Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wali kota dan kuli pena

Haji bachta nizar lubis, wali kota tanjungbalai, sum-ut, enggan berhubungan dengan wartawan karena pendekatannya kurang mengena. dua belas wartawan mengadu melalui kotak pos 5000.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK cuma pejabat yang sering dibuat jengkel oleh wartawan. Di Tanjungbalai, Sumatera Utara, Wali Kota Haji Bachta Nizar Lubis justru membikin sewot wartawan. "Sejak dilantik pada 9 Oktober tahun lalu, tidak sekali pun ia mau menjawab pertanyaan kami," kata Aldin Matova, 38 tahun. Hampir saban hari wartawan harian Waspada Medan itu memburu Bachta. Ia acap nongkrong di ruang Humas, namun selalu kandas mewawancarai Wali Kota. Maret lalu, ia mengajukan pertanyaan tertulis mengenai duit dari APBD, Rp 20 juta, yang dipakai Wali Kota sebagai "uang terima kasih" kepada anggota DPRD yang telah memilihnya. Toh upaya Matova gagal. Tidak dijawab. Surat kedua dari dia bagaikan batu dilempar ke lubuk. Nihil adanya. Suatu siang, ia mencegat Bachta di depan pintu kamar kerjanya. Secara lisan ia mengulangi pertanyaan itu. Tapi Wali Kota berpaling. Ia cicing (hengkang) dengan sedan dinasnya, Corona Twin Cam hitam. Perlakuan serupa juga dialami sejumlah wartawan di Kota Kerang itu. Padahal, kata mereka, seorang pejabat baru biasanya suka mengundang wartawan untuk silaturahmi. "Tapi di Tanjungbalai, wali kotanya jangankan mengundang bersilaturahmi, ditemui saja ogah," ujar Matova dengan mendengus. Karena itu, suatu malam, awal Juni lalu, mereka berkonsolidasi dan mengatur siasat di sebuah kedai kopi di Jalan Cokroaminoto -- yang selama ini dijadikan tempat berkumpul para wartawan di Tanjungbalai. Mereka sepakat mengadukan Wali Kota melalui surat ke Kotak Pos 5000 -- bis surat yang dipasang Wakil Presiden di Jakarta. Surat tadi, biasa, selain berisi sejibun keluhan, tentu juga menuduh Wali Kota Bachta bersikap cuek saja. Bumbu tudingan termasuk kepada Rusli A.R., Kepala Bagian Humas Pemda Tanjungbalai. Ia dianggap tak becus menjawab pertanyaan si kuli pena. Surat yang diteken 12 wartawan itu -- tembusannya ke PWI Cabang Sumatera Utara dan Pengurus PWI Pusat -- kemudian diposkan. Kederkah Pak Bachta dengan terbangnya surat itu ke Ibu Kota? Mudah-mudahan ia bergeming. Ia menyimpan alasan "Karena pendekatan mereka kurang mengena," ujarnya, melalui telepon, kepada Munawar Chalil dari TEMPO. Dan tentang "pendekatan" yang kurang mengena di hatinya itu, ia tak mau menjelaskan. Bahkan ia menolak membicarakan masalah lain. "Nanti dibilang pula saya pilih kasih. Kan tambah runyam," kata Bachta. Sumber di Humas Pemda mengatakan, Wali Kota itu memang malas berhubungan dengan wartawan, karena mereka suka mengajukan pertanyaan usil. "Contohnya, seperti pertanyaan mengenai uang terima kasih yang diberikannya kepada anggota DPRD itu," kata sumber tadi. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus