Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pemeriksa Keuangan memilih 29 dari ratusan kasus untuk diselesaikan sepanjang tahun ini.
Skandal asuransi Jiwasraya menjadi kasus prioritas yang ditangani lembaga auditor negara tersebut.
BPK menjaga integritas pegawainya melalui whistleblowing system dan Majelis Kehormatan dan Kode Etik.
BADAN Pemeriksa Keuangan memiliki seabrek pekerjaan rumah. Tahun ini saja lembaga auditor negara tersebut mematok target menyelesaikan 29 kasus, meliputi perkara di pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, hingga badan usaha milik daerah. “Kami pilih kasus-kasus yang kalau dihitung kerugian negaranya besar,” kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Kamis, 23 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kasus yang paling menyita perhatian BPK adalah skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yang diperkirakan menderita kerugian Rp 13,7 triliun akibat kegagalan investasi saham. BPK mengendus adanya ketidakberesan sejak memeriksa keuangan perusahaan asuransi pelat merah itu pada 2006. Kini BPK bekerja sama dengan Kejaksaan Agung yang sedang mengusut dugaan korupsi dalam perkara ini dan telah menetapkan lima tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung mengatakan penuntasan skandal Jiwasraya menjadi perhatian khusus karena skala kasusnya masif. Pemulihan kredibilitas industri asuransi, pengembalian uang nasabah, dan soal menjaga kepercayaan investor menjadi pertimbangan utama BPK dalam menangani perkara ini. “Untuk JS Saving Plan, ada 7,7 juta nasabah dan 17 ribu investor, termasuk dari luar negeri,” ujar Agung, 48 tahun, merujuk pada produk investasi yang menjadi pangkal kemelut di Jiwasraya tersebut.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Aisha Shaidra, Agung menceritakan seputar tantangan BPK dalam penanganan berbagai kasus, pembenahan lingkup internal, soal masih adanya praktik jual-beli opini dalam audit keuangan, serta upayanya menjaga independensi BPK. Agung juga menjelaskan tentang beberapa kasus, tapi menolak dikutip.
Bagaimana BPK menentukan 29 kasus untuk ditangani?
Pemeriksaan investigatif itu mahal. Jadi kami memilih kasus-kasus yang kalau dihitung kerugian negaranya besar. Jangan sampai biaya pemeriksaannya, misalnya, Rp 750 juta, tapi uang yang kembali Rp 200 juta. Itu namanya pemborosan.
Pemilihannya seperti apa?
Kami pilih dari 200-300 kasus yang dinyatakan layak masuk ke tahap lebih lanjut, baik pemeriksaan investigatif, penghitungan kerugian negara, maupun pemberian keterangan ahli. Tapi utamanya di pemeriksaan investigatif dan penghitungan kerugian negara. Prosesnya ada beberapa tingkatan, dari pengaduan masyarakat, permintaan pemeriksaan, penelaahan informasi awal. Lalu ditentukan mana yang bisa diaudit.
Kasus apa saja yang menjadi prioritas BPK?
Kami tangani semuanya tahun ini. Tapi kami memang memprioritaskan Jiwasraya.
(Selain Jiwasraya dan kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia [Persero] atau Asabri, Agung enggan memerinci perkara lain yang sedang ditangani BPK.)
Bagaimana kerja sama BPK dan Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus Jiwasraya?
Kejaksaan Agung yang menggeledah (harta dan aset para tersangka), barangnya diberikan ke kami, lalu kami periksa. Tapi, pada saat yang sama, kami juga melakukan pemeriksaan investigatif. Jadi bersinergi.
Duduk persoalan kasus ini bagaimana?
Masalah Jiwasraya bukan sesuatu yang baru. Kami sudah lama memantau dan melakukan pemeriksaan pada 2006. Bahkan kami melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu khusus SPI (Sistem Pengendalian Internal) tahun 2011. Dari situ, kami lihat dari awal entitas ini ada masalah. Kemudian eskalasinya jauh lebih tinggi. Kami memutuskan melakukan pemeriksaan investigatif pada 2018. Tahun lalu, saat intensitas kegiatan politik sangat tinggi, kami sempat menghentikan sejumlah pemeriksaan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Tapi setelah itu kami lanjutkan untuk mendukung proses penegakan hukum.
Jiwasraya beberapa kali mengalami gagal bayar. Apakah BPK sudah mendeteksi hal ini sejak awal?
Kami melihat sudah ada masalah pada 2007. Sebelumnya mereka melakukan window dressing (aksi mempercantik laporan keuangan atau portofolio bisnis untuk menarik minat investor). Dari hasil pemeriksaan sistem pengendalian internalnya, kami melihat Jiwasraya tidak melakukan penilaian risiko korporasi pada saat itu.
Pelanggaran apa saja yang ditemui?
Terkait dengan kebijakan investasi. Saat itu kami belum melihat kasusnya sekompleks sekarang karena memeriksanya hanya ke Jiwasraya, tidak terkait yang lain. Kami berterima kasih kepada aparat penegak hukum yang mengusut kasus ini. Dengan demikian kami mempunyai titik masuk dan bisa mengidentifikasi potensi kerugian negara. Dengan adanya kerugian negara, kasus ini bisa masuk tindak pidana korupsi. Jika tidak begitu, skandal Jiwasraya hanya kejahatan pasar modal.
Jaksa Agung menyatakan potensi kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 13 triliun. Apakah ada kemungkinan bertambah?
Ya sekitar itulah. Tapi sedang diidentifikasi lagi, dihitung lagi. Kejaksaan Agung dan BPK terlibat dalam penuntasan kasus Jiwasraya sebagai bagian dari upaya memastikan siapa pun yang berinvestasi dilindungi secara hukum. Sebab, ada 7,7 juta nasabah dan 17 ribu investor, termasuk dari luar negeri, untuk produk JS Saving Plan.
Investor sebanyak itu dari mana saja?
Saya enggak bisa menyebutkannya. Kami berharap ini tidak gaduh. Penanganan kasus ini terpaksa dengan penegakan hukum karena nyatanya tanpa itu enggak selesai.
Kapan tenggat penyelesaiannya?
Untuk Jiwasraya, kami menggunakan dua skema. Pertama, penghitungan kerugian negara enggak akan lebih dari dua bulan. Ini terkait dengan lima orang yang sekarang sudah jadi tersangka. Insya Allah bisa naik ke tingkat penuntutan. Proses hukum harus kita selesaikan. Tapi yang terlibat kan banyak. Nanti akan ada lanjutannya, seri-serinya. Kami juga ingin ada perbaikan sistem yang meluas, bukan hanya di Jiwasraya, tapi juga pasar modal dan lainnya.
Apa saja tantangan dalam menangani kasus ini?
Kami membutuhkan waktu untuk menganalisis 55 ribu transaksi. Kami enggak bisa sendirian. Kami berharap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Bank Indonesia bisa membantu.
Otoritas Jasa Keuangan sempat menuai sorotan karena dianggap tidak optimal dalam mengawasi persoalan keuangan Jiwasraya. Tanggapan Anda?
Subject to be audited. Sedang dalam proses pemeriksaan. Karena itu, tidak dapat dijawab sekarang. Ada dua pengawas di OJK. Ada yang khusus mengenai asuransi dan pasar modalnya. Di bawah pasar modal sebetulnya ada penyidik.
Seharusnya pengawasan oleh OJK bisa masuk dari situ?
Ini you yang ngomong, ya. You yang menyimpulkan. Kalian bisa lihat salah satu tersangka punya 635 perusahaan di bursa. Bayangkan seperti apa bentuknya itu.
Apakah ada kemungkinan pemberian dana talangan (bailout) untuk mengembalikan dana nasabah dan investor?
Saya punya keyakinan pemerintah berkomitmen kuat untuk masalah ini. Salah satunya menjaga reputasi agar Indonesia tetap menjadi negara yang nyaman dan menarik bagi investor untuk berinvestasi. Ini terkait dengan pasar uang kita. Saya menyarankan agar semua skema penyelamatan yang sekarang sedang didesain jangan sampai mengecilkan proses hukumnya.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Agung Firman Sampurna (kiri) bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Burhanuddin memberikan keterangan pers terkait pemeriksaan Asuransi Jiwasraya di Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Ada berapa skema penyelamatan selain pemberian dana talangan?
Saya kira (bailout) itu belum termasuk, ya. Bukan berarti nasabah dan investor tidak dilindungi. Kami sendiri sedang membikin kira-kira (skemanya) seperti apa. BPK tak hanya berwenang melakukan pemeriksaan yang di dalamnya ada temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Kami juga berwenang membuat bahan pendapat.
Apa pertimbangan BPK tidak memasukkan bailout ke skema penyelamatan Jiwasraya?
Kami belum bisa menjelaskan apa-apa. Yang jelas fokus kami sekarang membantu penegakan hukum agar kerugian negara bisa dihitung. Baru kita lihat nanti sisanya pilihannya seperti apa yang tidak memberatkan anggaran negara. Pemerintah kan tidak harus keluar cash out dan tidak membuat BUMN lain yang tidak sakit jadi ikut sakit. Jangan diholdingisasi. Nanti ada satu tahap di mana kami menawarkan beberapa hal kepada pemerintah.
Anda akan menyampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo?
Kami menyampaikan pemeriksaan investigatif kepada aparat penegak hukum. Nanti Kejaksaan Agung menyampaikannya langsung ke Presiden. Kami menyiapkan skema dalam bentuk bahan pendapat terkait dengan kebijakan yang bisa dipilih oleh Presiden.
Sekarang mencuat wacana pembentukan panitia khusus di Dewan Perwakilan Rakyat untuk membongkar skandal Jiwasraya.
Kalau itu, jangan elu tanya apakah bagusnya pansus atau panja (panitia kerja).
Selain Jiwasraya, ada kasus Asabri yang menyedot perhatian publik.
Kami sudah melakukan investigasinya. Harus dipahami, walaupun kasusnya juga tidak kecil, ada perbedaan perlakuan. Di Asabri tidak terjadi gagal bayar. Tapi bukan berarti tidak ada masalah. Kami lihat bagaimana penipuannya, siapa yang bertanggung jawab, dan berapa kira-kira indikasi kerugian negaranya.
Benarkah kasus Asabri mirip dengan Jiwasraya?
Modusnya sama.
Bagaimana dengan orang-orang yang terlibat?
Kami tidak bisa menyampaikannya karena itu bagian dari proses pemeriksaan.
Jaksa Agung menyebutkan penanganan kasus Asabri akan berbeda karena sebagian anggota direksinya tentara aktif. Menurut Anda bagaimana?
Sebenarnya enggak berpengaruh. Kami juga memeriksa Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian. Persoalannya bukan itu. Di Asabri enggak ada kasus gagal bayar. Di Asabri berbeda posisinya karena ada angsuran iuran pensiun yang dipotong langsung dari yang bekerja di TNI, Polri, dan Kementerian Pertahanan.
Kapan pemeriksaan kasus Asabri dirampungkan?
Tidak bisa kami batasi. Tapi tentu tidak sampai setahun. Yang jelas kami akan mencoba segera masuk (melakukan pemeriksaan). Paling tidak akan memperlambat (penipuan) kalau masih terjadi atau berhenti sama sekali. Kebetulan dari aparat penegak hukum, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi, sudah meminta kami melakukannya.
Apa saja kasus lain yang sedang disorot BPK?
Sekarang kami menangani 29 kasus. Sebanyak 11 kasus di pemerintah pusat, 3 kasus di pemerintah daerah, 14 kasus di badan usaha milik negara, dan 1 kasus di badan usaha milik daerah.
•••
Bagaimana Anda menjaga integritas pegawai BPK?
Kami memiliki whistleblowing system dan Majelis Kehormatan dan Kode Etik (MKKE) yang paniteranya Inspektorat. MKKE itu khusus untuk pemeriksa. Mereka bisa dilaporkan kalau ada upaya untuk pemerasan, masalah gratifikasi, atau pelanggaran kode etik lain yang mempengaruhi independensi BPK, baik yang dilakukan pemeriksa, pejabat pemeriksa, maupun pimpinan BPK.
Bagaimana bentuk pengaduan via whistleblowing system?
Ada aparatnya untuk memverifikasi laporan. Nanti pelapornya dipanggil. Kecuali dia anonim, harus menyodorkan bukti.
Publik selama ini mempercayai hasil audit BPK. Tapi mengapa masih ada kasus penyuapan yang melibatkan pegawai dan pemeriksa BPK?
Makanya sistemnya harus dibangun. Manusia itu kan ada free will-nya, tapi ada rasionalnya. Kalau hanya ada rasional, itu namanya malaikat. Kalau free will doang, ya itu binatang. Tinggal sekarang sistemnya didesain agar aspek rasionalnya, hal-hal yang baik, itu muncul. Sebaliknya, risiko terjadinya hal buruk bisa dipetakan sehingga dapat dikurangi. Kami sekarang mempunyai profil risiko. Kegiatan kami banyak dan kami mencatat dan memetakan risiko.
Di beberapa daerah, opini hasil audit BPK masih kerap diperjualbelikan.
Karena itu, kami buat MKKE dan whistleblowing system. Jadi, kalau masyarakat mendapat informasi, bisa disampaikan kepada kami. Dengan begitu, Inspektorat bisa melakukan upaya penegakan hukum. Mereka (pegawai nakal) bisa dipanggil dan diperiksa. Kami beberapa kali bisa menjerat mereka dengan cara ini.
Apakah opini hasil audit bisa diganti?
Enggak. Opini itu terakhir. Proses (jual-beli) itu terjadi biasanya sebelum opini keluar. Mereka meminta sesuatu kalau opininya belum keluar. Sebenarnya klien enggak usah diapa-apain sudah tidak jadi masalah, tapi kemudian disampaikan macam-macam. Mereka memanfaatkan ketar-ketirnya itu, lho. Polanya begitu. Sejauh ini kami bisa mengatasinya, walaupun tentu kami perlu terus menyempurnakan sistemnya.
Seberapa besar ruang untuk mengotak-atik opini hasil audit?
Sulit, sulit. Kami sudah mencoba sedemikian rupa sehingga hal-hal yang ada di BPK itu minim penilaian subyektif. Kalau pakai penilaian saja kan susah, ruang untuk (dipermainkan) itu terbuka luas. Dengan penilaian minimal, kriterianya sudah kami tentukan.
Dalam beberapa kasus, apakah penilaian disclaimer bisa didongkrak menjadi wajar tanpa pengecualian?
Disclaimer sulit diubah menjadi tidak disclaimer. Dulu di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat ribut mengenai opini wajar tanpa pengecualian (WTP) menjadi wajar dengan pengecualian (WDP) pada 2014. Pemeriksa di perwakilan DKI waktu itu curiga terhadap saya, “Ini kan temuan banyak, Pak, masak tidak bisa disclaimer?” Disclaimer itu kan apabila terjadi pembatasan lingkup pemeriksaan sehingga pemeriksa tidak dapat melakukan prosedur pengujian. Pembatasan lingkup termasuk soal tidak ada yang bisa diuji. Misalnya, berkas pertanggungjawaban ditaruh di dalam gedung, lalu gedungnya kebanjiran dan dokumennya hilang. Akhirnya tak bisa kami uji dan menjadi disclaimer.
Bagaimana dengan perubahan dari WDP ke WTP atau sebaliknya?
Nah, ruang (permainan) yang mungkin terjadi kalau pemeriksa membalikkan di antara dua hal itu. Ini memang konyol. Berarti penyajiannya tidak sesuai dengan standar. Itu bisa terjadi karena masalah kompetensi, banyak tindakan penyimpangan, dan macam-macam di situ.
Jadi ada celah untuk mempermainkan hasil audit?
Secara sistem itu sulit. Tapi kalau orang mau bikin masalah, ya bikin saja. Ada saja jalannya orang bisa berbuat macam-macam.
Dengan sistem yang begitu ketat, mengapa masih dijumpai kasus pemeriksa BPK yang terlibat penyuapan?
Sama seperti obat. Antibiotik itu makin lama makin keras. Tapi itu tidak menjamin orang kemudian tidak sakit. Virusnya juga makin kuat. Karena itu, sistem harus diperbarui setiap waktu.
Anda berlatar profesional, sedangkan pimpinan lain dari dunia politik. Bagaimana Anda menjaga independensi BPK?
Teman-teman dari partai politik, khususnya mantan anggota DPR, sebenarnya mewakili kepentingan yang besar, yaitu rakyat. Jadi kebijakan yang dibawa ke sini awareness-nya macam-macam. Kemudian kami yang dari profesional akan memberikan kriteria, dari sekian banyak masalah, bagaimana cara kami memilih kebijakan tertentu. Saya ini bicara hal-hal dari konteks yang ideal. Sudah barang tentu yang ideal ini tidak bisa berjalan begitu saja, harus ada sistem di dalamnya.
AGUNG FIRMAN SAMPURNA | Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 19 November 1971 | Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (1996); Pascasarjana Program Studi Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia (1998); Doktor Program Studi Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia (2011) | Karier: Fungsional Umum pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (2011-sekarang), Anggota III BPK (2012-2013), Anggota V BPK (2013-2014), Anggota I BPK (2014-2017), Anggota I BPK (2017-Oktober 2019), Ketua BPK (Oktober 2019-sekarang) | Penghargaan: Bintang Mahaputera Nararya (2014), Piagam Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Paksi (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo