Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lockdwon Jakarta akibat virus corona
Undang-undang sudah tak relevan, perlu perpu.
Corona dan Lockdown
KEINGINAN Anies Baswedan me-lockdown Jakarta banyak didukung orang-orang terpelajar di negara ini, yaitu kumpulan dokter spesialis multidisiplin. Namun, ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa membolehkan tidak salat Jumat untuk mencegah penularan virus corona, banyak dokter spesialis mengecam fatwa tersebut dengan alasan agama. Ternyata faktor primordial mengalahkan cara berpikir rasional, suatu hal yang tidak kita dapatkan di Cina atau Italia. Fatwa MUI rasional dan sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi lockdown bisa dilakukan bila diyakini 2 persen penduduk Jakarta terinfeksi Covid-19. Sekarang belum sampai angka itu. Lockdown dipastikan gagal bila masalah-masalah primordial, khususnya agama, belum dapat dipisahkan dari diri orang-orang yang menginginkan langkah tersebut. Kalaupun hendak dilakukan lockdown, polanya berbeda dengan di Cina dan Italia. Lockdown seperti itu tidak dapat mencegah kematian puluhan atau ratusan orang yang berusia di atas 60 tahun. Bahkan kematian yang begitu banyak seperti itu dapat terjadi setiap hari selama masa isolasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya mengusulkan yang diisolasi adalah semua manusia yang berusia di atas 60 tahun. Bila positif Covid-19 dan bergejala, orang tersebut langsung diisolasi di rumah sakit. Bila positif dan tidak bergejala, saya usulkan orang itu diisolasi di suatu apartemen yang dibuat dengan cara cepat seperti saat Cina membangun rumah sakit khusus untuk Covid-19 di Wuhan. Bila negatif, mereka tetap diisolasi tapi di apartemen khusus yang lain. Isolasi selama satu bulan.
Kerumunan orang harus dihindari, kecuali untuk hal-hal penting. Jika hal ini sudah dilakukan, larangan salat dan pemakaman tidak perlu. Tentu dengan syarat ketat. Misalnya yang ke masjid tidak boleh berusia 60 tahun dan harus sehat tanpa gejala sakit serta ada pengukuran suhu di tempat ibadah. Begitu juga dengan sekolah, bisa selang-seling antara hari belajar dan libur. Tempat hiburan ditutup sehingga dalam sebulan ini kematian akibat corona bisa rendah, bahkan tidak ada.
Taufiq Waly
Perpu Corona
URUSAN virus corona yang menyebar secara masif tidak hanya sampai pada soal pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan semata, tapi jauh dari itu, yakni pemenuhan hak asasi: hidup. Hak lain yang harus dipenuhi negara adalah hak atas akses kesehatan yang proporsional dan jaminan kemudahan dalam mendapatkan informasi. Pemahaman mengenai corona hanya diterima di tataran common sense, seperti selebaran informasi dan grup-grup di media sosial yang kredibilitas dan validitasnya sangat lemah.
Kini publik cemas terhadap penyebaran virus corona mengingat Indonesia berpenduduk padat, sementara sarana, fasilitas, dan tenaga kesehatan di Republik hari ini masih terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas, ditambah kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan pengecekan kesehatan karena ketakutan akan asumsi mahalnya biaya pelayanan kesehatan.
Hal tersebut makin menambah kesulitan negara dalam mendapatkan akses informasi persebaran infeksi corona pada warganya. Meskipun di tataran hukum telah diterbitkan berbagai instrumen solusi, seperti instruksi presiden, keputusan menteri, dan peraturan menteri yang berkaitan dengan corona, daya ikat dan daya paksanya tidaklah setara dengan undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Hal ini terlihat dari terjadinya disharmoni atau ketidaksepahaman kepala daerah di Indonesia. Beberapa kepala daerah meliburkan sekolah dan kantor serta membatasi aktivitas keluar-masuk daerah. Namun tidak sedikit kepala daerah yang tidak mengambil sikap dengan membiarkan aktivitas berjalan seperti biasanya. Karena itu, pemerintah perlu membuat perpu lantaran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular sudah tidak relevan.
Perpu akan mengatur:
- Pedoman bertindak secara terukur dan terarah yang sifatnya imperatif (wajib diikuti) bagi semua pemerintah daerah.
- Pengamanan ketersediaan logistik, obat, disinfektan, pembersih tangan, serta logistik lain sebagai pendukung fasilitas kesehatan dalam rangka mengantisipasi lonjakan jumlah penderita corona secara drastis dan tak terkendali.
- Pengamanan ketersediaan tenaga medis terdidik dan terlatih serta, jika dipandang perlu, penyediaan program pelatihan volunter medis.
- Ruang interaksi setiap orang; larangan kegiatan masif dan bepergian ke luar kota, termasuk pertimbangan larangan aktivitas mudik hari raya dan/atau akhir tahun; serta ketersediaan, distribusi, dan subsidi harga bahan pokok guna mencegah panic buying di seluruh Indonesia.
- Sanksi hukum bagi siapa pun yang sengaja melakukan kegiatan yang merintangi, mencegah, dan/atau menggagalkan pendeteksian, pencegahan, pengobatan, serta penanggulangan wabah virus corona, juga bagi mereka yang menimbun logistik kesehatan.
Kurnia Saleh
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
ERATA
PADA halaman 32 Tempo edisi 16-22 Maret 2020 terdapat kekeliruan dalam tulisan “Akrobat tanpa Kabar Pusat”. Tertulis: Data Dinas Kesehatan Jawa Tengah menunjukkan, hingga 11 Maret, sebanyak 17 orang telah diperiksa. Sepuluh di antaranya masuk kategori orang dalam pemantauan dan tujuh lainnya, termasuk pasien yang meninggal itu, dalam pengawasan. “Kalau ada yang pernah berhubungan dengan orang itu, laporkan saja,” kata Ganjar.
Seharusnya: Data Dinas Kesehatan Jawa Timur menunjukkan, hingga 11 Maret, 17 orang diperiksa dengan rincian 14 negatif dan tiga dalam proses pemeriksaan spesimen. Hasilnya, sepuluh orang dalam pemantauan dan tujuh pasien dalam pengawasan. Dua dari tujuh pasien itu meninggal, tapi hasil tesnya negatif.
Kami mohon maaf atas ketidakakuratan tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo