Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hans Pols: Dokter Jawa Menyadari Diskriminasi

Pada zaman kolonial, perjuangan juga digerakkan para dokter pribumi lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Wawancara dengan Hans Pols, penulis buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hans Pols./sydney.edu.au

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT wabah pes terdeteksi di Malang, Jawa Timur, pada 1911, para dokter muda lulusan STOVIA turun ke lapangan, termasuk dr Cipto Mangunkusumo. Mereka mengobati pasien di kampung-kampung tanpa alat pelindung diri, karena pada masa itu perlengkapan medis tersebut belum ditemukan. Aksi mereka heroik lantaran, pada saat yang sama, banyak dokter Hindia Belanda menolak berdekatan dengan penyakit mematikan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, Hans Pols, mengatakan para dokter STOVIA tak hanya menjadi pahlawan di tengah wabah, tapi juga bergelut dengan politik praktis. Sebagian dari mereka aktif di organisasi dan lantang menyuarakan nasionalisme lewat tulisan di surat kabar. Daya kritis mereka salah satunya disulut sikap pemerintah kolonial terhadap kaum pribumi yang diskriminatif kala wabah terjadi. Berikut ini petikan wawancara dengan pengajar di Jurusan Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan University of Sydney, Australia, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Apa saja dokumen yang menjadi referensi Anda dalam menulis Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia?

Ada dokumen resmi seperti laporan tahunan STOVIA, artikel surat kabar tentang kesehatan dan pengobatan, juga surat antardokter. Saya memfokuskan pada banyak publikasi medis, termasuk dari Asosiasi Dokter Hindia, untuk menggali gagasan mereka. Pada 1970-an, banyak dokter menulis otobiografi. Saya juga mencari sumber pendukung lain karena mengetahui ingatan mereka bisa saja tidak sempurna. Saya juga mewawancarai dokter senior, seperti (almarhum) Profesor Koestedjo dari Bandung. Dia pergi ke Batavia Medical pada circa 1940 dan kisahnya sangat menarik. Penelitian saya berlangsung sekitar sepuluh tahun, tapi tidak penuh waktu.

Mengapa Anda tertarik meneliti ini?

Ini benar-benar kebetulan. Ibu saya lahir di Menteng pada 1938, sementara nenek dan nenek buyut saya lahir di Yogyakarta. Jadi saya punya sejarah keluarga di Indonesia. Namun saya baru berkesempatan datang ke Indonesia setelah pindah ke Sydney, Australia, pada 2002. Di Indonesia, saya disarankan bertemu dengan orang-orang yang punya ketertarikan juga pada sejarah kedokteran, yakni Profesor Firman Lubis dan Rushdy Hoesein. Mereka mengajak saya berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta, yang dulu gedung STOVIA. Dari situ saya makin tertarik pada bahasan soal STOVIA.

Kemampuan dokter lulusan STOVIA mulai diuji sejak muncul wabah pes di Malang pada 1911. Seperti apa perannya?

Pada 1903, STOVIA adalah sekolah yang mengesankan dengan staf berdedikasi. Para siswa tidak memainkan peran penting, tapi beberapa dokternya, seperti Cipto Mangunkusumo, menjadi sukarelawan selama wabah. Dia menjadi sangat sadar bahwa orang Indonesia tidak diperlakukan sama. Sementara orang Belanda bisa bebas bepergian, orang Indonesia tidak. Seperti semua epidemi, wabah mengajarkan kepada kita banyak hal tentang politik, stigma, dan organisasi sosial.

Para dokter itu bahkan rela ke lapangan tanpa alat pelindung diri, ya....

Masker medis ketika itu adalah hal baru, termasuk di Barat. Di daerah tropis, sangat sulit menjaga semuanya steril. Bahkan pakaian pelindung tidak membuat perbedaan selama wabah. Cara penularan utama adalah melalui gigitan nyamuk—sama seperti demam berdarah saat ini. Jadi peralatan pelindung pribadi sebenarnya tidak ada bedanya. Yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan kelambu dan pengusir nyamuk atau membunuh semua tikus. Sebab, nyamuk dapat menginfeksi manusia setelah menggigit tikus yang terinfeksi. Namun tetap saja menjadi dokter pada saat itu sangat berisiko. Bahkan banyak dokter yang tertular tuberkulosis dari pasiennya.

Apakah ketika wabah pes terjadi pemerintah Belanda memberikan bantuan kepada dokter pribumi?

Mereka dihargai, tapi tidak sebanyak penghargaan untuk dokter Belanda.

Selain Cipto, adakah dokter lain yang aktif menulis soal nasionalisme?

Ada beberapa dokter seperti itu, misalnya Abdul Rivai, yang menerbitkan Bintang Hindia dan banyak menulis di surat kabar. Juga Soetomo, Radjiman Wediodiningrat, dan beberapa lainnya. Mereka serius berpolitik dan menjadi anggota parlemen kolonial. Sebagian dokter juga mengetahui metafora fisiologis yang penting dalam situasi politik ketika itu. Misalnya istilah “tubuh sosial” atau juga pengibaratan kolonialisme sebagai kanker.

Di Jawa ketika itu ada juga mantri pes. Secara spesifik, apa bedanya dengan dokter biasa?

Mereka adalah asisten dokter. Mereka tidak mendapat pelatihan medis penuh, tapi tahu cara menangani penyakit pes.

Menengok perjuangan dokter di masa lalu, apa pelajaran yang bisa diambil untuk pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) saat ini?

Dokter zaman itu merasakan tanggung jawab sosial yang kuat. Banyak yang merasakannya hari ini juga. Namun, sayangnya, mereka tidak benar-benar didukung pemerintah. Ada kekurangan peralatan medis, alat pelindung diri, dan ini sangat menyedihkan. Dan, ya, para tenaga medis pada akhirnya mempertaruhkan nyawa mereka. Padahal semestinya kondisi itu bisa dihindari.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus