PERANG, itulah makanan Peter Arnett, wartawan televisi CNN yang sejak dua pekan lalu merupakan wartawan asing satu-satunya yang berada di Baghdad. Tapi bila Senin malam pekan lalu waktu setempat, ia mendapatkan kejutan, itu bukan karena rudal Tomahawk meledak di dekat ia meliput suasana kota yang sedang dihujani bom Sekutu. Beberapa jam sebelumnya, Menteri Penerangan Irak menemuinya dan memberi tahu bahwa ia akan mempertemukan Arnett dengan seorang penting Irak. Lalu, Arnett pun dijemput, dibawa keluar Baghdad. Kendaraan yang membawa mereka berhenti di suatu tempat, mereka masuk ke sebuah rumah, rumah yang sama dengan rumah-rumah penduduk biasa. Ketika Arnett membuka pintu dan masuk, barulah ia tahu siapa "orang penting" itu. Duduk santai di depannya adalah Saddam Hussein. Maka, malam itu juga (Selasa pagi WIB), CNN menyiarkan wawancara Arnett dan orang yang kini jadi fokus perhatian siapa saja. Tapi di Amerika sendiri, siaran itu menimbulkan pro dan kontra. Gedung Putih dan beberapa jaringan televisi Amerika menyebut Arnett sudah diperalat oleh Saddam untuk menyiarkan propagandanya ke seluruh dunia. Tapi surat kabar New York Times membela Arnett, bahkan mengatakan mestinya ia dan rekan-rekannya mendapat penghargaan. Betapapun sepihaknya wawancara itu, tapi para pendengar CNN sudah diperingatkan sebelumnya tentang itu. Jadi, kata Times, pemerintah Amerika mestinya menghargai kemandirian peliputan pers. Peter Arnett, 60 tahun, wartawan televisi CNN, makin terkenal. Dialah satu-satunya wartawan asing yang masih bertahan -- tentu juga karena pemerintah Irak menyetujui ia tinggal -- di Baghdad, hingga saat ini. Di mana ia sekarang? "Sudah barang tentu ia tinggal di Baghdad," kata George Esper, teman Arnett dari AP yang pernah sama-sama meliput jatuhnya Saigon. "Saya ingat pesannya di New York saat itu, pada 1975, bahwa Vietkong baru saja masuk ke biro bersamanya," ujar bekas editor luar negeri AP, Nate Polowetzky. "Saya menyuruhnya keluar dari sana. Tapi dia malah menyuruh saya untuk menyelamatkan diri sendiri." Adakah Arnett belum kenyang meliput perang? Apakah 13 tahun meliput Perang Vietnam -- yang membuat dia mendapat hadiah Pulitzer -- belum cukup? Belum lagi ditambah pengalamannya di Nikaragua, El Salvador, dan juga di Afghanistan. Arnett sempat menuntut ilmu di Waitaki College, Oamaru, Selandia Baru, selama 3 tahun. Mungkin, itu salah satu faktor mengapa ia begitu antusias jika mendengar kata perang. Ia menjadi saksi mata terhadap pembunuhan besar-besaran dan penyelamatan diri. Belum terdengar ada figur jurnalistik yang berani ambil risiko begitu besar selama ini. Sudah banyak negara dijelajahinya. Ia pernah diusir dari Indonesia -- hal serupa terjadi di Moskow, 1987 -- oleh pemerintah yang berkuasa pada 1962. Banyak orang percaya bahwa ia merupakan pencetus ide untuk pembuatan film The Year of Living Dangerously. Sewaktu teroris Arab membajak pesawat TWA milik penerbangan swasta AS, 1985, tiba-tiba ia sudah berada di tempat kejadian. "Memang tak aneh jika ia selalu muncul dalam setiap kejadian penting," ujar koresponden TV CBS, Terry Smith. Bahkan ia berada di Tel Aviv selama Perang Yom Kippur, 1967. Kewartawanan Arnett patut dicontoh. Banyak teman seprofesinya yang sama-sama meliput Perang Vietnam sudah berpindah ke bidang-bidang yang lebih santai. Misal- nya menjadi editor, penulis, dan penyusun naskah pidato. Arnett masih setia bergulat dengan maut. "Bagaimana dia bisa bertahan? Berapa banyak bom dan peluru yang telah ia saksikan?" tanya Smith. Hanya perang yang bisa membuat ia lebih bersemangat. Di tengah-tengah peperangan, Arnett masih bisa tertawa. Tapi, "saya tertawa karena ketakutan," kata Arnett. "Ia sangat ketakutan waktu itu," cerita Neil Sheehan, teman Arnett yang sama-sama dari Vietnam. Dia satu-satunya orang yang ada di hotel yang mengetahui betapa bahayanya mereka pada saat itu. Bagaimana mudahnya salah satu pesawat Sekutu mengebom hotel itu. Rasa ingin tahu Arnett mampu mengalahkan rasa takut. Ia selalu ingin menjadi saksi mata pada saat terjadinya pergolakan dan bahaya. Ia tidak bisa duduk dan hanya sekadar wawancara dengan seseorang tentang apa yang terjadi di sana. Ia selalu ingin berada di lokasi kejadian. Dan ia selalu terhindar dari harapan kematian. "Ia orang yang sangat hati-hati," kata Sheehan. Ia berani menghadapi segala risiko yang berat. Tentu, ia bermain Russian roullet, tapi ia seorang wartawan perang. Jangan heran jika ia menjadi yang terbaik saat ini. Dan kalau Anda menjadi pemilik CNN, Anda harus berterima kasih kepada Peter Arnett, yang berada di Baghdad sewaktu pengeboman terjadi. Bahkan ia merupakan satu-satunya wartawan di dunia yang berhasil melakukan wawancara dengan Saddam Hussein dalam situasi perang masih berlangsung. Di tengah persaingan era baru jurnalistik, wartawan TV tampil tampan dan menarik. Tapi Arnett sebaliknya. Tubuhnya pendek -- sekitar 170 cm -- sedikit kurus, dengan kepala agak botak. Bagi Arnett, kenyataan lebih penting daripada penampilan. Arnett hampir menghabiskan seluruh hidupnya di bidang jurnalistik. Tak mengenal lelah, mahir berdiskusi. Sheehan dan David Halberstam, di The New York Times, mempengaruhi pembuat kebijaksanaan di AS pada saat itu. Sedangkan Arnett, dengan pembaca yang luas di AP, banyak menulis tentang Amerika Tengah. Pada 1968, Arnett menjadi terkenal sebagai wartawan Perang Vietnam. Ia merupakan satu-satunya wartawan yang menyaksikan dan mempunyai data lengkap tentang tragedi Perang Vietnam. "Yaitu tragedi Delta Mekong," tutur Esper. Bagaimana tentara AS dengan senapan mesinnya membantai penduduk sipil di Desa Ben Tre, dengan dalih untuk menyelamatkan daerah itu. Esper percaya, Arnett dilahirkan dengan insting sebagai wartawan perang. Dia banyak melihat dan berpengalaman dalam banyak hal. Kelebihannya, ia bisa melihat sudut lain dibandingkan wartawan lain. Itu terjadi sewaktu Perang Vietnam. Ia ber- sama reporter lainnya ikut meliput operasi militer pasukan infanteri. Wartawan yang lain banyak melaporkan reportase tentang apa yang terjadi dalam pertempuran. Seperti suara ledakan mortir dan meriam. Apa yang dilakukan Arnett sama sekali berbeda. Ia, dengan radionya, mendengarkan percakapan antara pos komando dan pasukan. Dari hasil pemantauan itu dia mengetahui bagaimana para tentara AS menolak untuk bertempur. Itu merupakan kejadian yang luar biasa. Tak seorang pun mengetahui apa yang terjadi sebenarnya di medan tempur. Itu bisa dibaca dalam cerita panjang yang dibuatnya. Hasil karya fotografer kawakan AP -- kini menjadi editor foto AP di Eropa --Horst Faas, banyak menghiasi tulisan Arnett. Ia menceritakan bagaimana Arnett terhindar dari bahaya sewaktu mengikuti patroli pasukan Vietnam Selatan. Menurut Faas, berpatroli dengan mereka sangat menyenangkan karena tentara Viet- nam Selatan suka masak dan makan. "Saya dan Arnett dalam setiap patroli selalu membawa minuman anggur. Suatu kehidupan yang sangat menyenangkan," ujar Faas. Di samping itu, Arnett juga dikenal sebagai kolektor buku dan patung dari Timur, senang bercerita, suka bersenang-senang dan doyan makan. Setelah Perang Vietnam, AP memindahkan Arnett ke New York sebagai penulis khusus. Tampaknya, Arnett tidak senang dengan tugas itu. "Itu membuat ia berubah pikiran dan mengundurkan diri setelah membuat laporan panjang tentang pelayanan kesehatan di AS," tutur Faas. Menurut Faas, Arnett lebih suka meliput sesuatu yang dramatik. "Ia lebih senang mencari sesuatu yang membuatnya menjadi muda kembali," tambah Faas sungguh-sungguh. Dan dia bisa mendapatkan iu semua di CNN. Ia bergabung dengan CNN pada 1981. Ted Turner, pemilik CNN, menjadikannya sebagai orang televisi, tapi kelihatan seperti bukan orang televisi. Dia bukan aktor sebagaimana orang televisi lainnya. Ia seorang yang pendek dengan hidung agak pesek bagi orang Amerika. Semua orang ragu-ragu, apakah Arnett bisa menjalankan tugasnya di televisi. Namun, pihak CNN selalu memperpanjang kontraknya. Itu berarti, mereka menaruh kepercayaan. Dan Arnett bisa membuktikan. Faas menilai, Arnett tidak sabaran. Itu sebabnya, ia harus keluar dari Moskow, 1987, dan bertugas di Washington. Arnett, kata Faas, waktu itu menginginkan untuk bisa melakukan perjalanan ke Azerbaijan dan Lithuania, tapi pihak CNN minta agar ia tetap di Moskow. Kasus Teluk memberi Arnett angin segar untuk berangkat ke Timur Tengah. "Ia dikenal suka mempertaruhkan nyawanya," kata Faas. Itu sebabnya, ia sangat senang tinggal di Baghdad. Padahal, banyak orang di bidang jurnalistik yang mengejar posisi sebagai "penjaga gawang" atau kepala biro. Arnett menyadari dan selalu mengerti bahwa meliput suatu peristiwa adalah di atas segala-galanya. RNO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini