Ia penulis novel yang memperoleh Nobel Perdamaian, dan bukan kesusastraan. Ia konsekuen melawan kebencian. MALAM (1988), FAJAR (1991) Dua novel terjermahan karya Elie Wiesel Penerbit: Yayasan Obor Indonesia TAK mudah melawan kebencian yang membunuh manusia dan kemanusiaan. Terutama ketika seorang yang dahulu jadi korban, kemudian beralih menjadi pembunuh. Itulah yang dikisahkan oleh Elie Wiesel, dalam dua novelnya, yakni La Nuit (1958) dan kemudian L'Aube (1960). Yang pertama diindonesiakan menjadi Malam (1988), dan yang kedua Fajar (1991). Kedua terjemahan Indonesianya itu diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Hidup di kamp konsentrasi Nazi, kehilangan kedua orangtua dan seorang adik di tempat itu, jelas bukan pengalaman yang bisa dilupakan. Elie Wiesel, pengarang itu, yang lahir tahun 1928 di Sighet, Rumania, adalah saksi hidup kamp Auschwitz dan Buchenwald pada tahun 1944 sampai 1945. Pengalaman di kedua kamp itulah yang mengilhaminya menulis Malam. Sebuah kisah yang mencekam. yang tokoh utamanya meragukan keberadaan Tuhan yang dianggapnya membiarkan pembunuhan besar atas manusia dan kemanusiaan. Meskipun ini tergolong karya fiksi, orang menganggapnya sebagai saksi holocaust -- pembantaian besar-besaran orang Yahudi. Novel ini jadi best seller di seluruh dunia. Dua tahun kemudian Wiesel menulis Fajar. Di sini tokoh "aku" bukan sebagai korban sebagaimana dalam Malam, tapi pelaku pembunuhan. Bukan pembunuh yang berjalan lurus ke depan dan dengan enteng mencabut nyawa korbannya. Tapi pembunuh yang dalam perjalanan merenungi apa yang akan dilakukannya. Pembunuh yang sempat mendengar anak menangis, melihat perempuan tua menutup tirai jendela, dan bertanya pada dirinya sendiri, "Besok aku akan membunuh manusia .... Apakah anak yang menangis dan perempuan tua di seberang memaklumi hal itu." Dalam perang, pembunuh itu, yang adalah Yahudi muda yang lolos dari kamp Auschwitz, melihat dirinya mengenakan seragam abu-abu tua, seragam tentara Jerman. "Aku benci sekali pada diriku yang keji," tulis Elie Wiesel. Tema-tema itulah yang mengantarkan Elie Wiesel memperoleh hadiah Nobel Perdamaian, bukan kesusastraan, pada 1986. "Keyakinannya bahwa kekuatan melawan kejahatan di dunia ini akan menang merupakan keyakinan yang sukar ditemui," kata Egil Arrvik, anggota Komite Nobel Norwegia, ketika mengumumkan pemberian hadiah itu. "Tulisannya adalah satu perdamaian, satu pertobatan, satu harkat martabat manusia." Pengarang Yahudi yang kini tinggal di New York bersama istrinya ini menulis dalam bahasa Prancis. Dengan menggunakan bukan bahasa ibunya itulah agaknya ia lebih mudah menceritakan pengalamannya dengan mengambil jarak hingga ia lebih bisa bersikap arif, tak terjerumus menulis propaganda antikebencian, atau jadi cengeng meratapi si "aku". Dan Wiesel tak hanya berjuang lewat tulisan. Wiesel juga melakukan perjalanan ke Kamboja, Afrika Selatan, Bangladesh, dan Uni Soviet demi perjuangan melawan pelanggaran hak asasi manusia. Tampaknya, perjalanannya itu makin mengentalkan keyakinannya bahwa manusia mestinya bersatu melawan semangat kebencian. Pada Agustus 1990, penulis Yahudi yang ikut memprotes pembantaian orang Palestina oleh tentara Israel di Sabra dan Shatila, ini ikut memprakarsai Konperensi Kebencian di Oslo, Norwegia. Konperensi yang dihadiri oleh 70 tokoh dunia, antara lain Jimmy Carter, Nelson Mandela, dan Takako Doi itu membuat suatu pernyataan, "Kepada perempuan dan lelaki di seluruh dunia serta semua agama kami serukan: Persatukanlah semua kekuatan yang baik dan berperanglah terhadap kebencian yang membunuh kemanusiaan kita...." "Amat disayangkan buku seperti yang ditulis oleh Wiesel ini tak dibuat sebagai pelajaran oleh orang Yahudi sendiri," tulis Mochtar Lubis dalam pengantar untuk Malam. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini