku kami yang diacak, dokumen hilang. Tiba-tiba hidup begitu berat. Sampai Rendra sempat mengungkapkan, “Kalau karya tulis bisa saja diterbitkan setelah saya tiada. Tapi teater dan akting? Tidak mungkin dilakukan setelah saya mati.” Dia tidak bisa bekerja di mana pun. Dia menjaga rumah, di Bengkel. Saya yang bekerja.
Bagaimana Panembahan Reso akhirnya boleh dipentaskan pada 1986?
Proses perizinan panjang, bertahun-tahun. Pahitnya bukan main. Sebenarnya judul Panembahan Reso tercetus sejak 1983. Tahun itu kami mendapat kabar gembira bahwa orang-orang yang dilarang pentas (oleh Orde Baru), seperti Oma Irama dan Guruh Sukarno Putra, sudah boleh pentas lagi. Rendra juga diundang oleh Toety Heraty, Ketua Dewan Kesenian Jakarta saat itu, untuk pentas di Taman Ismail Marzuki karena katanya sudah bisa main. Saat itu, Rendra langsung menyebut akan mementaskan Panembahan Reso. Ternyata pemberian izin itu hanya isu. Rendra jadi agak psikosomatik setelah itu. Tapi dia tetap minta izin kesana-ke mari. Sampai pada 1986, ketika Rendra sedang makan di restoran kesukaannya, restoran Jepang di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan), bersama manajer kelompok kami, Albert A. Razak. Mereka bertemu dengan seseorang di sana, yaitu Kolonel Sarwono, Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta, yang pada 1978 memberi Rendra izin untuk baca puisi di Yogya. Ternyata kolonel itu sudah menjadi jenderal! Jenderal Sarwono memberi izin kepada Rendra untuk mementaskan Panembahan Reso. Ini menjadi izin final setelah bertahun-tahun diusahakan ke mana-mana. Seusai pertemuan itu, Rendra pulang dengan gemetaran. “Aku bisa pentas, Ma! Aku bisa main, Ma,” begitu katanya kepada saya.
Mengapa durasi pentas Panembahan Reso begitu panjang?
Naskah ini dari awal memang panjang. Kemudian, saat bertemu dengan Sarwono, Rendra menegaskan tidak mau ada satu patah kata pun dipotong dari naskahnya. Jenderal itu mengizinkan, dengan syarat, kalau terjadi apa-apa saat pementasan, Rendra akan ditangkap. Tanpa ada pemotongan, pementasan menjadi sekitar delapan jam. Main mulai jam 8 malam, jam 5 pagi baru selesai. Dan, alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Memangnya nonton teater bakal terjadi apa, sih?
Benarkah Rendra sempat membakar sendiri naskah Panembahan Reso yang sudah dia tulis?
Setelah judulnya dicetuskan pada 1983, Oktober 1985 Rendra mulai menulis naskah Panembahan Reso. Dengan naskah itu, kami sudah melakukan dramatic reading, sudah latihan. Tapi, setelah beberapa minggu, tiba-tiba Rendra menarik kembali naskah itu, menyobek-nyobek, lalu membakarnya. Kemudian dia menulis ulang lagi.
Mengapa sampai dibakar?
Rendra memang begitu. Baik untuk naskah teater maupun puisinya. Dia keras sekali kepada dirinya, menyeleksi sedemikian ketat karya-karyanya sendiri. Yang dia tidak puas, langsung dibakar. Saya kecolongan terus. Seharusnya saya copy dan arsipkan, ya. Tapi selalu keduluan dibakar. Mungkin terjadi ratusan kali.
Tentu ada euforia karena Rendra bisa berpentas lagi....
Memang Renda kan sudah punya publik sendiri. Untuk pentas Panembahan Reso di Istora Senayan, 7.500 tiket terjual dalam satu malam. Geladiresik saja penuh. Penonton datang bawa termos dan makanan sendiri. Selama delapan jam, tidak ada yang kabur, tidak ada yang tidur. Semua diam dan menonton. Untuk Bengkel Teater, persiapannya pun luar biasa. Panggungnya saja kan gede banget, 20 x 18 meter. Perlu teknik dan latihan keras. Awalnya kami latihan seperti orang gila saja karena tidak tahu kan kapan akan pentas.
Seperti apa latihannya?
Latihan naskah singkat sekali. Yang panjang adalah latihan silat, tari, silat, tari. Setiap hari latihan mulai jam 04.30, baru selesai jam 10 malam. Latihan silat dua jam pagi hari, dua jam siang hari, dua jam malamnya. Latihan tari pernah dengan cara disuruh mengangkat tangan ke atas selama empat jam enggak boleh turun. Pernah juga tengah malam aktor disuruh masuk ke kamar mandi ukuran 1,5 x 2 meter. Lampu dimatikan. Lalu saya disuruh mengumpulkan keranjang sampah. Isinya ditumpahkan dari atas bolongan kamar mandi. Jeritan dan sumpah serapah bisa terdengar dari dalam. Dari jam 12 sampai setengah 4 pagi. Enggak laki-laki, enggak perempuan, apa pun perannya. Latihannya aneh-aneh. Rendra menyiapkan latihan model begini khusus untuk Panembahan Reso, untuk menempa stamina. Rendra juga memberi kelas setiap malam. Berbulan-bulan dia mengajarkan filsafat tak putus-putus, dari Aristoteles. Kira-kira dua bulan sebelum pentas, baru naskah dikasih. Jadi, bayangkan, singkat sekali latihan naskahnya.
Panembahan Reso dipentaskan kembali. Apakah ini pertama kalinya naskah tersebut dipentaskan ulang?
Upaya untuk dramatic reading sebenarnya banyak dilakukan, di Medan, Jakarta, Yogyakarta. Tapi selalu sepotong-sepotong. Baru kali ini naskah Panembahan Reso ditampilkan kembali dengan utuh, hanya dipadatkan. Saya berterima kasih karena sudah membawa kembali teks yang tertidur lama ini. Dan mereka berhasil merebut panggungnya sendiri.
Apa perbedaan paling mencolok dari pentas di Ciputra Artpreneur dan di Istora?
Paling jelas tentu persoalan teknis. Dulu fasilitas panggung terbatas, jadi harus kerja ekstrakeras untuk bisa bikin cahaya tertentu, fokus lampu, dan sebagainya. Semua manual sehingga terasa khas sekali. Kalau sekarang kan sudah dengan komputer semua. Dari segi naskah, di akhir cerita, Hanindawan mematikan Panembahan Reso dan Panji Sekti, hanya Ratu Kenari yang hidup. Dalam teks Rendra, Reso ditikam di akhir oleh Ratu Kenari, lalu Ratu Kenari menikam dirinya sendiri. Akhir ini ditulis Rendra karena sebenarnya masih ada sekuel dari Panembahan Reso. Rendra merencanakan sebuah trilogi, tapi tidak sempat jadi.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo