Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN ketampanan wajah, bukan kekekaran otot. Satu syarat untuk mendapatkan hati Seriati adalah keahlian mengobati penyakit flu. Sayembara yang diumumkan ayah Seriati itu berbunyi: “Siapa pun yang dapat memulihkan marabahaya flu ini, dapat menikahi putriku Seriati. Bukankah dia manis, Abang Gendoet?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si Abang Gendoet mengakui kecantikan Seriati. Dia lalu memamerkan kemampuan menyembuhkan penyakit demam-batuk yang dalam cerita ini disebut sakit kromo dengan ilmu tabibnya. Sebuah jimat menjadi andalannya. Tiba-tiba datang Si Pandjang yang dengan gagah berbicara di depan kerumunan, “Apa kalian terkena sakit kromo? Jika ada gejala demam dan batuk, itu namanya penyakit influenza. Hindari angin. Makan bubur, minum air hangat. Istirahatlah di rumah. Jika tubuh terasa kuat setelah satu pekan, baru boleh keluar.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Potongan cerita ini ada dalam buku berbahasa Melayu terbitan Balai Pustaka pada 1920. Steve Ferzacca menceritakan ulang kisah dalam buku berjudul Awas! Penjakit Influenza tersebut pada esai “Governing Bodies in New Order Indonesia” di buku New Horizons in Medical Anthropology. Ferzacca menyoroti upaya pemerintah Hindia Belanda mengkampanyekan pengobatan berlandaskan sains lewat pendekatan cerita rakyat agar lebih mudah diterima. Alur ceritanya meniru epos Ramayana, saat Rama berusaha mengambil hati Dewi Sinta lewat sayembara unjuk kebolehan. Cara ini dipakai setelah banyak masyarakat memilih percaya pada pengobatan tradisional di tengah pandemi influenza 1918 yang memakan jutaan korban jiwa.
Dalam lanjutan kisah itu, Pandjang meneruskan orasinya dengan menjelaskan bahwa virus influenza menular lewat air liur orang yang sakit. Jika virus itu masuk ke tubuh, sel darah putih akan memeranginya. Untuk membantu pemulihan, Pandjang menyarankan si sakit menyelimuti diri, menurunkan demam dengan kompres dingin, makan makanan bergizi, dan minum obat bernama tablet Bandoeng. Berkat ilmu pengetahuannya, Pandjang berhasil memenangi sayembara itu.
Informasi dalam buku itu dikemas tim kesehatan pemerintah kolonial dan disebarluaskan oleh Direktur Pendidikan dan Agama (Onderwijs en Eeredients). Selain berbahasa Melayu, sejarawan epidemi Tubagus Arie Rukmantara menyebutkan, buku pedoman diterbitkan dalam bahasa Jawa dan ditulis menggunakan huruf Jawa pula. “Buku disusun dalam bentuk percakapan di antara tokoh-tokoh punakawan yang populer di tengah masyarakat,” kata Arie lewat wawancara tertulis.
Dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda disebutkan, melihat bentuk dan isinya, buku pedoman berjudul Lelara Influenza itu diduga ditujukan kepada para dalang agar mereka dapat menyampaikan kembali informasi kesehatan di dalamnya lewat pertunjukan wayang. Pemerintah kolonial saat itu berharap kampanye kesehatan dapat lebih mudah tersalurkan dengan bahasa yang lebih bebas dan informal.
Dikutip dari Yang Terlupakan, buku Lelara Influenza antara lain berisi informasi:
Influenza bisa mengakibatkan sakit panas dan batuk, mudah menular, asalnya dari abu atau debu, berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu....
...orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh ke luar rumah, harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi....
Lelara Influenza menjadi buku berbahasa Jawa yang populer hingga lama setelah pandemi influenza, yang juga disebut flu Spanyol, berlalu. Data peminjaman Taman Pustaka yang dikutip dari makalah berjudul “Balai Pustaka dan Kesehatan Umum” oleh W. B. Horton menunjukkan buku tersebut dipinjam lebih dari 3.000 kali setiap tahun sepanjang 1926-1930. “Ilmu kedokteran disampaikan melalui percakapan antara Semar, Gareng, Petruk, dan Prabu Kresna sehingga buku ini sangat menarik untuk dibaca,” tulis Horton.
Sampul Buku “Awas Penyakit Influenza”./Dok. Syefri Luwis
Wabah flu Spanyol, yang diperkirakan memakan korban 20-50 juta jiwa, merevolusi banyak hal di dunia. Hindia Belanda, yang kehilangan 1,5-4 juta penduduk, berbenah diri agar tak tersapu pandemi lagi. Perkembangan kedokteran berbasis masyarakat lebih diperhatikan. “Di Hindia Belanda, pengerahan mahasiswa STOVIA terjadi karena jumlah penderita penyakit meningkat tajam di luar Batavia. Komitmen memperkuat STOVIA makin besar,” ujar Arie Rukmantara.
Terlebih, dalam penanganan pandemi, terbukti dokter Jawa yang merupakan alumnus STOVIA berperan lebih besar dibanding dokter Eropa lulusan Geneeskundige School. Dikutip dari buku Yang Terlupakan, dokter Jawa adalah rekan fungsional bagi pemerintah kolonial untuk memberikan pelayanan kesehatan hingga tingkat paling bawah. Dokter-dokter STOVIA punya keunggulan karena memahami bahasa Jawa, juga budaya dan model pengobatan tradisional masyarakat pribumi. Sebuah foto dalam lampiran buku tersebut memperlihatkan seorang dokter bernama Ismael mengenakan blangkon dan beskap saat berinteraksi dengan pasien. Ismael lulus dari STOVIA, lalu mengabdikan diri di Rumah Sakit Kristen Mojowarno di Jawa Timur.
Pada skala global, pandemi flu Spanyol memaksa perang segera dituntaskan. Pandemi ini disebut berperan dalam Perjanjian Perdamaian Paris yang menyepakati penghentian Perang Dunia I. Karena banyak anggota delegasi terjangkit flu, negosiasi perdamaian menjadi lebih lunak. Peneliti sejarah Alfred W. Crosby dalam tulisan “Flu and The Paris Peace Conference” berargumen bahwa kelemasan dan kelelahan akibat flu-lah yang berhasil mewujudkan Liga Bangsa-Bangsa. “The new normal setelah pandemi flu adalah menuntaskan perang dan memperkuat kerja sama internasional,” tutur Arie.
Berkaca dari lintang-pukang negara-negara dalam mengatasi flu, Liga Bangsa-Bangsa meluncurkan Health Organization pada 1923. Menurut Arie, badan teknis ini menciptakan sistem pengawasan baru epidemi yang tidak berisi diplomat, melainkan ahli kesehatan. “Badan tersebut menjadi cikal-bakal World Health Organization, yang lahir pada 1948,” ucapnya.
Jennifer Cole, antropolog Royal Holloway, University of London, menyebutkan perang dan wabah turut berperan dalam lahirnya konsep negara kesejahteraan yang kemudian diadopsi banyak negara di Eropa. Konsep ini dikembangkan setelah berkaca dari wabah yang meninggalkan banyak janda, anak yatim-piatu, dan penyandang disabilitas.
Kewajaran lain yang muncul akibat pandemi adalah makin terbukanya data. Menurut Arie, wabah pada 1918-1919 nyaris hilang dari buku sejarah dan budaya populer karena tak ada transparansi informasi. Jika dibiarkan, hal ini dapat menurunkan tingkat kewaspadaan generasi selanjutnya saat wabah melanda kembali. “Kebebasan pers menjadi kenormalan baru,” ujarnya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo