Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDUL Basir tengah berada di rumah temannya, Asril Abdul Hamid, di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah, saat gempa 7,4 magnitudo mengguncang kawasan itu pada 28 September lalu. Basir sedang melayat adik Asril yang meninggal hari itu.
Rumah mereka hanya terpisah oleh lapangan sepak bola. Basir menye-lesaikan pekerjaannya lebih cepat sebagai kurir logistik JNE agar bisa mengantar jenazah ke per-makaman.
Suasana di rumah duka langsung berubah ketika gempa hebat menjelang magrib, pukul 18.02 Waktu Indonesia Tengah, itu datang. Lindu itu puncak dari rentetan gempa sebelumnya dengan kekuatan 5,9 skala Richter, yang diikuti 27 kali gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil.
Abdul Basir di lokasi likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah. TEMPO/Rully Kesuma
Gempa pertama terjadi pada pukul 15.00 Wita. Saat itu, Basir masih berada di gudang tempat dia bekerja di daerah Petobo. Rangkaian gempa itu tak sampai meluluhlantakkan Balaroa. Gempa susulan pukul 18.02 Wita itulah yang membuat bumi bergoyang hebat. “Gempa saat magrib sangat menakutkan,” ujar Basir, akhir November lalu.
Penghuni rumah dan para tetangga yang tengah melayat adik Asril berhamburan ke luar sembari menjerit histeris meninggalkan jenazah di dalam rumah. Rumah bergoyang kencang diombang-ambingkan lindu sekitar lima menit itu. Saking hebatnya gempa, rumah Asril dan warga lain di Perumahan Nasional Balaroa porak-poranda. Debu reruntuhan membubung ke udara.
Basir dan orang yang berkumpul di lapangan melihat rumah-rumah melesak ke dalam tanah. Jeritan dan tangisan warga yang berkumpul di lapangan membuat malam itu mencekam. Listrik padam membuat suasana makin tak karuan. Saluran komunikasi terputus seketika.
Pria 29 tahun itu merasakan tanah lapangan sepak bola yang dipijaknya bergemuruh. Batu-batu di dalamnya seperti bergesekan. Tanah lapangan seperti sedang diaduk dan pohon-pohon di sekitarnya seolah-olah berjalan. Gempa besar itu menyebabkan likuefaksi melanda kawasan tersebut. Ini fenomena saat tanah di bawah permukaan menjadi lumpur akibat bercampur dengan air di dalamnya.
Hanya dalam sekejap, Perumahan Nasional Balaroa yang terbilang padat itu ambles ke dalam tanah bersama sebagian penghuninya. Basir menyaksikan api keluar dari sebagian rumah yang tertelan tanah. “Saya menduga itu api dari tabung gas buat memasak,” ujarnya.
Ia menyaksikan orang berlarian. Tak sedikit dari mereka yang menjerit ketakutan. Tak jarang dari mereka menyuarakan pekik takbir seraya berlari meminta pertolongan. “Allahu Akbar... Allahu Akbar.” Ada juga yang mengumandangkan azan pada malam tanpa penerangan itu.
Di tengah kekalutan itu, ia mendengar jerit orang kesakitan. Beberapa langkah ke depan, Basir menemukan seorang perempuan meminta tolong dengan posisi badan membungkuk melindungi anaknya. Posisi badan perempuan itu menyangga puing-puing reruntuhan rumahnya yang tersedot tanah. Sang anak terdengar menangis terus-menerus.
Basir ikut pontang-panting menyelamatkan diri karena tanah seperti hendak menyedotnya. Ia berhenti berlari karena sayup-sayup mendengar suara orang memanggil namanya. “Basir, tolong... tolong.... Saya tidak mau mati.” Menoleh ke belakang, Basir tak melihat apa pun karena suasana malam yang gelap.
Baru mau mengangkat kakinya untuk kembali berlari, ia mendengar lagi suara orang minta tolong. Penasaran, Basir mencari asal suara itu. Ia mengabaikan bahaya terisap tanah di sekelilingnya.
Tak jauh dari sana, Basir menemukan seorang perempuan terjerembap ke dalam tanah. Ia mengenal perempuan itu, yang tak lain Ingka Avista, teman sepermainannya saat kecil. Perempuan 27 tahun itu terseret gelombang tanah yang mencair seperti bubur.
Basir memutar badannya. Ia bergegas melepas sandal dan meraih tangan Ingka sekuat tenaga. Ia tak menghiraukan bahaya tersedot tanah. “Saya tarik dia dengan cara berjongkok karena posisinya sudah terbawa tanah,” tuturnya.
Perlahan-lahan Basir bisa mengangkat badan Ingka dari lumpur “hidup” tersebut. Ia lantas membawanya ke tempat yang tanahnya stabil. Setelah itu, keduanya berpisah. Menurut Ingka, karena pertolongan Basir, ia tak mengalami luka parah. “Hanya luka-luka tergores di kaki,” katanya.
Begitu berada di tempat aman, Basir baru teringat kepada ibunya, 60 tahun, yang tinggal seorang diri di rumah. Gempa masih mengguncang kawasan tersebut kendati kekuatannya tak sebesar sebelumnya. Anak bontot dari tiga bersaudara ini bergegas pulang.
Sepanjang perjalanan, ia menyaksikan jalan menuju kediamannya sudah tertutup lumpur. Di malam yang gelap itu, Basir berjalan perlahan-lahan di antara reruntuhan rumah-rumah yang ambles sebagian ke dalam tanah.
Sesampai di tujuan, Basir melihat rumahnya sudah rata dengan tanah. Setelah mencari ke reruntuhan rumahnya, ia tak menemukan ibunya di sana. Teriakannya memanggil sang ibu juga sia-sia.
Basir teringat kebiasaan ibunya melaksanakan salat magrib di masjid. Ia bergegas menuju masjid yang berjarak puluhan meter dari rumahnya. Setiba di sana, ia melihat masjid sudah roboh. Tangis Basir pun pecah. Ia kalut memikirkan nasib ibunya. Basir lalu berteriak sekeras-kerasnya memanggil sang ibu.
Di tengah kekalutan itu, ia mendengar jerit orang kesakitan. Beberapa langkah ke depan, Basir menemukan seorang perempuan meminta tolong dengan posisi badan membungkuk melindungi anaknya. Posisi badan perempuan itu menyangga puing-puing reruntuhan rumahnya yang tersedot tanah. Sang anak terdengar menangis terus-menerus.
Setelah melihat lebih dekat, Basir kaget bukan kepalang karena mengetahui perempuan itu tengah hamil besar. “Tolong... tolong...,” suara perempuan itu meminta per-tolongan.
Basir ternyata mengenal perempuan itu, yakni Ifana, tetangganya. Perempuan 38 tahun itu tengah mengandung delapan bulan. Adapun anaknya yang terperangkap reruntuhan adalah Syakinatul Qulub, 5 tahun. Rumah Ifana yang berada di kaki Gunung Gawalise itu ambles sedalam sepuluh meter karena gempa.
Ifana dan anaknya yang sedang di dalam rumah terseret ke bawah. Keduanya kemudian terperangkap beton rumah sebesar paha orang dewasa. “Mereka terjepit sehingga tidak bisa keluar,” kata Basir.
Dengan tenaga yang tersisa, setelah beberapa kali terjerembap di antara puing-puing rumah karena kondisi gelap, Basir menyingkirkan beton yang berada di depannya agar bisa menjangkau Ifana. Ia mematahkan beton-beton yang menghalangi tubuh Ifana dan anaknya. “Saya pukul menggunakan beton lagi dengan hati-hati,” ujarnya.
Setelah berhasil mengangkat badan ibu dan anak itu, Basir masih harus membawa mereka ke lokasi yang lebih tinggi agar aman. Lokasi yang dia tuju itu melewati tebing curam setinggi sepuluh meter. Dengan senter di telepon seluler, ia mencari segala sesuatu yang bisa membantunya membawa Ifana dan sang anak naik ke sana.
Beruntung, ia menemukan kabel listrik putus yang menjuntai tak jauh dari tempatnya. Ia menarik kabel tersebut. Menggunakan kabel itu, Basir membopong Syakinatul ke atas. Belakangan, saat Basir hendak menyelamatkan Ifana, temannya bernama Zulham datang ke lokasi itu.
Keduanya secara bergantian menarik Ifana menggunakan kabel hingga akhirnya sampai di atas dan selamat. “Kalau tidak cepat-cepat diselamatkan, saya mungkin sudah tertimpa reruntuhan,” kata Ifana. Beberapa menit setelah Ifana dan anaknya diselamatkan Basir, gempa susulan kembali mengguncang dan membenamkan semua rumah di kawasan itu.
Setelah bertemu dengan sejumlah orang di tebing, Basir mendapat informasi bahwa ibunya selamat dan berada di lokasi lain yang relatif aman dari bencana likuefaksi. Menurut Basir dari informasi sejumlah temannya, saat gempa hebat datang, ibunya batal beribadah di masjid karena pintu masuk tak bisa dibuka. Saat sang ibu akan masuk lewat pintu belakang, gempa hebat itu mengguncang. Ibu Basir langsung lari tunggang-langgang.
Balaroa menjadi salah satu kawasan di Palu yang kerusakannya paling parah akibat gempa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 1.747 unit rumah di Balaroa ambles terendam tanah. Ada yang terkubur berikut para penghuninya. Sebanyak 526 orang meninggal dan 168 orang dinyatakan hilang. BNPB bahkan menyatakan ribuan orang diduga masih tertimbun di sana.
Di antara mereka yang selamat, ada yang kebetulan sedang berada di luar rumah ketika gempa datang. Ada juga yang bisa lari ke luar rumah saat gempa hebat mengguncang. Sebagian terjebak di reruntuhan rumah yang roboh dan ambles, tapi kemudian selamat karena pertolongan orang seperti Basir.
Lokasi likuefaksi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah. TEMPO/Rully Kesuma
Setelah menyelamatkan Ifana dan Ingka, Basir me-yakini masih banyak orang seperti mereka yang terjebak di reruntuhan. Ia kemudian menggerakkan orang-orang untuk mencari korban yang tertimbun reruntuhan. Hal ini dia lakukan tidak lama setelah berhasil bertemu dengan ibunya.
Malam itu, dengan peralatan ala kadarnya, seperti senter telepon seluler, Basir memimpin pencarian orang yang masih selamat di Balaroa. Malam hingga dinihari itu, ia berhasil menyelamatkan delapan orang yang tertimbun puing-puing rumah dan tersedot lumpur.
Satu bulan setelah peristiwa gempa itu, Basir mendapat kabar dari Ifana yang telah melahirkan bayinya. Ketika Basir datang menjenguk Ifana di rumah sementara di atas lahan yang lama, perempuan itu menangis sesenggukan. Ia berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Basir. Basir tak bisa membendung air matanya, terutama saat melihat Yusuf, anak laki-laki Ifana yang baru lahir itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo