WAKTU makan siang tiba. Maka, Idris, sang pawang, segera menebarkan pipilan jagung, ubi, dan pisang ke dalam kandang. Pimpinan rombongan monyet pun masuk dahulu mengambil bagian, disusul anak buahnya. Setelah kenyang, mereka kembali bermain-main di hutan sekitar kandang. Ini kejadian sehari-hari di Pulau Tinjil, sebuah pulau dengan panjang enam kilometer di Samudera Indonesia. Dengan perahu motor, tempat ini bisa dicapai dalam satu jam dari Muara Binuanguen, sebuah desa yang bisa ditempuh dengan mobil selama lima jam dari Jakarta ke arah selatan Pandeglang. Sejak 1987, Pulau Tinjil dijadikan domisili para monyet ekor panjang alias crab eating monkey atau macaca fascicularis. Binatang ini mudah ditemui hampir di seluruh Indonesia. Di kota besar pun banyak karena dipakai dalam mainan topeng monyet. Satwa yang banyak dipakai dalam penelitian biologi dan biomedis ini belum dilindungi. Yang ada di Tinjil bukanlah monyet sembarangan. Mereka inilah yang nantinya akan membantu manusia memerangi penyakit AIDS (Acquired Immuno-deficiency Syndrome), yang sampai kini belum ditemukan obatnya. Penyakit yang mematikan secara perlahan-lahan ini ternyata juga ada pada kera, namanya SAIDS (S dari kata Simian). "Karena itu, monyet ini harus bebas dari Simian Retrovirus (SRV) dan Simian Immunodeficiency Virus (SIV), penyebab SAIDS," kata Putratama Agus Lelana, pengelola stasiun lapangan Pulau Tinjil. Ini tidak mudah karena satwa ini harus diskrining dulu dengan tes darah, yang paling tidak memakan waktu lima bulan. Kalaupun sudah bebas, ia harus diisolasikan dari monyet lain dan manusia. Karena itulah, lahir proyek Tinjil tadi. Proyek ini lahir ketika Jay Kaplan, pakar primata dari Amerika, menghadap Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim pada 1986. Emil Salim menyatakan kekhawatirannya karena bila monyet terus diambil, tiap tahun lebih dari 5.000 ekor diekspor ke Konsorsium Peneliti Satwa Primata Amerika, Indonesia tidak saja akan kehilangan monyet, tapi juga tidak mendapat pengetahuan pembudidayaan satwa tersebut. Ia menginginkan dibangunnya sebuah pusat studi primata di sini. Ide Emil disambut baik di Amerika dan diputuskan kerja sama akan dilakukan dengan Institut Pertanian Bogor, sedangkan KLH duduk sebagai pelindung. Proyek dimulai pada 1987, dan dua minggu lalu ketiga pihak telah menandatangani lagi Memorandum of Understanding (MOU) II -- yang memperluas MOU I -- untuk proyek ini. Sebelum IPB sanggup mengelola proyek ini, kegiatan dipegang oleh seorang eksportir monyet, C.L. Darsono. Pertengahan tahun ini, IPB akan memegang penuh kendali proyek ini, sedangkan dana akan disalurkan lewat Yayasan Riset Primata. Dana untuk proyek datang dari National Institute of Health (NIH, Departemen Kesehatan Amerika) dan beberapa sponsor swasta Amerika lain. Sampai saat ini, sudah hampir Rp 1 milyar dikeluarkan dalam proyek ini. Untuk pemanfaatan pulau, IPB mengadakan kerja sama dengan Perum Perhutani yang mengizinkan pemakaian Pulau Tinjil selama 20 tahun sejak 1987. Tinjil memang amat ideal untuk mengisolasikan mereka. Dibatasi oleh Samudera Indonesia, pulau tanpa penghuni ini dinyatakan tertutup untuk umum. Pekerja di pulau itu harus bebas dari TBC dan penyakit menular lainnya. Pulau dengan luas 600 kilometer persegi ini semula adalah hutan produksi yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Menurut rencana, pulau ini akan dihuni oleh 550 monyet dengan rasio kelamin satu jantan dibandingkan dengan sepuluh betina. Tapi, sampai saat ini, baru 475 ekor monyet asal Lampung dan Palembang yang bisa dimasukkan secara bertahap. Seleksi monyet terhadap kedua virus di atas bukanlah mudah. Rata-rata dari 100 monyet hanya 70 ekor yang lolos. Setelah tiga orang dokter hewan IPB yang dididik di AS kembali, akhir 1989, penelitian yang semula di Amerika dialihkan ke sini. Menurut sensus yang dilakukan di Tinjil akhir tahun lalu, monyet ini telah menghasilkan 168 ekor anak. Monyet ini dewasa pada usia empat tahun, dan lama bunting 165-170 hari. Setelah anak disapih pada umur 1-1,5 tahun, induk akan segera hamil lagi. Anak-anak monyet inilah yang akan diekspor ke Amerika yang diharapkan bisa dilakukan dalam tahun ini. Selama 20 tahun itu, setengah bagian monyet adalah milik konsorsium dan setengahnya lagi kepunyaan IPB. IPB bisa menggunakannya untuk keperluan penelitian di Pusat Studi Primata IPB, atau dijual dengan harga pasaran. Perhutani akan mendapat 25 persen bagian dari sini. Sedangkan uang dari penjualan bagian konsorsium akan digunakan untuk pengelolaan proyek Tinjil. Harga pasaran monyet ini cukup mahal. Menurut C.L. Darsono, harga monyet yang baru tertangkap dari alam US$ 75 (sekitar Rp 140.000) per ekor. Setelah lewat pemeriksaan virus, makanan, dan ongkos pemeliharaan, harganya membubung sampai US$ 500 lebih. Apakah ekspor monyet ini tidak akan membahayakan kelestariannya? Belum jelas. Jumlah monyet abu-abu yang hidup di seluruh Indonesia sampai di Nusa Tenggara Timur ini memang tidak diketahui dengan pasti. C.L. Darsono memperkirakan, pada 1972, di Sumatera saja masih ada 14,5 juta ekor. Entah sekarang, dengan banyaknya hutan yang dibabat untuk permukiman perkebunan, atau untuk produksi. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini