Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kain yang ditenun nenek moyang ...

Berbagai kain tenun tradisional dari enam daerah (palembang, lampung, paseman, dst) milik eiko adnan kusuma, dipamerkan di pusat kebudayaan jepang, jakarta. indonesia paling canggih dalam seni tenun. (sr)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITATA bersih dan simetris, menyambut mata siapa saja yang hadir. Pantulan benang-benang emas yang mulai meredup dan kilap pecahan cermin-cermin di sela-sela sulaman benang sutera dari kain Tapis Lampung. Biru kelam dan merah manggis diseling emas dari kain Tengkulak Tanduk Batusangkar. Ikat sutera hijau zamrud dengan sulaman satin mengkilap pada kain Limar Bangka. Di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, minggu lalu, sebagian dari koleksi Eiko Adnan Kusuma (wanita kelahiran Yokohama, Jepang, 65 tahun yang lalu) memamerkan diri. Koleksi yang dibagi berdasar enam daerah asal itu (Palembang, Lampung, Pasemah, Minangkabau, Tapanuli Utara, dan Samosir) menghadirkan khazanah yang cukup beragam, suatu kekayaan milik ranah Sumatera. Khas darinya adalah pantulan-pantulan emas kain songket dari tanah-tanah pesisir. Tak mengherankan: di tanah pesisirlah persentuhan dan perdagangan dengan Cina, India, dan Timur Tengah, bahkan Portugis dan Belanda, diawali. Joseph Fisher, seorang pengamat tekstil, beranggapan bahwa seni tenun yang paling canggih yang pernah ada di dunia dilahirkan di Indonesia. Terutama menyangkut kekayaan ragam hias. Coba kita simak kain Tapis Lampung yang diberi sulaman cucuanda dalam koleksi ini. Pada bidang-bidang tenun ikat lungsi, pada benang-benang vertikal yang, oleh sementara ahli, dianggap lebih awal dari ikat pakan yang horisontal dan berasal dari zaman prasejarah, disulamkan bentuk-bentuk setengah meander, mengikat pecahan cermin impor dengan benang sutera dari Cina. Dari elemen-elemen impor seperti benang emas, perak, bahkan manik-manik dan benang wol itu, tenunan dasar terbuat dari benang kapas biasa yang suram, lalu memantul gemerlap. Dan itu sah, tentunya, sebagai milik kita. Elemen-elemen hias yang canggih tentu saja tak bisa "dikunyah" bila sebelumnya kita tidak memiliki keterampilan yang canggih pula untuk "mengawini"-nya. Untuk menambah apa yang telah ada, dan bukan memusnahkannya. Kemampuan menaruh tenunan tambahan pada tenunan dasar yang tersedia, baik pada benang lungsi maupun pakan sebagai ragam hias, adalah suatu teknik yang cukup rumit (kelak dikenal sebagai teknik songket atau sungkit di Sumatera dan sunkit di Kalimantan) yang telah diketahui sejak zaman perunggu, sekitar abad ke-8 hingga ke-2 sebelum Masehi. Dan konon dibawa dari bagian selatan Asia Tenggara. Kebolehan memintal kapas menjadi benang, menenunnya, dan menambahkan ragam hias masih dengan benang yang sama -- meski dengan warna berbeda -- bisa dilihat pada kain-kain yang berasal bukan dari daerah pesisir. Misalnya pada kain Ulos Na Penucaan dari Samosir, yang bagian tengahnya diberi tiga buah panel berwarna merah keunguan, dengan hiasan geometris tenunan pakan tambahan gaya Dong-son. Juga pada kain-kain seremonial Palepai Tampan dari Lampung, yang kini tak dibuat lagi. Kapal, pohon hayat, figur manusia, binatang, dan bendera-bendera, dijalin dengan rumit tapi tidak memberi kesan gemulai, bahkan--sebaliknya-- tegar, berirama, meski sangat simetris. Suwarti Kartiwa pengamat kain songket Indonesia, beranggapan bahwa benang sutera yang diimpor dari Cina baru mulai ditenun di Sumatera pada abad ke 10, saat Kerajaan Sriwijaya mempererat hubungan dagang dengan mengadakan barter katun dengan Tiongkok. Sedang desain motif dari India, yang hingga kini masih dianggap keramat di keraton Jawa, yaitu patola - yang dikenal sebagai cinde atau cindai di Sumatera - menyelinap pula pada koleksi kain Lampung dari Eiko. Ada sementara pendapat yang mengemukakan, tradisi menambahkan benang emas dibawa oleh pedagang Arab dan Muslim lainnya yan mendarat di kota-kota perdagangan pesisir Tanah Jawa dan Sumatera sedangkan daerah-daerah yang cukup terisolasi, seperti Tanah Batak, Toraja, dan pedalaman Kalimantan, masih mempertahankan penggunaan bahan benang katun yang sering ditambah dengan kerang atau merjan. Kecanggihan mengolah songket diwakili dalam koleksi ini oleh kain-kain dari daerah Palembang dan Minangkabau. Tak seluruhnya benar pendapat bahwa bangsa kita mampu mengolah pengaruh tawaran-tawaran baru, yaitu benang-benang pintalan pabrik dan warna-warna kimiawi, seperti Ulos Parompa Sadum dalam koleksi ini. Cemerlangnya benang-benang rayon dan wol terasa kehilangan kedalaman yang selalu hadir pada serat-serat yang dicelup dengan zat pewarna dan tumbuh-tumbuhan seperti pada aslinya. Dan mungkin kita boleh jengkel melihat beberapa tapis ditempeli paillets, sebagai pengganti cermin. Tapi tampaknya memang bukan semangat keaslian yang dicari wanita yang sempat bekerja menjadi penerjemah untuk film-film Jepang dan naskah RRI ini. Hanya saja, dalam jangka lima belas tahun, dengan tekun ia mengumpulkan, membaca, dan bertanya menggebu-gebu. "Guru saya pedagang-pedagang batik. Mereka itu kamus berjalan," kata Keiko. Ia memang pernah mencoba berjalan sendiri ke Samosir. Namun, ternyata, medan perburuan lebih sulit. "Diam di rumah, kita didatangi mereka kok . . . ," katanya yakin. Boleh dikata, koleksi luar biasa ini merupakan paduan antara kecintaan dan ketekunan. Tidak hanya dalam hal kain tenun: Eiko, yang bersuamikan pribumi Indonesia itu, juga dikenal sebagai kolektor batik. Bulan Mei mendatang ia akan memamerkan koleksi batiknya di Tokyo. "Saya merasa, tugas kitalah melestarikan peninggalan kebudayaan nenek moyang, sehingga dapat diturunkan kepada generasi berikut. Kain yang ditenun Nenek atau Ibu sambil berdoa dapat terlupakan, atau hanya dianggap sampah. Sangat disayangkan bila demikian," katanya. Setiap hari, katanya lagi, kain tradisional Indonesia dibawa ke luar negeri oleh orang asing yang menilai tinggi serta menghargai keindahan bahan-bahan itu lebih dari penghargaan kita sendiri. "Saya ingin menyerukan kepada umum, dan kepada seluruh masyarakat Indonesia, untuk melestarikan kebudayaan milik kita." Ia pun mengimbau: siapa pun bisa mulai membuat koleksi - tak ada kata terlambat. Dan, menurut Keiko, tak usah kita membuat museum -- sebab, di luar negeri pun museum meminjam dari para kolektor bila akan membuat pameran. Ya. Mengapa tidak? Ananda Moersid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus