Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari new delhi kembali ke ...

Majelis tablig, yang lahir di india sekitar 1920- an, adalah kelompok islam yang mempraktekkan sega- la perbuatan dan sikap nabi. majelis tablig ber- kembang melalui dakwah berantai.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari New Delhi Kembali ke Sunah Nabi Majelis Tablig, yang lahir di India sekitar 70 tahun yang lalu, yang tak membutuhkan publikasi, ternyata tetap hidup, dan mendapat pengikut di hampir seluruh dunia. INILAH sebuah pertemuan besar yang berbau wangi. Di kawasan masjid Al Muttaqn, Ancol, Jakarta, lebih dari tiga ribu orang berjubah putih berkumpul. Mereka datang dari segenap penjuru Indonesia, beberapa dari Muangthai, India, Afghanistan, juga Arab Saudi. Selain tasbih, mereka pun membawa siwak, sepotong kayu yang berfungsi sebagai sikat gigi. Dari bau wangi dan pemandangan putih itulah orang akan segera mafhum, inilah kelompok yang populer disebut Jemaah atau Majelis Tablig. Satu kelompok Islam yang berniat mempraktekkan secara konsekuen sunah Nabi. Yakni segala perbuatan dan sikap Nabi. Jemaah ini masuk ke Indonesia pada akhir 1960-an. Tapi baru mulai berkembang, menurut Ensiklopedi Islam terbitan Departemen Agama RI, pada 1973, setelah Maulana Luthfur Rakhman dari Bangladesh datang di Indonesia. Memang, ini bukan pertemuan Majelis Tablig Indonesia yang pertama kalinya. Tapi mungkin inilah pertemuan teramai sejak Majelis Tablig berkembang di sini. Repotnya, kelompok yang pada prinslpnya menolak tata cara berorganisasl secara modern ini sulit menjawab seberapa besar sudah jemaah berkembang. Tak ada catatan, tak ada bentuk organisasi: umpamanya tak ada pengurus pusat, tak ada cabang dan lain-lain. Dan memang begitulah Majelis Tablig. Para anggota saling mengenal secara pribadi, bahkan pertemuan besar ini, konon, terselenggara bukan lewat undangan resmi, tapi hanya dari getok tular (dari mulut ke mulut). Bahkan, bila Anda bertanya tujuan pertemuan yang diwarnai oleh ucapan-ucapan anta, antum, ana, insya Allah, alhamdulillah, nishab, bayan, dan potongan ayat-ayat keimanan ini, jawabnya terasa seperti tak ada tujuan. "Untuk dakwah," kata seorang anggotanya. Memang, selama tiga hari itu tak ada pembicaraan tentang evaluasi perkembangan, organisasi, pengumpulan dana, dan semacamnya. Yang mereka sebut sebagai dakwah pun rupanya sudah dipatok. Yakni, "Kita mengajak orang untuk berperilaku seperti Nabi. Sebab, hanya itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah keduniawian," kata A. Khairi, yang datang ke Indonesia dari Dahran, Arab Saudi. Manajer Hotel Marathon di Dahran itu sengaja mengambil cuti selama empat bulan untuk berdakwah ke beberapa negara dengan biaya sendiri. Tak jelas bentuk organisasinya, tapi pegangan prinsip Majelis Tablig ada juga. Yakni beberapa ayat Quran, antara lain, "Orang-orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya lebih tinggi derajatnya di sisi Allah." (Surat At-Taubah, ayat 20). Dan pada sabda Nabi, "Barang siapa yang meluangkan waktunya pada pagi atau sore hari di jalan Allah, ia akan menerima ganjaran yang lebih besar daripada dunia dan isinya." Itu sebabnya anggota Majelis tak segan-segan menyisihkan seperempat dari pendapatan mereka untuk bertablig (berdakwah). Hal ini dilakukan, semata-mata didorong keinginan memperbaiki diri sendiri dan mengajak orang lain memperbaiki diri pula. Anggota Majelis memang dianjurkan menggunakan empat bulan dari umur mereka untuk berdakwah. Tak ada ketentuan, empat bulan itu dicicil tiap tahun, tiap bulan, atau tiap minggu. Dan mengapa empat bulan, karena begitulah Maulana Ilyas, yang disebut-sebut sebagai pendiri majelis ini, mengatakannya. Meski tak jelas bentuk organisasinya, rupanya orang-orang Majelis sepakat bahwa yang memulai ini semua adalah Maulana Ilyas (1885-1947), di New Delhi, India. Pada tahun 1920-an, Maulana Ilyas mulai melakukan dakwah, yang konon seperti yang dilakukan Nabi. Ia, setelah sembahyang asar, berkunjung dari rumah ke rumah sekitar masjid. Yang diimbaukan Maulana Ilyas sederhana saja: mengajak mereka salat berjemaah di masjid. Para pengikut Majelis Tablig, sampai sekarang, tak mengubah cara ini. Maka, sampai sekarang pun tak ada dakwah Majelis Tablig terekam dalam buku, atau kaset. Mereka pun tak menyiarkan dakwah lewat televisi atau radio. Cara-cara modern itu, menurut Syeikh Maulana Ilyas itu, meski mempengaruhi pikiran seseorang, jarang sekali memberikan kesan dan perubahan dalam tingkah laku dan perbuatan. Dengan kata lain, mereka ingin berdakwah dengan cara memberi teladan langsung. Cara inilah, yang oleh jemaah tablig disebut jaulah. Dan bagi mereka yang sudah menyatakan diri ikut dalam Majelis ini, seperti sudah disebutkan, terkena wajib dakwah pula. lni dimungkinkan karena dai dalam Majelis ini tak ada kriterianya. Dengan kata lain, semua anggota Majelis adalah dai. Maulana Ilyas mendasarkan hal ini pada ucapan Nabi, "Kami belajar iman, kemudian kami belajar Quran." Dengan cara dakwah berantai itulah, rupanya majelis Tablig dikembangkan. Dan ternyata mendapat pengikut di hampir seluruh dunia. Dokter Nasrun, dosen di Universitas Sriwijaya, Palembang, punya pengalaman bersentuhan dengan cara dakwah Majelis Tablig. Ketika ia belajar di Australia, kaum berjubah putih ini rajin mendatangi apartemennya, mengajaknya salat di masjid, sambil membacakan hadis-hadis tentang kelebihan salat di masjid. Diam-diam Dokter Nasrun membandingkan anjuran mereka dengan isi buku Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali. Ternyata, yang disampaikan kaum berjenggot itu tak bertentangan dengan anjuran kitab yang jadi pegangannya tersebut, yang selama ini belum ia praktekkan. Maka, bergabunglah Nasrun dengan jemaah Tablig itu pada 1988. Meski para dai Majelis ini tak ada kriterianya, dakwahnya itu sendiri punya batasan. Ada empat hal yang harus dijauhi para dai Majelis Tablig. Yakni, soal politik, khilafiyah, soal sumbangan, dan aib masyarakat. Sikap anti berpolitik inilah, menurut seorang pengamat di Malaysia, yang menyebabkan pemerintah India tak menghalangi Majelis Tablig disebarluaskan. Bahkan, konon, di zaman Perdana Menteri Indira Gandhi, kelompok ini mendapatkan dana khusus. Mungkin inilah pangkal awalnya anggota Majelis Tablig lalu bisa berdakwah ke seluruh dunia. Singkat kata, Majelis Tablig ini, lebih dari kelompok-kelompok yang lain, mencoba menekankan silaturahmi, persaudaraan, kesetiakawanan, dan pemerataan. Uniknya, hal itu tak dituntutkan oleh Syeikh Maulana Ilyas untuk dijalani oleh para pengikutnya sepanjang hidup. Seperti sudah disebutkan, itu hanya diwajibkan, paling sedikit, dijalankan dalam empat bulan seumur hidup mereka. Tentu saja itu tak berarti bahwa, di luar empat bulan atau lebih itu, para pengikut Majelis Tablig boleh semaunya. Syeikh Maulana Ilyas tentu pula memperhitungkan, setelah menjalani hidup berpedoman pada sunah Nabi, sedikit atau banyak akan berpengaruh pada jiwanya. Tentu, akan ada pula yang kemudian malah menjauhkan diri dari Majelis Tablig. Contohnya, Hasbi Yahya, pemuda asal Aceh yang kini tinggal di Kuala Lumpur. Ia mengaku satu setengah tahun bergabung dengan Majelis Tablig. Tapi kemudian ia merasa tak cocok. "Banyak hal tentang Nabi, yang harus kami tiru," kata Hasbi. Padahal, itu bukan satu keharusan agama, melainkan suatu yang kebetulan saja. Umpamanya, anggota Majelis Tablig dianjurkan tak memakai dompet sebagai tempat menyimpan uang, tapi pundi-pundi, sebagaimana dilakukan oleh Nabi. Hasbi pun bertanya-tanya, bukankah soal pundi-pundi ini karena dahulu di Arab memang itu yang lazim dipakai. Di luar hal-hal kecil seperti itu, menurut K.H. Hasan Basri, Ketua Majelis Ulama Indonesia, pernah menilai bahwa dilihat dari ajarannya, Majelis Tablig tak bertentangan dengan Islam. Memang ada berbagai penafsiran mempraktekkan Islam. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Mukhizardy Mukhtar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus