Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kalau polisi digugat

Lichun, penduduk pekaja, banyumas, mempraperadilankan polisi dalam soal jual beli tanah warisan dan mengugat rp 50 juta. akibat penyidikan tersendat, polisi memukul balik mempidanakan lichun. (hk)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK adanya batas waktu lamanya sebuah perkara di tangan penyidik, selain mengurangi kepastian hukum, juga bisa menimbulkan ekses dan dijadikan "senjata pemukul balik" oleh polisi. Lichun seorang penduduk Desa Pekaja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pekan-pekan ini terpaksa duduk di kursi terdakwa karena berani-beraninya menggugat polisi Rp 50 juta. Ia semula mencoba menuntut ganti rugi dari polisi, gara-gara dua tahun lalu ia dituduh telah menjual tanah yang bukan miliknya. Dan perkaranya ternyata tidak jadi diteruskan ke pengadilan. Ketika gugatannya itu di sidangkan, pohsl malah menyeretnya kembali ke pengadilan, dengan tuduhan bahwa ia melakukan penipuan dalam kasus jual beli tanah yang itu juga. Pada 1980, Lichun menjual sebidang tanah seluas 25 ubin kepada orang sedesanya, Munarya. Tanah itu sebenarnya tanah warisan neneknya, Almarhum Ni Arsanom, seluas 63 ubin, atau 882 m2, yang belum dibagi warisnya Tapi, kata Lichun, 'Tanah yang saya jual itu merupakan bagian saya." Bahkan, katanya, untuk jual beli itu, ia sudah mendapat persetujuan enam orang saudaranya, termasuk paman-pamannya. "Saya punya surat kuasa dari saudara-saudara saya itu," kata Lichun. Malah surat kuasa itu, katanya, diketahui pula oleh kepala desa. "Yang mengukur tanah waktu jual beli itu pun pamong desa," tutur Lichun. Hanya saja, sampai saat itu, diakuinya, ia belum mendapat surat pengalihan hak dari kepala desa. Kendati begitu, tiga bulan setelah jual beli tanah itu diserobot oleh pamannya. Akibatnya, pihak pembeli, Munarya, menuntut ganti rugi ke kepala desa. Dan kepala desa menyuruh Lichun membayar ganti rugi itu. "Saya tidak bersedia, karena waktu jual beli disaksikan kepala desa," kata penduduk desa itu. Gara-gara itu, pada tahun 1983 Lichun diadukan Munarya ke Polsek Kalibagor, Banyumas . Polisi kemudian memeriksa Lichun, dengan tuduhan telah menjual tanah yang bukan miliknya. Di pemeriksaan, kata Lichun, ia disuruh polisi membayar ganti rugi Rp 126.000 kepada Munarya. Padahal, Munarya sendiri, katanya, hanya meminta gantirugi Rp 50 ribu. "Polisi mengancam, kalau saya tidak mau membayar, saya akan dipidanakan," tutur Lichun. Ia menolak tawaran itu. Tapi, anehnya, sampai beberapa bulan kemudian perkaranya tidak kunjung disidangkan. Karena itu, Lichun beranggapan bahwa penyidikan terhadap dia sudah dihentikan polisi. Pada September 1983, ia balik mempraperadilankan polisi. Ia menuntut polisi merehabilitasikan namanya di samping membayar ganti rugi. Tapi Hakim Maulana Tarigan, yang menyidangkan perkara itu, menolak gugatan Lichun. Menurut hakim, kasus Lichun tidak termasuk ruang lingkup praperadllan, karena ia tidak pernah ditahan. Penyidikan dalam perkaranya pun, menurut hakim, belum resmi dihentikan polisi. Hakim ternyata benar. Polisi belum menghentikan penyidikan. Setelah sidang praperadilan itu selesai, ia kembali diusut polisi. Kali ini untuk kasus penipuan dalam perkara tanah itu juga. Tapi, seperti juga berkas yang pertama, perkara ini pun tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan. PENDUDUK desa yang "bernyali" besar itu kembali mempraperadilankan polisi. Tapi Pengadilan Negeri Banyumas menolak menyidangkan permohonan itu. Alasan hakim, jika praperadilan itu diterima, berarti melanggar asas nebis in idem. Karena itu, pengadilan menyarankan Lichun menggugat secara perdata. Lichun, September lalu, sesuai dengan petunjuk pengadilan, menggugat kasus itu secara perdata. Ia meminta ganti rugi Rp 50 juta secara tanggung renteng dari Munarya, kepala desa, dan polisi - yang dia anggap telah mencemarkan nama baiknya. Tapi, sampai enam kali sidang, Hakim Janies Boer tidak bisa memeriksa perkara itu. Sebab, setiap kali sidang dibuka, pihak tergugat tidak pernah lengkap menghadiri sidang. Tapi inilah yang tidak diduga oleh Lichun: ia tiba-tiba dipanggil untuk disidangkan di perkara pidana. Jaksa Nyonya Chajati yang membawanya ke sidang, sejak 31 Desember 1986, menuduh Lichun telah menipu saksi korban, Munarya. Bukan hanya itu. Lichun oleh jaksa dikenai pula tahanan kota. Sebuah sumber di Kepolisian Banyumas membenarkan, kasus Lichun akhirnya diajukan ke pengadilan gara-gara ulah terdakwa yang macam-macam. Semula, katanya, karena banyak perkara yang lebih besar, kasus Lichun terlupakan. "Kasus itu belakangan teringat lagi karena ia macam-macam," kata sumber itu. Akibat majunya perkara pidana itu, kini, Hakim Janies Boer terpaksa menggugurkan perkara perdata Lichun. "Gugatan Lichun menjadi gugur karena perkara pidananya sudah diajukan ke pengadilan," kata Janies Boer. Dalam gugatannya, kata hakim, Lichun menuntut ganti rugi atas pencemaran nama baiknya, dan minta direhabilitasikan. Untuk bisa menuntut begitu, menurut Janies, harus dibuktikan dulu bahwa ia tidak bersalah di sidang pidananya. Oh, Lichun!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus