Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR setengah abad lewat sejak Srihadi Soedarsono muda duduk di tepi sebuah pantai di Bali dan meresapi pemandangan agung cakrawala di hadapan matanya. Semua ia rekam dalam memori, dipahami dengan rasa, dan dituangkan dalam sapuan warna berlapis makna di atas kanvasnya.
Di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan, wartawan Tempo, Praga Utama, dan fotografer Nurdiansah duduk bersama Srihadi dan istrinya, Farida Srihadi, untuk merunut ulang apa yang mempengaruhi perjalanan berkaryanya.
Apa perbedaan pameran “Man x Universe” yang bertema lanskap ini dengan pameran tunggal Anda sebelumnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya terakhir kali berpameran empat tahun lalu, juga di Galeri Nasional. Pameran yang lalu adalah retrospektif, tidak mengamati lebih mendalam suatu tema. Retrospektif artinya melihat lagi apa yang telah saya kerjakan, dari sketsa, dari material, macam-macam. Dari tahun sekian sampai 2016. Ada deretan waktu yang panjang. Ada perjalanan yang semuanya diperlihatkan pada waktu itu. Saya pikir, sekarang waktunya mengamati satu tema.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya terpikir satu tema, yaitu lanskap, yang sebetulnya sangat luas. Saya ingin mengangkat hubungan manusia dan alam semesta. Di dalamnya juga dapat dilihat perkembangan saya setelah sekian tahun. Misalnya Borobudur. Pada awalnya, Borobudur yang saya buat hanya sketsa hitam-putih yang menangkap semua dengan detail. Yang saya tangkap dulu obyek lahiriah. Borobudur yang saya lukis sekarang belum tentu ada detailnya, tapi memperlihatkan perasaan saya yang terlibat di dalamnya. Saya menyebutnya roso, yang membuat saya melihat lebih ke dalam suatu obyek. Makanya ada Borobudur hitam, putih, biru.
Anda pernah bercerita bahwa dulu, saat masih mahasiswa, Anda melukis lanskap Sanur dengan cara datang berkali-kali, mengamati, hingga mendapat feel untuk melukis. Apakah proses melukis lanskap yang saat ini juga seperti itu?
Sekarang latar belakang prosesnya beda. Kalau dulu itu menjadi mahasiswa tidak ada batasnya. Saya angkatan 1952. Enam tahun baru selesai kuliah. Misalnya saya jenuh, saya bisa pergi lama. Pergi setengah tahun, lalu kembali lagi. Yang seperti itu membuat saya bisa memanfaatkan waktu (untuk melukis).
Pada 1955 saya ke Bali karena diminta menjadi asisten sebuah galeri. Nah, di depan galeri seni itu saya bisa langsung melihat pantai. Turun dari halaman galeri itu sudah pasir pantai. Pada waktu itu saya melihat panorama yang besar, melihat garis cakrawala. Itu saya pelajari, berkali-kali, dari pagi sampai malam. Pengetahuan itu yang saya gunakan pada pameran sekarang yang mengambil tema lanskap. Jadi untuk kali ini berasal dari pengalaman saya sendiri, hasil renungan saya sendiri, dengan catatan dari sketsa.
Jadi fase paling menentukan untuk tema lanskap ini adalah pengalaman Anda sewaktu di Bali?
Ya. Di sana saya banyak waktu untuk merenung. Sampai-sampai orang sana mengatakan bahwa saya orang yang suka tidur di pantai, saking seringnya saya mengamati. Saya menganggap pantai sebagai halaman rumah. Tentu dulu suasananya lain dengan sekarang. Tenang, sedih. Lokasinya di perdesaan yang jauh dari Denpasar, tidak ada kendaraan kecuali sepeda.
Berarti Anda tidak perlu lagi datang ke suatu lokasi sebelum melukis?
Sekarang sudah di ingatan saya. Tapi saya pernah mengajak anak saya napak tilas agar dia punya gambaran bahwa saya pernah di tempat itu sekian lama walaupun sekarang suasananya sudah berbeda. Sekarang saya mengingat dan saya pindahkan ke kanvas. Saya mencatat kenangan saya dalam lukisan. Orang yang melihat lukisan saya mungkin melihat gunung biru. Tapi di lukisan saya ada warna putihnya. Putih yang kalau dalam ingatan saya adalah warna pasir putih perahu, nelayan, dan desa. Jadi yang saya lukis adalah apa yang saya ingat.
Bagaimana latar belakang pameran ini?
Tadinya saya ingin berpameran lagi di Galeri Nasional pada Desember tahun lalu, bertepatan dengan ulang tahun saya. Ternyata sudah penuh. Saya hendak menyiapkan waktu tiga tahun untuk berpameran lagi. Tapi, karena mundur, jadi ada waktu luang dan saya bisa melukis hal lain lagi. Misalnya peristiwa banjir Jakarta awal Januari. Lalu ada peristiwa gerhana matahari cincin yang bisa dilihat di Indonesia. Tema-tema lukisan ini muncul secara spontan.
Anda berhasil membuat 38 lukisan baru dalam kurun waktu tersebut. Bagaimana proses kerja Anda?
Saya menyesuaikannya dengan kapasitas ruangan Galeri Nasional. Kurator membawa skema ruangan di Galeri dan memantau apa yang saya kerjakan. Dilihat dari ukuran karya, kalau kira-kira seluruh dinding Galeri sudah tertutupi, saya tak melanjutkan lagi. Selain itu, saya memberikan ruang untuk beberapa lukisan koleksi pribadi. Misalnya saya ingin memamerkan Bandung kedua, jadi Bandung yang pertama juga harus masuk pameran sebagai perbandingan.
Dalam seri lanskap ini, Anda bekerja dengan kanvas ukuran besar. Apa alasannya?
Jika saya ingin menggambarkan lanskap, kanvas ukuran kecil tak ada artinya. Misalnya saya ingin bercerita tentang Gunung Agung. Keagungannya tak akan terasa dalam kanvas kecil. Selain melihat obyek, saya ingin orang dapat merasakan. Gunung seperti Merapi atau Semeru harus terlihat tinggi dan utuh agar orang bisa merasakan keagungan alam di dunia ini.
Apakah Anda masih melukis pada banyak kanvas dalam waktu bersamaan?
Ya. Saya tak menunggu sampai satu karya selesai. Bagi saya, selesainya karya itu saat tak ada lagi yang bisa ditambah. Kalau saya tunggu, mungkin tiga tahun hanya bisa jadi dua-tiga karya.
Pada usia yang sudah mencapai 88 tahun ini, apa yang membuat Anda terus berenergi untuk melukis?
Bukan hanya melukis, pekerjaan apa pun harus didukung tenaga fisik. Jadi harus memperhatikan kekuatan fisik dulu. Kalau fisik dipelihara, pikiran jadi jernih. Dari situ saya punya disiplin kerja.
(Farida)
Srihadi juga punya energi dalam, energi kejiwaannya. Yang berasal dari roso dan spiritualitas mendalam.
Bagaimana roso itu terbentuk?
(Farida) Spiritualitas Srihadi sudah digembleng sejak umur empat tahun lewat filosofi tradisi Jawa. Sewaktu kecil, Srihadi sudah dibawa-bawa oleh eyangnya untuk merasakan alam semesta. Saat itu dia belum bisa melukis, tapi disuruh mempelajari laku batin. Pergi ke makam Wali Songo, ke pemandian di bawah sinar purnama, mendengarkan daun jatuh, merasakan alam semesta. Itu yang membuat batinnya kaya. Jadi yang membentuk Srihadi bukan zaman belajar di seni rupa Institut Teknologi Bandung. Jauh sebelum itu, sensitivitasnya sudah dilatih. Semacam sebuah latihan untuk jiwa dan raga. Itu saya kira yang membedakan Srihadi dengan seniman lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo