Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penggerak Makan dengan Kesadaran

Helga Angelina Tjahjadi memulai bisnisnya dari pengalaman kesehatannya sendiri. Mengajak masyarakat peduli terhadap pilihan makanan.

 

 

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Founder dan CEO Burgreens, Helga Angelina di Tangerang, Banten, Jumat, 17 Juli 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Helga Angelina Tjahjadi, yang pernah memiliki 20 macam alergi serta terserang penyakit lever dan ginjal, sembuh setelah mengubah pola makan.

  • Helga mengkampanyekan konsumsi makanan dengan berkesadaran melalui restorannya, Burgreens.

  • Restorannya kini berkembang menjadi 10 gerai.

PANDEMI Covid-19 mengingatkan Helga Angelina Tjahjadi pada keadaan enam tahun silam. Ketika itu, ia dan partnernya, Max Mandias, baru hitungan bulan membuka restoran makanan vegan yang mereka namai Burgreens di Jalan Flamboyan, Rempoa, Tangerang Selatan, Banten. Tanpa pegawai, mereka mesti bekerja berdua 12 jam sehari 7 hari sepekan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helga, 29 tahun, adalah salah satu pendiri sekaligus Chief Executive Officer Burgreens Organic Eatery and Home Delivery. Di tangannya dan Max, restoran tersebut kini sudah jauh berkembang dibanding enam tahun lalu. Mereka kini memiliki sepuluh gerai yang di antaranya tersebar di beberapa mal dan pusat perkantoran di Jakarta dengan sekitar 170 pegawai. Tapi, gara-gara pagebluk, pendapatan Burgreens menyusut sampai 70 persen pada April-Juni lalu. “Bulan-bulan ini gila. Mungkin salah satu masa tersulit selama enam tahun saya berbisnis,” kata Helga pada Kamis, 16 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helga dan timnya mesti putar otak agar bisnis mereka bisa selamat. Dengan berat hati, mereka memutuskan memotong gaji karyawan. Rencana pembukaan dua gerai anyar pun terpaksa ditunda. Mereka juga mesti mencari cara gres untuk menambah pemasukan. Salah satunya dengan mengikuti program promosi di GoFood dan GrabFood. Ini pertama kalinya mereka melakukan hal tersebut. Mereka menurunkan harga produk dengan harapan bisa menggaet konsumen baru.

Mereka juga memutuskan mempercepat peluncuran produk baru berupa ayam nabati dan daging nabati beku. Semula, dua produk itu baru akan diluncurkan tahun depan. Namun momen pandemi saat ini lebih pas lantaran orang lebih banyak tinggal di rumah dan memasak. Pelan-pelan pendapatan mereka merangkak naik. “Semoga bulan ini terakhir motong gaji,” ujar Helga.

Max, yang kini menjadi suami Helga, paham betul istrinya itu puyeng saat awal pandemi. Tidur Helga jadi tak nyenyak. Ia pun jadi lebih gila kerja. “Itu mekanismenya untuk melawan stres,” tutur Max.

Helga dan Max berencana membuka restoran berbasis bahan nabati sejak tinggal di Belanda. Keduanya kala itu kuliah dan lanjut bekerja di sana. Helga bekerja di bidang pemasaran, sementara Max menjadi analis data di perusahaan media. Keduanya hidup nyaman di Amsterdam.

Di sela rutinitas sehari-hari, mereka beberapa kali mengikuti diskusi tentang lingkungan dan menonton film dokumenter. Salah satunya membahas soal pilihan makanan yang ternyata tak hanya berpengaruh terhadap kesehatan tubuh, tapi juga kerusakan alam. Mereka menemukan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang menyebutkan peternakan hewan menjadi kontributor utama kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. “Itu yang membuat kami, tujuh tahun lalu, memutuskan menjadi vegan barengan,” kata Helga. Menjadi vegan berarti mereka berhenti mengonsumsi makanan yang bersumber dari hewan.

Helga sebelumnya vegetarian sejak berusia 15 tahun. Berbeda dengan vegan, seorang vegetarian masih bisa mengonsumsi produk hasil dari hewan seperti telur dan susu. Ia memutuskan membatasi sumber makanannya karena jenuh dengan tubuhnya yang ringkih dan sakit-sakitan. Ia punya 20 macam alergi, termasuk asma, sinusitis, dan eksem. “Dokter bilang penyakitku itu tak bisa disembuhkan dan akan terus kambuh. Mereka menyarankan aku menghindari pemicu kekambuhannya,” ucapnya.

Masalahnya, baik dokter maupun Helga tidak tahu secara detail apa saja yang akan memicu kambuhnya penyakit tersebut. Mereka hanya tahu beberapa di antaranya, misalnya debu dan stres. Helga juga akan gampang pingsan setelah mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung banyak gula atau lemak.

Obat-obatan yang setiap hari ia konsumsi ternyata membuat ginjal dan levernya bermasalah. Ia akhirnya memutuskan mencari alternatif. Ia memperoleh informasi dari beberapa buku bahwa penyakitnya bisa sembuh dengan mengganti pola makan ke bahan yang berbasis nabati. Tanpa diketahui ibunya yang seorang dokter, ia menginstruksikan asisten rumah tangga mereka memasak makanan berbasis nabati untuknya. Kesehatannya berangsur membaik. Setelah dua tahun, ia bisa terbebas dari obat-obatan.

Belakangan, setelah mendirikan Burgreens dan belajar lebih mendalam soal nutrisi, Helga baru tahu berbagai penyakit yang ia derita berhubungan dengan kesehatan pencernaan. Ketika ia memilih makanan berbasis nabati, sistem pencernaannya menjadi sehat sehingga tubuhnya pulih dengan sendirinya.

Max yang kemudian menjadi vegan pun merasakan faedah serupa. Setelah tiga bulan, berat badannya turun sampai 15 kilogram. Masalah kesehatannya, seperti sinusitis, insomnia, dan depresi, juga membaik.

Titik balik inilah yang membuat mereka memutuskan pulang ke Indonesia dan membuka restoran vegan. Mereka menyajikan makanan berbasis sayuran dengan kemasan menarik, seperti membuatnya menjadi burger dan steak. Mereka tak hanya mencari keuntungan, tapi juga ingin masyarakat memilih makanan dengan lebih berkesadaran. Keduanya sering memberikan edukasi tentang bagaimana pilihan makanan bisa mempengaruhi kesehatan tubuh, alam, dan kesejahteraan petani. Pilihan ini membuat Helga masuk daftar 30 Under 30 Asia: The Arts majalah Forbes pada 2016.

Irene Tjhai, salah seorang pelanggan Burgreens, datang jauh-jauh dari Jakarta ke Rempoa untuk mengikuti kelas mereka. Ia langsung jatuh cinta pada visi-misi Helga dan Max. Sampai akhirnya, pada November 2018, ia memutuskan bergabung menjadi Manajer Pemasaran dan Komunikasi Burgreens.

Irene menuturkan, Helga sejak awal menempatkan diri sebagai sociopreneur. Ia selalu berupaya agar bisnisnya bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Prinsip yang dipegangnya ini menular ke timnya. Ketika gerai mereka yang berada di dalam mal tutup karena aturan pemerintah saat pandemi, kata Irene, pegawai yang bekerja di toko yang masih bisa berjualan dengan terbuka menerima pegawai dari gerai di mal tersebut bergabung dengan mereka. “Semua anggota tim bersepakat menerima pengurangan gaji ketimbang merumahkan karyawan,” tutur Irene.

Helga juga menempuh banyak cara untuk menjaga lingkungan, misalnya sering mengingatkan pegawainya agar tidak menggunakan sedotan plastik. Menurut Irene, Helga membawa botol dan tempat makanan sendiri. Ia pun naik kereta rel listrik (KRL) dari tempat tinggalnya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, ke kantor pusat Burgreens di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, agar tak menambah emisi karbon. Belakangan, Helga dan Max membeli mobil setelah mobil listrik Tesla masuk ke Indonesia. “Mungkin kalau Tesla enggak masuk pun mereka masih pakai KRL,” ujar Irene.

Menurut Max, Helga juga membeli komposter untuk mengolah bahan sisa sayuran menjadi kompos di rumah. Ia jarang membeli pakaian atau produk fashion lain demi tak menambah sampah busana. “Dia lebih suka membeli brand yang bagus tapi awet ketimbang membeli berkali-kali,” ucapnya.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus