Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA mengandung energi. Itulah yang diyakini mendiang spiritualis asal Yogyakarta, Arkand Bodhana Zeshaprajna, setelah mempelajari kitab Manutiras—kitab tentang struktur nama—dari seorang guru India bernama Guruji Anandamurti di Kolkata, India, 1987. Sepulang ke Yogyakarta, ia menyebarkan ajaran Manutiras bahwa struktur nama sangat berpengaruh bagi jalan hidup seseorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arkand berpandangan seseorang harus memiliki nama yang cocok agar hidupnya lancar dan tak banyak rintangan. Orang Batak yang sempat kuliah di seminari dan bernama asli Immanuel Alexander Tarigan ini lalu membuka jasa konsultansi pemberian nama baru berdasarkan “hitungan-hitungan” tertentu yang dapat membuka aura positif seseorang. Tak dinyana, banyak yang terpikat oleh praktik Arkand, dari seniman sampai pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kliennya diharuskan menuliskan nama baru pemberiannya sebanyak-banyaknya, minimal satu halaman kertas kuarto, setiap kali menjelang tidur malam. Tujuannya, struktur nama baru itu dapat merasuk atau meresap hingga lapisan paling halus dalam pikiran. Meskipun nama di kartu tanda penduduk tetap nama lama, ketika seorang klien menuliskan nama baru berulang, repetisi itu seperti mantra atau wirid yang melibatkan otot, saraf, mata, dan pikiran.
Butet Kartaredjasa termasuk yang percaya. Nama asli yang diberikan bapaknya, Bagong Kussudiardja, adalah Bambang Ekalaja Butet Kartaredjasa. Nama ini berasal dari kesatria wayang dalam cerita Mahabharata yang keterampilan memanahnya sepadan dengan Arjuna tapi tak pernah diakui oleh Durna sebagai murid. Terdapat pula paduan nama Batak pada nama asli Butet.
Gambar kelinci yang diberi judul Melompati Gelombang karya Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional, Jakarta, 1 Mei 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Menurut Arkand, nama itulah yang harus dipakai Butet. Butet selama 90 hari terus-menerus menuliskan nama Bambang Ekalaja di kertas. Ia merasa rezekinya makin deras mengalir setelah melakukan praktik “wirid” tulisan ini. Butet pun kemudian aktif memperkenalkan Arkand ke mana-mana. Beberapa tahun lalu, suatu hari tiba-tiba ia datang ke kantor Tempo di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, membawa Arkand. Di situ Arkand menguraikan metodenya. Banyak yang penasaran terhadap Arkand sampai waktu itu, saya ingat, (almarhum) Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno pun datang.
Pameran ini adalah jejak Arkand pada diri Butet. Sesudah Arkand wafat pada 2020, Butet lama tak bersinggungan dengan “mistik nama” ini. Butet kembali menekuninya setelah jatuh sakit. Dia kembali mempraktikkan penulisan Bambang Ekalaja, tapi kini tak semata-mata sebagai terapi, melainkan diwujudkan dalam berbagai visual dan medium. Dari tangan Butet, repetisi penulisan namanya memunculkan bentuk-bentuk manusia dan binatang yang lebih mirip mitologi.
Energi Butet boleh dibilang luar biasa. Di kala pemulihan setelah sakitnya, dengan masih mengenakan tongkat, ia mampu menghasilkan pameran dengan skala “raksasa”. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dipenuhi karyanya dengan berbagai medium, dari kertas, kanvas, kain bordir, batu, keramik, pelat kuningan, sampai besi lapis nikel. Terlihat gairah Butet menyala-nyala.
Kemampuan dasar Butet dalam menuliskan namanya cukup halus. Tangan Butet terampil. Kita melihat itu pada tebal-tipis aksaranya di kertas. Repetisinya tak monoton, melainkan dinamis beraliran dan berirama. Kalaupun hanya ini yang disajikan di pameran, itu sudah menarik. Lihatlah ratusan kertas A3 bergambar sosok-sosok binatang dan manusia yang dibentuk dari konfigurasi wirid tulisan nama Bambang Ekalaja yang ditempel di dinding. Ini menjadi panorama tersendiri. Di tiap kertas kita lihat nama yang ditulis kecil-kecil dan teliti menyatu menjadi citraan tubuh.
Kurator Asmudjo Irianto menyebutnya sebagai catatan seismograf gerak batin Butet. Dulu, dalam dunia sastra, (almarhum) Danarto mempopulerkan puisi konkret. Salah satu cerita pendek Danarto dalam Adam Ma'rifat tentang trance menampilkan permainan tipografi tulisan tangan kata “cak-cak” dan “ngung-ngung”. Permainan aksara Butet dalam pameran ini lebih dari itu: membentuk aneka makhluk.
Kebuasan Palsu karya Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional, Jakarta, 1 Mei 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Tidak dijelaskan dalam katalog apakah bentuk-bentuk visual makhluk dan manusia itu dirancang Butet dengan sadar atau secara otomatis tanpa sadar. Perkiraan saya, imaji-imaji intuitif tertentu muncul saat Butet mendaraskan namanya, kemudian ditangkap, diwujudkan, dan diisi Butet dengan aksara namanya.
Yang jelas itu menimbulkan sensasi-sensasi visual yang cukup simbolis. Kita lihat seekor kelinci melompati gelombang, seorang bersayap menunggang kuda, babi bersayap merak, seekor merak bertengger di pantat kerbau, kelinci duduk di ekor kambing, dan persahabatan antarmakhluk yang aneh lain. Makhluk-makhluk itu antara realis dan surealis, seperti fauna folklor atau mitologi. Butet seolah-olah menangkap citra-citra dari dunia dalamnya yang berkelebat. Beberapa di antaranya dapat dibaca sebagai endapan permenungan dunia sehari-hari.
Butet, misalnya, berulang kali menampilkan sosok macan. Macan-macan itu menoleh, mengaum, dan moncongnya mengeluarkan gumpalan tulisan nama Butet. Tubuh macan itu sendiri penuh goresan nama Bambang Ekalaja. Butet memberinya judul Mewaspadai Ancaman, Kebuasan Palsu, Melambungkan Harapan dan Lain-lain.
Secara umum, banyak judul karya Butet yang mengarah pada imaji pembersihan diri, pengeluaran energi buruk dari tubuh, peluruhan nafsu-nafsu angkara murka, dan penyeimbangan. Bisa dibayangkan visual-visual seperti ini mirip visual jimat untuk perlindungan diri. Secara teknik, senyampang kita juga ingat teknik lukisan kaca Cirebon, sosok-sosok tokoh wayang yang diberi isian huruf Al-Quran. Namun ini dengan isian nama Bambang Ekalaja.
Tatkala mendengar Butet akan berpameran, sesungguhnya segera terbayang visualnya akan penuh satire keras, parodi politik, atau cemoohan-cemoohan telanjang. Apalagi sebelumnya, melalui WhatsApp, ia mengedarkan kepada sahabat-sahabatnya beberapa gambar punakawan penuh sindiran tentang kerakusan takhta pada medium berbahan formika dengan tebal 3 milimeter dan berukuran 40 x 60 sentimeter. Saya kira itu materi utama pamerannya. Tapi ternyata tidak.
Instalasi patung dan lukisan berjudul Melik Nggendong Lali karya Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional, Jakarta, 1 Mei 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Pamerannya sama sekali tak verbal atau “anarkistis”, melainkan lebih merupakan renungan batin. Sebagian besar visualnya simbolis, kecuali satu patung. Patung itu mengambil rupa Petruk berdasi pita dengan kostum kontemporer. Ia berkacak pinggang di depan tulisan “Melik Nggendong Lali” yang ditorehkan di tiga kanvas dan menjadi tema pameran. Kita segera menangkap ini adalah kritik atas ketamakan kekuasaan.
Beberapa gambar seperti visual menampilkan kata “Uasuwokkk” yang dibuat dengan isian namanya. Ini ungkapan “tanda cinta” (baca: kekesalan) Butet terhadap rezim. Namun secara keseluruhan citra-citra visual yang ditampilkan Butet lebih simbolis dan mirip rajah, yang berisi gambar-gambar mimpi beserta isian nama yang diulang-ulang.
Singa, kambing bertanduk, babi terbang, dan manusia menyunggi kelinci. Ini lebih sebagai lambang-lambang dua kaki. Duniawi dan transendental. Gambar-gambar itu ada yang menampilkan semacam wisik atau pertanda-pertanda yang harus dicari dalam realitas.
Arkand Bodhana. Dok. Tempo/Nurdiansah
Asmudjo Irianto, kurator pameran, mengatakan sesungguhnya gambar-gambar itu dapat dibaca sebagai kekritisan Butet yang bertolak dari pengolahan spiritualnya sehari-hari. Mungkin hal itu benar bila kita memperhatikan dan merenungkan gambar-gambar tersebut satu per satu secara mendalam. Walhasil, kita pun menikmati sensasi batin makhluk mitologi ciptaan Butet.
Penataan pameran terasa nyaman dengan kursi-kursi antik untuk penonton duduk menatap lukisan dalam-dalam di tiap ruangan. Hal ini menambah cita rasa pameran. Boleh jadi ini salah satu pameran dengan konsep dan eksekusi terunik di Galeri Nasional Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di versi cetak, artikel ini berjudul "Sensasi Visual Wirid Bambang Ekalaja".