HEEENGGGG, hah. Maka, waitankung, senam jenis baru dari Cina yang akhir-akhir ini muncul di seluruh dunia - kata orang, melalui Taiwan - pun jadi kegemaran baru. Di lapangan Monas, di lapangan Senayan, di Gubernuran DKI Jakarta, di kawasan perumahan Pondok Indah, Jakarta, dan sejumlah tempat lain - jua di Bandung dan Surabaya - teriakan pembukaan yang dilakukan sambil mempertemukan kedua tangan di atas kepala hingga lengan membentuk bulat telur itu bergema memecah pagi. Waitankung? Inilah nama baru, sejenis dengan senam-senam yang ada hubungannya dengan kungfu. Yang telah populer, umpamanya, taichi-chuan, yang biasanya mengingatkan orang pada kungfu Shaolin (tapi banyak yang mengatakan, taichi asalnya dari kungfu Tao). Bila kungfu melatih kekuatan otot, taichi sebaliknya: kelembutan gerak tanpa kekuatan adalah intinya. Konon, latihan-latihan tanpa kekuatan itulah yang melatih tenaga dalam seseorang. Diduga, munculnya latihan silat Cina dengan gerakan lembut itu erat hubungannya dengan lahirnya ajaran Taoisme, sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi. Memang agak susah dilacak, karena buku-buku atau catatan tentang latihan-latihan gerak lembut dari masa lampau itu tak lagi ditemukan. Sebagian orang bilang, para pendeta Budha dari Biara Shaolin, pada waktu itu, mulai berpikir tak layak bagi pemuka agama berlatih kungfu dengan tenaga kasar. Sebagian lagi mengatakan, gawatnya situasi waktu itu mengharuskan para pendeta itu tetap punya ilmu bela diri yang memadai. Tapi uzurnya fisik, mau tak mau, melemahkan tenaga mereka pula. Maka, dicarilah ilmu yang sesuai dengan tenaga tua tapi tetap sakti . Lalu dikembangkanlah ilmu yang tak berkaitan dengan masalah latihan otot. Titik tolaknya adalah falsafah air, yang tak bisa dirusakkan dengan sabetan pedang ataupun pukulan tinju. Atau ilmu kapas, yang membuat pukulan sekeras apa pun tiada gunanya. Bila Tao diduga mendasari ilmu tanpa tenaga ini, dalam Tao memang ada yang disebut wuwei. Arti harfiahnya, "tak mengerjakan apa pun" yaitu, untuk memelihara alam semesta ini, manusia sebaiknya diam. Dalam kaitannya dengan ilmu bela diri, orang lalu menerjemahkan wuwei begini. Bila seseorang tak melakukan gerak apa pun, tenaganya kosong, ia tak bisa dijatuhkan. Dirinya akan mirip angin. Bagaimana ceritanya ilmu bela diri tanpa kekuatan otot itu, yang kemudian beramai-ramai dilakukan untuk kesehatan, dipisahkan dari ilmu silat? Tak jelas. Dalam hal sejarah inilah waitankung menjadi menarik. Orang yang menggali ilmu yang terpendam beribu tahun itu masih hidup, masih bisa diwawancarai. Dengan kata lain, keotentikan sejarah waitankung lebih kurang bisa dijaga. Waitankung dimunculkan kembali oleh seorang bernama Chang Chih-tung, belum terlalu lama ini. Persisnya, baru mulai 1976 waitankung dimasyarakatkan di Taiwan, dan kemudian, "berkat Allah," kata Chih-tung, yang telah naik haji tujuh tahun lalu, menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. * * * Di lantai dua sebuah gedung di Jalan Linshen Utara, Taipei, di salah satu kawasan yang ramai, di situlah Yayasan Waitankung dan Neitankung beralamat. Sebuah ruang sekitar 10 x 5 meter yang kosong, ditambah beberapa kamar yang penuh dengan tumpukan kertas, kardus, beberapa lampion merah. Lalu kotak-kotak kaca berisi suvenir boneka atau piring perak berukir. Tentu saja, sejumlah kursi dan meja. Memang mirip toko kelontong. Juga mirip markas sebuah perguruan silat, meski tak tampak pedang, golok, atau tombak, yang biasa digunakan latihan bela diri. Ruang kosong, yang di salah satu pinggirnya berdiri tegak patung telanjang seorang laki-laki dewasa dengan titik-titik akupungtur di sekujur tubuhnya, itu memberi kesan tentulah ada semacam latihan silat di sini. Malam itu, 28 Desember lalu, beberapa orang hadir di situ untuk menemui suhu waitankung. Ada seorang Prof. Dr. Song Chang-ki, guru besar sinolog di Universitas Kookmin, Seoul, Korea Selatan. Ia ternyata pimpinan waitankung di negaranya, dan sudah enam tahun mempraktekkan waitankung. "Saya tak pernah sakit, bahkan flu pun tidak," katanya. Lalu ada beberapa peminat waitankung dari Jepang dan Indonesia. Haji Chang Chih-tung duduk di sebuah ruangan yang berantakan dengan barang-barang yang tadi disebutkan. Pembawaannya tenang, matanya sipit, dengan dahi yang agak lebar, dan rambut tipis tersisir rapi dengan belahan di sebelah kiri. Meja di depannya penuh kertas-kertas bertuliskan huruf Kanji, dan sebuah teko tanah liat berisi air teh . Kancing atas kaus lengan panjangnya, yang berwarna biru itu, terbuka. Dengan tubuhnya yang gemuk tapi kekar dan sehat, mungkin ia sedikit kepanasan di ruang bersuhu sekitar 15 Celsius itu. Di kursi di belakang tempat duduknya, sebuah sajadah merah bergambar masjid tersampir di sandaran. Dengan lancar, tapi dengan suara yang tetap terjaga, hampir tanpa ekspresi - susah untuk mengatakan apakah ia berbicara dengan gembira atau biasa-biasa saja - orang yang menggali kembali waitankung itu menceritakan ihwal senam yang dilakukan hampir tanpa kekuatan ini. Dengan beberapa pendamping sebagai penerjemah, wawancara ini memang lalu berlangsung agak lama, hampir tiga jam . * * * Tahun 1949, terjadi pelarian besar-besaran kaum Koumintang dari Cina Daratan ke Taiwan. Salah seorang di antara rakyat biasa yang hengkang itu adalah Chang Chih-tung. Pemuda 28 tahun itu menempuh perjalanan darat dan laut dengan apa saja. Baik jalan kaki, menumpang kereta, maupun naik perahu. Dan tanpa bekal sepeser pun, hingga untuk makan saja, umpamanya, perlu menunggu belas kasih orang. Tentu, nasib ini tak cuma dideritanya sendiri. Yang lain-lain pun, yang mengungsi itu, banyak yang tak beda dari dia. Chih-tung, anak tunggal Chang Hun-shin, salah seorang komandan pasukan Kerajaan Ching, waktu itu sudah pendekar. Sejak usia 7 tahun, karena badannya lemah, oleh orangtuanya ia dimasukkan ke perguruan Shaolin. Bukan hanya badannya yang kemudian sehat, tapi pada usia 20-an tahun Chih-tung jadi pendekar yang lumayan ilmunya, karena akhirnya ia berguru silat kepada banyak pendekar. Karena ilmu bela diri itulah yang benar-benar ia kuasai, di Taiwan ia pun memilih kerja sebagai guru olah raga sebuah sekolah dasar di sebuah desa, sambil membuka perguruan silat. Meski mula-mula ia belajar silat Shaolin, Chih-tung lebih cocok dengan silat Tao, dan itulah yang diajarkannya. Penyakit memang tak pandang apakah seseorang guru silat atau bukan. Di usia menjelang 30 itu, penyakit lama Chih-tung kambuh. Mungkin ia bekerja terlalu berat, sedangkan makannya tak teratur "Gaji saya cuma cukup untuk seminggu, waktu itu." - malaria menyerangnya dengan hebat. "Rambut saya rontok," katanya. "Tapi waktu itu saya belum mau mati." Bukan karena usianya masih muda, tapi ada sebab yang lain. Yakni, sebagai Muslim satu-satunya di desa itu, ia khawatir bila mati orang tak akan menguburkannya secara Islam. Di masa awal Republik Cina, apalagi di pedesaan, sungguh berat nasib Chih-tung: obat-obatan langka. Akhirnya, di batas keputusasaannya, ia ingat sebuah buku pemberian pamannya, sebelum ia lari ke Taiwan. Buku itu, kata pamannya, sejenis kungfu juga, tapi lebih merupakan senam kesehatan berdasarkan ajaran Tao dan ilmu pengobatan tradisional Cina. Namanya, ya itulah, waitankung. Di tengah malam, di balai pertemuan desa (ia memang tidur di situ), Chih-tung mempraktekkan waitankung. Sebagai orang yang telah lama berlatih taichi, ia tak mengalami kesulitan melakukan waitankung. Tapi yang dialaminya sungguh aneh. Gerak-gerak pertama dari waitankung, yang terdiri dari 12 jurus itu, mengakibatkan kepalanya pusing. Tiba-tiba otot-ototnya terasa sakit, pandangannya kabur bahkan lalu gelap. Ia takut pingsan, latihan dihentikannya. Malam berikutnya ia mencobanya lagi. Reaksi tambah hebat. Selain rasa sakit seperti hari kemarin, kini ditambah perutnya terasa kejang, telinga tuli. Pada hari ketiga, semua yang dialami malam sebelumnya masih tetap muncul bahkan ada yang baru: rasa mual yang hebat. Karena keingintahuannya, ditambah keputusasaannya untuk sembuh dari malaria, ia terus mempraktekkan waitankung. Bila tak kuat lagi menahan reaksi yang muncul, ia berhenti. Baru di hari ke-9 rasa mual dan sakit-sakit tak lagi muncul. Sebagai gantinya, terasa ada aliran hangat menjalar dari tangan, ke kaki, lalu naik ke seluruh tubuh. Tiba-tiba ia merasakan nyaman di sekujur tubuhnya. Setelah beberapa hari mempraktekkan ilmu lama itu, badannya bertambah segar. Akhirnya, ia kuat melakukan waitankung selama 40 menit tiap hari. Malarianya pun sembuh, tanpa obat. Dan kemampuannya bersilat seperti makin mantap, tenaganya bertambah, dan tubuhnya tak cepat capek. Berbulan, bahkan bertahun kemudian, sakitnya tak lagi pernah kambuh. Justru orang kelahiran Tienjin, Provinsi Hubei, pada 1 Desember 1920, ini makin sehat. Mulailah ia berpikir untuk, selain mengajar silat, juga menularkan senam waitankung. Tapi Chih-tung masih waswas, jangan-jangan ada akibat yang tak ia ketahui, yang justru merusakkan kesehatan, mengingat reaksi yang muncul ketika ia pertama-tama mempraktekkan senam itu. Itu sebabnya, untuk beberapa tahun, ia hanya mempraktekkan waitankung untuk diri sendiri. Suatu hari di tahun 1965, setelah sekitar 15 tahun Chih-tung melakukan waitankung. Seperti biasa, sehabis salat subuh, ia melakukan latihan silat dan waitankung. Tapi hari itu ia tak langsung menjalankan jurus-jurus. Di balai desa itu ia duduk bersila menghadap ke barat. Memang ada yang sedang dipikirkannya. Pada usia 45 tahun, masih membujang (dan akhirnya sampai hari ini memang ia tetap hidup sendiri), ia ingin melakukan sesuatu yang berguna. Perguruan silatnya memang lumayan besar. Tapi ia tak yakin terhadap manfaat silat di zaman perang tak lagi memakai pedang dan tombak, melainkan senjata api yang semakin canggih. Ajaib, ketika di luar tanah pun belum terang, seseorang tiba-tiba masuk dan berdiri di hadapannya. Orang itu, tak jelas bangsa apa, beserban kepalanya, tapi berbicara dalam bahasa Mandarin. Tanpa memperkenalkan diri siapa dia, langsung saja orang itu memerintahkan agar Chih-tung menyebarluaskan waitankung, bila ingin berguna di dunia. Chih-tung, begitu ia bertutur, antara percaya dan tidak, lalu mengucapkan kalimat syahadat. Dan orang itu lalu lenyap. Kelak, ketika ia naik haji percaya atau tidak - sekali lagi orang beserban itu muncul . Bisa jadi itu sebuah ilham. Dan akhirnya bujangan itu memang membubarkan perguruan silatnya, dan menggantinya dengan senam waitankung, pada 1976. Bila ia masih membutuhkan waktu 11 tahun untuk mulai mengajarkan waitankung, ada sebabnya. Buku warisan pamannya sebenarnya tidak komplet. Ada beberapa halaman yang robek, ketika terjadi serangan angin topan di desa itu. Untuk menemukan sambungan gerak yang hilang itulah, Chih-tung membutuhkan waktu lama: dengan praktek, dengan berpikir. Akhirnya, ia yakin menemukan bagian yang hilang itu. Mula-mula cuma seorang murid yang belajar. Lalu beberapa orang. Kemudian, satu-dua murid, yang memang berpenyakitan, merasa sembuh. Waktu itulah, seorang murid, mungkin karena rasa terima kasihnya, menulis surat pembaca di sebuah surat kabar. Yakni tentang pengalamannya mempraktekkan senam kuno itu. Maka, berdatanganlah orang orang tua-muda ikut berlatih, termasuk seorang bernama Huang Kuk-chan, yang menderita penyakit tukak lambung bertahun-tahun. Kuk-chan itulah yang kemudian boleh disebut salah seorang yang membuat waitankung menyebar luas. Setelah sembuh dari tukak lambung, ia makin jatuh hati pada waitankung. Bahkan salah seorang anggota keluarga kaya pemilik hektaran tambak di Tainan - kota pantai di bagian selatan Taiwan - itu menyumbangkan 2 hektar tanah miliknya untuk waitankung (mulai akhir tahun lalu di tanah ini dibangun semacam pusat waitankung). Tak cuma itu. Kuk-chan pun meninggalkan tambaknya untuk mengurusi senam tanpa tenaga ini. Dan, bila pemerintah Taiwan kemudian memperhatikan senam baru ini, Kuk-chan memang anggota DPR sana hingga sekarang. Dan kemudian dibentuklah Yayasan Waitankung. Salah satu kegiatan lembaga ini, yakni mengadakan semacam latihan masal selama sepekan. Dalam latihan inilah Haji Chang Chih-tung langsung memberikan petunjuk - bukan cuma di lapangan, tapi juga ada semacam kuliah di dalam kelas. Misalnya yang baru-baru ini berlangsung, 30 Desember 1986 sampai 3 Januari 1987 di Taichung. * * * Di lapangan bola Kota Taichung, sekitar 120 km selatan Taipei, Selasa pagi-pagi, 30 Desember 1986. Sekitar 200 orang dari berbagai bangsa - antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea, Amerika Serikat, Meksiko - berderet rapi lima-lima ke belakang. Mereka peserta latihan masal waitankung ke-26. Orang-orang itu tentu saja bukan pemula. Memang ada yang baru berlatih seminggu di negerinya, atau dua minggu, tapi kebanyakan telah berlatih beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Bila mereka bertemu di lapangan itu, semuanya berharap menerima pelajaran langsung dari Haji Chang Chih-tung untuk menyempurnakan gerak-gerak senam waitankung. Tujuh atau delapan asisten suhu sibuk mengatur barisan, dan memberi petunjuk dalam bahasa Mandarin, lalu ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Di depan barisan sudah disiapkan panggung kecil komplet dengan corong suara. Ketika Haji Chih-tung muncul, dan langsung naik panggung, semua memberikan hormat. Dalam usia 66 tahun, dalam pakaian olah raga (training spak), laki-laki itu tampak masih gagah. Ia berpidato dalam bahasa Mandarin, satu-satunya bahasa yang dikuasainya. Seorang wanita 40-an tahun, mengenakan kaca mata lebar, tiba-tiba maju ke depan. Ia langsung mengambil tempat di samping panggung, mengambil sebuah corong suara, dan menerjemahkan pidato suhu ke bahasa Inggris. Ternyata, wanita itu kelahiran Hong Kong, kemudian jadi warga negara Meksiko, karena menikah dengan pria Meksiko. Ia hadir bersama suaminya. Sebagaimana di Pusat Waitankung di Taipei, Chih-tung berpidato lugas. Tak ada humor, tak ada bunga kata-kata, langsung pada yang dimaksud. Maka, pidato pembukaan itu singkat saja. Dan lalu langsung ia memanggil seorang asistennya, wanita, dan memintanya memperagakan kedua belas jurus waitankung. Sementara itu, suhu memberikan komentar. Misalnya, "gerakan tak boleh kaku, tapi lemas, sedapat mungkin pikiran dikosongkan." Lalu, "lupakan kerja rutin sehari-hari Saudara-saudara di negeri masing-masing, dan pusatkan perhatian pada waitankung agar kedatangan Saudara-saudara tidak sia-sia." Lalu dimulailah latihan bersama dengan aba-aba dari guru, dengan contoh gerakan dari asistennya tersebut. Dari jauh, Haji Chih-tung, pensiunan guru olah raga, memang tampak seperti sedang menghadapi anak-anak sekolah. "Waitankung bukan pelajaran demokratis," katanya. "Maksud saya, gerak-gerak ini memang sudah begini, tak bisa ditawar-tawar lagi." Di awal gerakan - yakni posisi berdiri tegak, kaki agak renggang, tangan di samping, jari-jari lemas menggelantung kecuali jari telunjuk agak lurus ke depan, dan pandangan lurus horisontal - guru memberi komentar, "Getarkan tangan dan lengan, tenangkan pikiran." Ketika tiba jurus merentangkan tangan dan sedikit menekuk lutut, ia berkomentar lagi, "Tangan ini mirip sayap burung. Telapak kaki sedikit diangkat. Perhatikan. Getaran tangan jangan memakai tenaga." Dan katanya lebih jauh, "Gerakan ini menyehatkan usus." Memang, kedua belas jurus punya sasaran sendirisendiri. Umpamanya jurus merentangkan tangan ke samping, telapak tangan menghadap ke atas, lalu jari dan lengan digetarkan. Inilah, konon, gerakan yang langsung merangsang peredaran darah agar lancar, dan menumbuhkan kekuatan badan. Jurus kedua belas mungkin terlihat lucu. Para asisten suka menyebut jurus ini sebagai "manusia mesin berjalan". Kaki terentang, lutut dibengkokkan, idealnya hingga paha berposisi horisontal (tapi tak usah dipaksakan bila tak kuat). Punggung tegak, pandangan horisontal ke depan, tangan tergantung lurus tapi santai di samping tubuh, dan kelima jari terbuka dalam posisi agak miring ke depan. Lalu, mulailah lutut kanan diangkat dan melangkah ke depan dengan punggung tetap tegak, dan tangan tetap tergantung di samping, diam. Maju dengan cara itu tujuh langkah ke depan, lalu melangkah mundur tujuh langkah pula, hingga tiba di tempat semula. Siapa pun yang tak tahu ihwal waitankung tentulah merasa lucu melihat adegan ini. Padahal, inilah jurus "langkah burung bangau", yang penting sebagai penutup latihan. Konon, langkah ini dimaksudkan sebagai cara melepaskan tenaga yang terhimpun dalam 11 jurus sebelumnya. "Tanpa melakukan jurus langkah bangau, tenaga tetap terkumpul di tubuh Anda malah susah merasa santai sehabis latihan. Anda justru akan merasa tak enak badan," tutur Haji Chang Chih-tung, dalam terjemahan wanita Meksiko itu. Bimbingan langsung dari suhu selesai. Para peserta, yang dibagi dalam tujuh kelompok, diminta berlatih sendiri, dipimpin seorang asisten. Guru Chih-tung turun panggung, berlenggang ke arah belakang barisan. Dari arah belakang itulah ia mengawasi mereka yang berlatih. Terkadang suhu ini berdiri, diam, lalu melangkahkan salah satu kaki ke depar, kemudian menekuk lutut kaki yang berada di posisi belakang. Diam sejenak dalam posisi demikian, sambil meremas-remaskan kesepuluh jari tangannya. Entahlah, ini jurus keberapa. Kemudian, ia akan menghampiri murid-muridnya yang berusia antara 30-an dan 60-an itu, memberi petunjuk mereka yang membuat gerakan keliru. Tak peduli, si murid bermata sipit atau berkulit bule, guru tetap saja memberi petunjuk dalam bahasa Mandarin. Tentu, ada yang kemudian malah bingung, tengok kiri tengok kanan, barangkali ada penerjemah datang. Tapi sia-sia, semua saja sibuk dengan diri sendiri dan kelompoknya. Lalu terlihatlah guru menggeleng-gelengkan kepala - dan tetap tanpa ekspresi: entah mengapa wajahnya yang bersih itu selalu hanya polos. Latihan ini berlangsung hingga hampir tengah hari. Setelah acara makan siang bersama, tibalah pelajaran di dalam kelas. O, ya, di bawah tribun lapangan bola ini ruangan dibagi dalam kamar-kamar besar. Semacam baraklah. Ada ruang untuk makan bersama, ada kamar mandi dan kamar kecil, ada ruang tidur, ada pula yang diisi dengan kursi-kursi dan meja, diatur mirip sebuah kelas. Di situlah sebagian besar peserta diasramakan hingga latihan selesai. Di dalam kelas, penjelasan suhu diterjemahkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jepang. Ini yang menyebabkan "kelas waitankung" ini terasa lama. Memang ada satu-dua murid tampak mengantuk. Tapi kebanyakan terlihat begitu antusias, bahkan banyak yang sambil mendengarkan membuat catatan pula. Mungkin karena Haji Chang Chih-tung bekas guru sekolah, cara dia memperagakan gerakan - oleh dirinya sendiri atau dengan pertolongan asistennya bisa dipahami dengan jelas. Pelajaran teori ini lebih banyak membicarakan teknik gerakan dan manfaat gerakan-gerakan itu. Menggetarkan kedua tangan dan lengan dalam posisi satu tangan diangkat ke atas dan yang lain ke bawah, itulah cara membuat serasi kerja antara hati dan paru-paru. Ada pula gerakan tangan mengepal (jadi tak semua gerak waitankung menggetarkan tangan), yang tujuannya melebarkan dada, dan membersihkan perut besar dan usus. Sehabis pelajaran di dalam kelas itu, latihan lapangan segera dimulai lagi, hingga kira-kira pukul tiga. Lalu kembali ke kelas, untuk sekitar dua jam. Baru rombongan latihan masal angkatan ke-26 ini boleh bebas, sampai makan malam, sekitar pukul 7. Demikianlah, acara rutin hingga hari Sabtu, hari ujian, yang langsung dinilai oleh suhu. Bukan ujian perorangan, memang, tapi per kelompok. * * * Mengapa Taichung? Direncanakan, pusat latihan waitankung memang di Tainan, kota pantai jauh di selatan. Tapi pusat itu masih baru dalam taraf pembangunan. Sementara itu, latihan di Taipei, di gedung sekretariat Yayasan Waitankung, dianggap tak memadai. Sebagaimana olah raga yang lain, idealnya waitankung memang dilakukan di udara terbuka dan bersih. Taichung, kota terbesar ketiga Taiwan, dipilih karena terletak di tengah-tengah, dengan suhu yang nyaman: tak terlalu dingin di musim dingin, dan bila musim panas tiba, pun tak terlalu panas. Dan, ini terutama, Taichung, yang memiliki sebuah Universitas Tunghai yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu, yang dibangun dengan gaya zaman Dinasti Tang, cuma memiliki sedikit pabrik. Singkat kata, udara kota ini sangat bersih, lebih bersih dibandingkan dengan kota-kota lain di Taiwan. Udara terbuka, dalam olah raga tradisional Cina, bukan saja dibutuhkan. Tapi tampaknya ada nilai, katakanlah, mistis - percaya atau tidak. Dalam salah satu penjelasan di dalam kelas, Guru Chih-tung mengatakan, melakukan waitankung di bawah langit itu ideal. Sebab, bila kita berdiri di tanah dengan atap langit, ketika pikiran tenang, "Kita menyatukan bumi dan langit di dalam tubuh". Dalam posisi seperti itulah orang yang mempraktekkan waitankung lebih mudah memperoleh hawa murni daripada yang mengerjakannya di dalam rumah. Hawa murni? Itulah ketika melakukan senam tanpa tenaga ini lalu terasa ada aliran hangat mengalir di sekujur tubuh. Ini dipercaya oleh pengobatan tradisional Cina sebagai cara menyehatkan, mempersegar, dan menambah daya tahan badan. Chang Chih-tung itu, misalnya, di awal mempraktekkan ilmu yang beribu tahun terpendam ini mengalaminya di hari kesembilan. Dan lalu ia merasa segar, dan kemudian penyakit malarianya sembuh. Toh, Haji Chih-tung, hingga latihan masal ke-26, tak jelas-jelas menyebutkan bahwa waitankung menyembuhkan penyakit. Bahkan ia menganjurkan, bila merasa mempunyai penyakit ini atau itu, sebaiknya memeriksakan ke dokter dulu sebelum latihan. Ia hanya mengatakan, dengan latihan yang sabar, seseorang akan kebal terhadap banyak penyakit. Seandainya sakit pun, penyembuhannya relatif akan lebih singkat. Tapi entah ini keajaiban, atau mungkin kebetulan, beberapa peserta dari Indonesia punya pengalaman cukup unik. Haji Alidin Doeana, 63 tahun, umpamanya. Pensiunan perwakilan Garuda di Jerman ini terkena kanker di dalam telinganya, dan ini diketahui sudah agak terlambat, pada Agustus 1985. Setelah berupaya dengan berbagai macam obat selain dari dokter - termasuk misalnya dengan obat minyak tanah dan daun mindi yang beberapa lama lalu dihebohkan itu - akhirnya, atas anjuran seorang teman, ia ke Rotterdam, Negeri Belanda. Sebelum dokter melistrik kanker itu, risikonya sudah diberitahukan. "Pendengaran telinga, penciuman hidung, perasaan lidah akan rusak dan tak berfungsi lagi, ditambah jaringan kulit sekitar leher akan hangus," tutur Alidin menirukan kata dokter tentang akibat bestral itu. Apa boleh buat, karena sudah merasa putus asa, darah sudah sering mengalir keluar lewat mulut dan telinga, bapak tujuh anak ini setuju . Tiga bulan, sampai April 1986, Alidin diobati dengan penyinaran ini. Akhirnya, dokter pun menyerahkan nasib selanjutnya pasiennya itu kepada Tuhan dan yang bersangkutan sendiri. Dan memang, semua akibat yang dikatakan dokter benar adanya. "Sejak penyinaran itu, saya ke mana-mana selalu dengan istri saya untuk komunikasi dengan orang lain," tuturnya. Namun, semangat hidup pensiunan ini luar biasa. Ia tak menyerah, dan dari buku-buku, ia tahu, untuk mempertahankan kesehatan, harus berolah raga, banyak istirahat, dan banyak gizi. Mula-mula ia berniat belajar taichi. Tapi sudah nasib, tak menemukan guru di Jakarta bahkan sampai di Malaysia dan Singapura, niatnya gagal. Di Malaysia, ia memang bertemu dengan guru taichi, tapi semua perintah diberikan dalam bahasa Mandarin . Akhirnya pada 5 Oktober 1986, sewaktu jalan-jalan pagi, Alidin bertemu dengan sekelompok orang yang melakukan senam aneh di bilangan Pintu Barat Senayan. Ia langsung bergabung. Mula-mula dia kira itu taichi. Baru beberapa hari kemudian, ia tahu nama senam aneh tersebut: waitankung. Tak peduli soal nama, karena dorongan Nyonya Alidin, ia terus berlatih . Pada minggu pertama, Alidin merasa telinganya bertambah sakit. Mungkin karena tak ada reaksi lain, misalnya darah mengalir, ia teruskan ikut latihan tiap pagi selama sekitar satu jam. Pada minggu kedua, bukan cuma rasa sakit di telinga hilang, tapi seperti ada yang terbuka pada telinga kanan dan kiri. Dan beberapa hari kemudian ia benar-benar bisa mendengar kembali. Lalu penciumannya pun berfungsi lagi, dan kemudian lidahnya hidup kembali. Bahkan tak sengaja ia mendapatkan sesuatu yang lain. Suatu hari, kaca mata plus 4-nya pecah. Ia pun pergi ke dokter, dan diberi resep. Di toko optik, dia kaget. "Kok, lensanya bukan untuk plus 4 tapi plus dua setengah," tuturnya. Itulah, ketika ia mendengar ada rombongan peminat waitankung akan berlatih langsung dengan suhu di Taiwan, ia pun bergabung. Ketika ia mulai mendengar, dokter rutinnya (karena digolongkan pasien berisiko tinggi, ia selalu diperiksa berkala) pun heran. Setelah dokter itu diberi tahu bahwa ia melakukan waitankung, dokter pun acuh tak acuh, "cuma mengatakan untuk meneruskan senam itu. Ia tak berkomentar apa-apa," kata Alidin. Bahkan di Tainan, Haji Chang Chih-tung menganggap Alidin paling jago waitankungnya, dan agar kankernya bisa dilawan benar-benar, guru itu "menganjurkan saya melakukan latihan juga sehabis magrib selama satu jam". Salah satu yang datang dari Indonesia adalah juga Sentot Otoiskandardinata. Bekas dirjen perhubungan darat ini menderita serangan darah tinggi dan separuh tubuhnya lumpuh. Ia datang bertongkat, diantar istrinya dengan harapan yang besar. Bapak ini memang tak bisa melakukan waitankung seperti yang sehat. Toh, sambil duduk di kursi, tiap ada latihan, ia mencoba bergerak-gerak juga. Kemudian, dengan bantuan Mou Cheng-shih, salah seorang murid utama Chang Chih-tung, pelan-pelan kesehatannya membaik. Bantuan itu berupa urutan di tangan dan kaki kanan yang lumpuh. Kelihatannya urutan biasa saja. Tapi orang bilang, Mister Mou, demikian ia biasa dipanggil, pensiunan tentara berusia sekitar 70 tahun itu mengalirkan tenaganya lewat urutan tangan. "Saya memang merasakan ada aliran panas ketika Mister Mou mengurut saya," kata Pak Sentot, sewaktu masih mengikuti latihan di Taichung. Sampai pulang ke Indonesia memang lumpuhnya belum sembuh benar. Tapi ia sudah bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Benarkah semuanya itu berarti waitankung, senam fisik untuk kesehatan (waikung berarti latihan fisik untuk sehat), bisa juga menyembuhkan penyakit, wallahualam bisawab. Di zaman ketika kesehatan fisik lebih dilihat dari kaca mata ilmu kedokteran Barat, semuanya ini memang terdengar mirip takhyul . Dalam ilmu pengobatan tradisional Cina, tubuh yang sehat dianggap memiliki yin dan yang yang harmonis. Bila orang sakit, tentulah salah satu dari unsur itu berlebih atau kurang. Konon, senam-senam macam taichi-chuan, waitankung, cikung, misalnya, membuat dua faktor itu selalu seimbang. Tapi apa itu yin dan yang susah menunjukkan benda kongkretnya. Dalam buku Chinese Medicine karya Ted J. Kaptchuk, diterangkan dua istilah itu lebih metafisis sifatnya, lebih merupakan simbol untuk menggambarkan nilai hubungan dalam alam semesta ini. Juga merupakan dasar jalan atau cara berpikir. Dua istilah itu bukan menunjuk pada materi. Sayangnya, belum terdengar satu penelitian sungguh-sungguh terhadap senam tradisional untuk kesehatan ini. Boleh jadi gerakan-gerakan itulah yang menyebabkan, misalnya, titik-titik akupungtur dalam tubuh dirangsang, dan karenanya orang lalu jadi sehat karena aliran darah berjalan lancar, metabolisme berjalan baik. Siapa tahu. * * * Haji Chang Chih-tung terang tidak bergurau. Apalagi, seperti sudah diceritakan juga, tampaknya lelaki ini susah tersenyum - meski wajahnya tak tampak angker, melainkan mencerminkan keramahan. Ia tak sembarangan menemukan kitab lalu menyebarluaskannya. Lima belas tahun ia praktekkan waitankung. Dan sebelum yakin benar bahwa ini senam bermanfaat, ia masih menunggu sebelas tahun untuk menerima murid. Orang yang mengaku tak pernah memikirkan diri sendiri ini baru sempat menunaikan ibadat haji pada 1980. Pulang dari Mekah, ia semakin mantap dengan waitankung. Ceritanya, suatu hari ia tersesat di Madinah, tak bisa pulang ke asrama. Bukannya ia malu bertanya lalu tersesat, tapi waktu itu dialah satu-satunya jamaah haji dari Taiwan, dan ia tak bisa berbahasa lain selain Mandarin. Maka, Chih-tung, waktu itu sudah 60 tahun, lalu berjalan saja lurus berdasarkan instink. Di saat ia mulai capek, dan sedikit putus asa, ia pun berdoa. Tiba-tiba satu sentuhan di pundak kanannya, yang terasa begitu berat, membuat ia berhenti berjalan. Lalu menengok ke belakang. Wah, orang beserban yang pernah menemuinya di tahun 1965, ketika ia ragu mau berbuat apa dalam hidup ini, muncul di depannya. Chih-tung cuma terbengong-bengong. Orang itu, begitu ceritanya, tersenyum, lalu menunjuk ke suatu arah. Chih-tung paham, ia disuruh berjalan ke arah tersebut. Singkat kata, tak lama kemudian ia sampai di depan asrama tempatnya menginap. Haji Chih-tung memang dilahirkan dalam keluarga pemeluk Islam. "Nenek moyang saya Islam," katanya. Bila kemudian ia memilih kungfu Tao, memang ada alasannya. Dalam kitab Tao Te Ching, yang menyimpan ajaran Tao, menurut dia, tersebar kata yang artinya "Islam". Chin-seng, menurut kamus, memang berarti "pikiran yang tenang", atau "pasrah". Dan Islam memang juga berarti pasrah. Ini suatu kebetulan, atau memang Lao Tzu yang disebut juga Lao Tse atau Lu Shun, pencipta ajaran Tao, meramalkan masa depan dan menunjuk pada kelahiran Nabi Muhammad saw. Dan bila mau dicari-cari, mau dihubung-hubungkan, dalam waitankung ada gerakan-gerakan yang memberi kesan mirip orang berwudu. Yakni setelah dua belas jurus selesai, ada pemijatan titik-titik akupungtur, dengan ibu jari dan jari tengah. Di awal pemijatan inilah, kedua telapak tangan digosok-gosokkan, mirip awal orang mengambil wudu. * * * Tapi, memang, ketenangan jiwa dan kesegaran jasmani yang diperoleh dari latihan waitankung agak susah dibuktikan kepada orang lain. "Kalau saya sehat, itu saya yang merasakannya. Orang lain, dengan hanya melihat saya, 'kan susah mengetahuinya," kata Brigjen (pur) Supardi, bekas Irjen Departemen P & K, salah seorang pemula waitankung di Indonesia. Percaya atau tidak pada hasil latihan waitankung, yang jelas peserta latihan bersama ke-26 mestinya bukan orang-orang yang mudah percaya pada yang mustahil. Song Chang-ki, ketua waitankung Korea Selatan itu, umpamanya, adalah guru besar sinologi. Kemudian rombongan dari Amerika Serikat, yang terdiri sekitar 20-an orang, sebagian besar adalah sarjana-sarjana di bidang fisioterapi, dan beberapa sarjana psikologi. Dan dibandingkan dengan peserta dari negara lain, rombongan AS relatif lebih muda-muda, baru berusia 30-40 tahun. Salah seorang yang dari AS itu adalah Miss Helbing, sarjana fisioterapi dari Florida, mengaku masih 26 tahun. Ia baru praktek waitankung sekitar tiga minggu, "Tapi saya merasa banyak memperoleh kesegaran tubuh," ceritanya. Sebenarnya, ia telah menjalankan yoga selama 12 tahun, tapi yang diperolehnya tak sebesar tiga minggu berwaitankung. Boleh jadi ini hanya semacam rasa kagum pada hal baru. Tapi bisa juga, karena telah melakukan yoga 12 tahun, dia banyak memperoleh hasil dengan hanya praktek waitankung tiga minggu. Yang jelas, waitankung memang lebih praktis dikerjakan daripada taichi-chuan, misalnya. Kata Yaw Hwa Chin, 31, guru karate Dan-4, orang Malaysia yang men jadi warga negara Swiss, "Saya belajar taichi enam tahun, itu berat, karena semua gerakan bertumpu pada kuda-kuda satu kaki. Waitankung ini, rasanya mudah." Orang yang menikah dengan wanita Swiss ini memang mencari nafkah dengan mengajar karate dan taichi di Zurich, Swiss. Pada mulanya ia belajar waitankung karena tak ingin ketinggalan zaman. Akhirnya, di hari terakhir latihan bersama, ia mengakui, bagi mereka yang sudah berumur, waitankung mungkin lebih cocok. "Jurusnya tak ruwet. Tapi apa untungnya bagi yang latihan bela diri, saya belum tahu. Mau saya riset dulu," katanya. Haji Chang Chih-tung memang tak memaksa orang langsung mempercayai waitankung. Dalam satu acara makan bersama di sekretariat Waitankung, Taipei, sambil menghembuskan asap rokok 555-nya - satu-satunya kemewahan yang dia punyai - katanya, "Sebenarnya, waitankung, setelah membuat badan sehat, pun membuat jiwa jadi damai. Terasa kita lebih dekat dengan Allah." Barangkali itu yang dimaksudnya dengan waitankung, menyatukan langit dan bumi .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini