Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Tujuh Pedang Gunung Surga

Seven Swords adalah adaptasi Tsui Hark atas sebuah cerita klasik Cina. Jalan cerita dan karakter kurang berakar, tapi tertutup oleh sinematografi dahsyat.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seven Swords
Produser dan sutradara: Tsui Hark
Pemain: Donnie Yen, Charlie Young, Lu Yi, Lau Kar-Leung, Leon Lai, Sun Hong-Lei, Kim So Yeun, Duncan Chow, Tai Li-Wu, Zhang Jungghu

Syahdan, pada awal 1600, dinasti Ching yang berkuasa melarang pendidikan ilmu bela diri. Demikian pula senjata apa saja diharamkan oleh yang empunya kuasa, untuk mencegah pemberontakan rakyat. Yang melanggar dihukum mati. Kelompok bersenjata pimpinan Api Angin ditugasi menghabisi semua warga yang memiliki ilmu bela diri. Tapi, yang terjadi adalah pembantaian massal dan perampasan harta besar-besaran.

Sasaran terakhir pembantaian mereka adalah Desa Petempur, yang berpenduduk rata-rata punya kemampuan bela diri dan terbiasa menentukan nasib sendiri. Mendengar desa mereka akan diserang, dua penduduk desa, pemuda Han Zhiban dan gadis Wu Yuanying, bersama Fu Qingzhu, minta bantuan kepada Guru Bayang-an Gemerlap di Gunung Surga. Adalah tiga pe-dang sakti yang kemudian diberikan kepada Han, Wu, dan Fu, serta diperintahkan empat pen-dekar pe-dang—Chu Zao-nan, Yang Yunchong, Mulong, dan Xin Longzi—agar turun gunung membasmi ke-jahatan. Para pen-dekar berhasil memusnahkan ge-rombolan Api Angin, dengan beberapa kali pertempuran, dibumbui intrik dan kisah cinta.

Itulah Seven Swords, film garapan sutradara Hong Kong, Tsui Hark, yang diadaptasi dari novel karya Liang Yu Sheng, Tujuh Pendekar Pedang dari Gunung Tian.

Bagi penggila cerita silat klasik, film Seven Swords bisa jadi mengecewakan. Jalan cerita versi film ta-mpaknya tak setia pada novel Liang Yu Sheng. Dalam tulisan Liang Yu Sheng, tujuh pendekar tidak pernah beraksi bersama-sama. Kelompok Api Angin, yang berpakaian serba hitam dengan gaya campuran punk dan gothic, juga tak ada dalam novel Liang. Bahkan keseluruhan cerita nyaris tak mereflek-si-kan cerita aslinya. Hanya konteks sejarah dan keberadaan Guru Bayang-an Gemerlap di Gunung Surga yang mirip biangnya.

Sedangkan mereka yang hanya menonton Seven Swords, tanpa tahu ce-rita aslinya, mungkin juga kecewa de--ngan jalan ceritanya karena film ini tak menggali ke dalam setiap tokohnya. Padahal para tokohnya memi-liki pe-ma-haman tentang masa lalu yang bisa mem-perkuat pencitraan mereka dan ke--cocokannya dengan pedang yang di-sandang. Misalnya Chu Zaonan. Pen-dekar berambut gondrong yang miste-rius itu digambarkan sebagai bekas bu--dak dan fasih berbahasa Korea. Dia ber-senjatakan pedang Naga, pedang dari metal batu meteor dengan suara menjerit yang mencekam. Dia begit-u cocok berpasangan dengan pedang yang—disebutkan oleh Guru Bayang-an Gemerlap—karakternya belum terasah benar alias masih liar. Tapi tidak jelas latar belakang apa yang mema-dukan keduanya.

Dua ”kelemahan” itu memiliki pen-je--las-an. Pertama, ini film adaptasi. Jadi, su-tradara The Legend of Zu dan Once Upon a Time in China ini pu-nya alasan kuat memunculkan ketujuh pendekar pedang bersamaan. Seperti juga film The Seven Samurai karya Akira Kuro-sawa, jagoan harus jelas. Kedua, kese-luruhan film ini seharusnya empat jam, dipotong menjadi dua se-tengah jam saja.

Masalah itu toh bisa ditutupi de--ngan gambar dan teknik pertempuran memukau. Rekaman gambar di kawa-san Xinjiang yang bersalju dan Gurun Gobi berhasil hadir dalam warna kecokelatan yang klasik. Baju-baju yang terbuat dari b-ahan kasar dan kumal menguat-kan kesan kuno. Tsui Hark menyuguhkan gambar re-alistis, tanpa lambaian kain-kain sutra dan pe-dang berkilap disandang para pende-kar. Para ja-goan, penjahat, dan penduduk desa tampak kasar dan kotor.

Selain itu, teknik pertempurannya penuh de-ngan baku hantam yang ke-ras, tanpa adegan mela-yang-layang dan ”me-nari-nari” di udara. Pedang dan senjata musuh, yang berbentuk aneh dan terkesan kejam, beradu kasar, keras, dan ber-suara seperti pencabut nyawa. ”Kebrutalan” gaya bertempur Seven Swords mengingatkan pada karya Tsui Hark, The Blade, yang bercerita tentang pendekar buntung tangan.

Sayang sekali, film yang masuk ke Festival Film Cannes ini hanya dita-yangkan di sedikit bioskop dengan promosi sangat minim. Sesungguhnya, film sebesar ini arahan sutradara sebesar Tsui Hark layak mendapat tempat dan perhatian yang jauh lebih intens daripada film-film Hollywood.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus