Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHATMA Putra tak menyebut dirinya sebagai sutradara film dokumenter Diam & Dengarkan. Meski dia yang menginisiasi, ia lebih senang menyebut film tentang krisis lingkungan ini sebagai sebuah karya kolektif karena mendapat banyak bantuan dari orang-orang yang sepakat dengan pesannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama Anatman Pictures, Putra telah banyak membuat proyek sinema yang menggugah kesadaran untuk berbuat sesuatu demi pemulihan bumi. Salah satunya seri animasi anak-anak berjudul Sampah Sandi. Semuanya dapat diakses secara cuma-cuma di saluran YouTube Anatman Pictures.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek terbarunya, Diam & Dengarkan, mendapat tanggapan paling besar, barangkali karena dibuat dan dirilis tepat saat umat manusia sedang bergelut dengan pandemi Covid-19. Dari Phillip Island, Australia, Putra menjawab pertanyaan Moyang Kasih Dewimerdeka dari Tempo tentang cerita di balik Diam & Dengarkan yang tayang mulai 28 Juni lalu.
Film dokumenter tentang krisis bumi sudah banyak. Mengapa memutuskan film Diam & Dengarkan ini masih penting dibuat?
Sangat kurang media film dokumenter populer di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, untuk audiens Indonesia. Kebanyakan film dokumenter lingkungan bagus yang saya tonton ada di Netflix, dan tidak semua orang punya kartu kredit untuk bisa berlangganan Netflix.
Sebenarnya informasi yang ada di film ini sudah bertebaran di mana-mana, di toko buku, bahkan di YouTube dan media sosial lain. Namun noise yang ada di kehidupan sehari-hari kita terlalu banyak sehingga susah menyaring informasi yang bermanfaat. Diam & Dengarkan merangkum pengetahuan dan fenomena-fenomena yang terjadi itu.
Covid-19 membuat banyak pekerja film, termasuk Anatman Pictures, kehilangan pekerjaan komersial. Namun proyek Diam & Dengarkan ini malah tak dimonetisasi. Apa alasannya?
Diam & Dengarkan memang proyek idealis kami yang juga hendak kami sebarkan dengan cara yang idealis. Saya sendiri paling tidak suka nonton di YouTube terus terganggu oleh iklan-iklan. Kalau diperhatikan, dari awal sampai akhir tidak ada iklan sama sekali (dalam film ini). Tidak ada unskippable dan skippable ads, tidak ada iklan di tengah-tengah saat pergantian chapter.
Sejak awal kami menggunakan lisensi Creative Commons, yang artinya setiap orang boleh mengunggah, mengedit ulang, dan publish ulang di platform apa pun. Karena yang penting itu informasi dan pesannya bisa diserap orang sebanyak-banyaknya.
Seperti apa proses kolektif di balik pembuatan film ini?
Gambar-gambar yang kami pakai sudah jelas semuanya bukan milik kami. Kami menggunakan asas fair use, menggunakan banyak gambar public domain dan Creative Commons, dan menerapkan pengetahuan kami tentang hukum copyright.
Kemudian kami mendapat bantuan tenaga dari beberapa aktris dan aktor, juga banyak sekali pihak yang memang mau sukarela dalam proyek ini, tanpa bayaran apa pun. Memang niatnya tulus, lahir dari kecintaan terhadap lingkungan. Klise, tapi memang benar yang mendorong kita dan mereka semua adalah rasa cinta itu.
Film ini karya kolektif kita bersama sebagai umat manusia, bukan karya saya atau Anatman Pictures. Kalau diperhatikan, bahkan tidak ada titel sutradara dalam film ini, karena saya benar-benar menganggap alam semesta yang menggerakkan kita semua, dan alam semesta pula yang jadi sutradara utamanya. Lagi-lagi terdengar klise dan picisan, ya, tapi memang itu pengalaman pribadi dari merenung, diam dan mendengarkan suara hati, suara “Ibu Bumi”, sampai akhirnya sadar, Diam & Dengarkan ini betul-betul hasil dari diam dan mendengarkan.
Bagaimana cara memproduksi film dokumenter ini di tengah kondisi pandemi?
Sebetulnya malah sangat mudah bagi kami untuk bisa mendapatkan para narasumber yang ahli di bidangnya dengan wawancara via online seperti ini. Sebab, banyak narasumber yang berada di luar Jakarta yang akhirnya malah bisa dengan mudah kami wawancarai. Misalnya Butet Manurung yang sedang berada di Canberra dan Prajna Murdaya yang sedang berada di Singapura.
Apa saja pertimbangan dalam memilih narasumber yang beragam sekali latar belakangnya?
Pertama, kami menentukan alur. Lalu kami pilih narasumber yang bisa mendukung statement dan jalan cerita film tersebut. Penting sekali (menghadirkan narasumber yang beragam) karena setiap narasumber punya kapasitas masing-masing, yang tidak tergantikan oleh narasumber lain. Budayawan tidak akan kompeten untuk bicara tentang polusi plastik dibanding biolog kelautan yang memang setiap hari melakukan riset tentang polusi di laut.
Salah satu narasumber yang menarik adalah Prajna Murdaya, generasi kedua dari pengusaha kaya Murdaya Poo. Mengapa dia cocok dihadirkan dalam film dokumenter ini?
Chapter 6 film Diam & Dengarkan membahas sistem hidup manusia dan bagaimana kita semua adalah bagian dari sistem itu sendiri. Bahwa kita semua sibuk mengejar kehidupan yang lebih nyaman terus-menerus, tapi mengorbankan bumi, dan pada akhirnya malah hanya menyalahkan pihak-pihak tertentu, bukannya melihat dan berkaca pada diri sendiri dulu. Saya mau bilang ke semua orang, “Nih, lho, uang dan segala kemewahannya tidak membawa kebahagiaan.” Tapi, berhubung saya bukan konglomerat, kalau saya yang ngomong kayaknya enggak cocok, ya, he-he-he….
Saya pikir jika konglomerat yang bicara tentang hakikat hidup, dan bagaimana uang tidak membuatnya bahagia, mungkin audiens akan mendengarkan pesan itu dengan baik. Kebetulan sekali Prajna juga sangat menyukai dialog filosofis, dan benar-benar bisa menghargai apa itu keheningan, kesunyian, dan bagaimana cara mendengarkan suara hati masing-masing.
Selalu ada perdebatan setiap kali topik semacam “human is the virus” muncul. Mereka yang kontra mengatakan tidak semua umat manusia yang menjadi virus bagi bumi, tapi kapitalismelah yang membuat permasalahan lingkungan begitu masif dan membahayakan. Film ini mengambil posisi sebaliknya. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?
Menurut saya, kita sebagai individu bertanggung jawab penuh terhadap segala pilihan kita sehari-hari. Dan segala pilihan kecil itu nantinya berdampak besar sekali terhadap bumi dan lingkungan kita. “Ah, cuma makan junk food, kok”, atau “Ah, cuma satu lampu menyala”, atau “Ah, cuma satu kantong kresek”, dan akan selalu ada pikiran seperti itu. Sering kita menganggap diri kita tidak berdaya, hanya satu sekrup kecil di mesin raksasa kapitalisme, sehingga apa pun yang kita lakukan sepertinya tidak ada manfaatnya.
Lucu sebenarnya. Di satu sisi kita merasa diri kita sangat istimewa di bumi ini. Kita menganggap kitalah pemilik jagat raya ini, kita eksploitasi sebanyak-banyaknya demi kenyamanan kita. Namun, pada saat yang sama, kita merasa diri sangat kecil dan tidak berarti, dan selalu menyalahkan sistem kalau ada apa-apa yang salah dengan dunia ini. Padahal, ya, kita ini nyatanya adalah bagian dari sistem itu sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo