Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Trauma Lanjutan Setelah Intimidasi

Sebagian warga Wadas memilih masih mengungsi di luar kampung hingga hari ini. Ada juga warga yang sudah berani ke kebun setelah polisi meninggalkan Wadas.

12 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polisi berjaga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebagian warga Wadas belum berani ke kebun setelah insiden penangkapan puluhan warga penolak tambang, Selasa lalu.

  • Ada juga warga Wadas yang sudah berani ke kebun setelah polisi pergi dari kampung mereka.

  • Komnas HAM akan temui warga Wadas, hari ini.

JAKARTA – Siswanto bergegas menengok ladang kopi dan jahe miliknya yang berada di hutan Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, kemarin siang. Warga Wadas itu sempat memilih berdiam diri di rumah saat polisi mengepung perkampungan mereka lalu menangkap puluhan warga yang menolak penambangan batu andesit di Wadas, tiga hari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menyusuri lahan miliknya yang berjarak satu kilometer dari rumahnya selama sekitar satu jam. Ia berani pergi ke ladang karena Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah menarik ratusan personelnya dari Wadas. Menurut pengamatan Siswanto, polisi sudah tidak terlihat di pos-pos penjagaan, balai desa, rumah-rumah warga, dan hutan Wadas sejak Jumat siang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Siswanto, penarikan polisi itu membuat sebagian warga Wadas lebih tenang. Mereka akhirnya berani ke ladang, mengambil rumput di hutan, dan bepergian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini berbeda dengan ketika ratusan polisi memenuhi penjuru kampung Wadas, saat itu sebagian warga mengunci pintu dan memilih tetap berada di dalam rumah. Mereka mengalami trauma atas peristiwa penangkapan warga Wadas penentang tambang andesit.

Siswanto adalah satu dari ratusan warga Wadas yang memilih menolak penambangan batu andesit di kampungnya. Andesit ini akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener, yang menjadi proyek pemerintah pusat. Siswanto punya lahan seluas dua hektare milik keluarga besarnya. Ia memilih tak akan menjualnya kepada pemerintah. “Saya menjaga tanah milik keluarga selamanya,” kata Siswanto melalui sambungan telepon, kemarin.

Ia berharap aktivitas warga Wadas kembali berjalan normal setelah penangkapan tersebut. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 40 warga Wadas ditangkap polisi saat pengepungan kampung itu, Selasa lalu. Semua warga itu merupakan penentang rencana penambangan batu andesit di Wadas.

Polisi menangkap mereka di beberapa tempat, di antaranya saat menggelar doa bersama di Masjid Nurul Huda, Desa Wadas, dan di rumah mereka. Mereka lantas digiring ke Kepolisian Sektor Bener. Kini mereka sudah dibebaskan.

Ibu-ibu anggota Wadon Wadas membuat besek sebagai bentuk penolakan tambang batu andesit di Dusun Winong, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, 10 Februari 2022. TEMPO/Shinta Maharani

YLBHI menduga penangkapan ini disertai dengan intimidasi dan kekerasan. Namun Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar M. Iqbal Alqudusy, berdalih bahwa penangkapan itu dilakukan karena terjadi gesekan antara masyarakat penolak dan pendukung penambangan.

Polisi beralasan mereka ke Wadas atas permintaan Badan Pertanahan Nasional. BPN berencana mengukur tanah masyarakat yang setuju dengan penambangan itu. Setelah pengukuran, BPN menandai lahan-lahan milik warga yang sudah setuju diukur dengan warna merah.

Berbeda dengan Siswanto, keluarga Imel masih merasa trauma atas penangkapan oleh polisi. Kedua orang tua Imel belum berani pergi ke ladang miliknya meski polisi sudah tidak berjaga di kampungnya. Di lahan Imel tumbuh tanaman tumpeng sari, seperti kunyit, jahe, kencur, petai, dan durian. Keluarga Imel ingin mendapat kepastian bahwa polisi dan petugas BPN tidak akan datang lagi mengepung Wadas. “Kami ingin benar-benar aman,” kata Imel.

Menurut Imel, saat penangkapan berlangsung, sebagian warga Wadas mengungsi ke luar kampung. Tapi kini sebagian besar dari mereka sudah kembali ke Wadas. Hanya sebagian kecil warga Wadas yang masih tinggal di rumah kerabatnya di kampung tetangga karena masih dihinggapi trauma.

Satu di antaranya adalah Anwar Fajar, 25 tahun. Warga Wadas ini ikut ditangkap polisi, Selasa lalu. Saat ini, pemuda tersebut memilih tinggal di rumah kerabatnya di luar Wadas karena ibunya mengalami trauma setelah penangkapan tersebut. Orang tua Fajar tak bisa melupakan peristiwa penangkapan itu saat melakukan doa bersama di Masjid Nurul Huda, yang berada di dekat rumahnya.

Jumat siang kemarin, tim Kantor Staf Presiden menemui warga Wadas di Masjid Nurul Huda. Siswanto ikut menghadiri pertemuan ini. Ia mengatakan tim Kantor Staf Presiden bertanya mengenai jumlah masyarakat yang setuju dan yang menolak pengukuran lahan untuk tambang batu andesit. Tim Kantor Staf Presiden berjanji akan menyampaikan informasi yang didapatkannya kepada Presiden Joko Widodo.

Menurut Siswanto, sebagian warga Wadas yang menerima pengukuran lahan tidak terkena dampak secara langsung dari kegiatan penambangan. Lahan mereka berada jauh dari area rencana penambangan.

Ia mengatakan masyarakat juga menginformasikan adanya intimidasi polisi terhadap warga Wadas, Kamis pagi lalu. Polisi itu disebut-sebut memaksa warga menandatangani surat persetujuan pengukuran lahan.

Kepala Kepolisian Resor Purworejo, Ajun Komisaris Besar Fahrurozi, membantahnya. Dia menegaskan, kegiatan pendataan dan persetujuan pengukuran lahan merupakan tugas BPN, bukan polisi. “Tidak benar. Laporan yang saya terima itu penyampaian melalui pengeras suara oleh kepala desa setempat,” kata Fahrurozi.

Konflik tambang di Wadas ini membuat komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan dia dan tim telah bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Rumah Dinas Puri Gedeh, Semarang, Jumat sore.

Tim Komnas HAM lantas memberi masukan agar Ganjar mengubah pendekatan dalam penyelesaian konflik tambang di Wadas. Mereka meminta Ganjar menyiapkan langkah alternatif sebagai solusi kisruh Wadas. “Gubernur dan BBWSO (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak) jangan hanya menyiapkan satu opsi, karena ada yang pro dan kontra,” kata Beka.

Ganjar, menurut Beka, berjanji mengevaluasi pendekatan keamanan dan teknis penyelesaian konflik Wadas. Setelah bertemu dengan Ganjar, Beka juga bertemu dengan tokoh Nahdlatul Ulama, Imam Aziz. Pagi ini, Beka dan tim berencana menemui warga Wadas. Mereka hendak menelusuri insiden penangkapan warga, Selasa lalu.

Komnas HAM juga sedang menyiapkan pemulihan dari trauma bagi anak dan perempuan seusai insiden penangkapan warga penolak tambang di Wadas tersebut. Komnas HAM sudah berkomunikasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk agenda pemulihan dari trauma.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus