Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengarak Kiai Tunggul Wulung

Berbagai cara ditempuh agar mimpi buruk flu Spanyol berlalu. Di Yogyakarta, pusaka kerajaan diarak keliling kota agar wabah cepat sirna.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bendera replika Kiai Tunggul Wulung./Dok. KH Moh Jazir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSAKA keramat berupa kain sutra bertulisan “la ilaha illallah” dan “nashrun minallah wa fathun Qarib” diarak keliling kota saat wabah flu Spanyol menyerang Yogyakarta pada 1918. Kain berwarna ungu itu dihiasi gambar pedang yang ujungnya terbelah dua. Dalam sejarah Islam, pedang itu digunakan Ali bin Abi Thalib—sahabat, menantu, dan sepupu Nabi Muhammad—untuk Perang Badar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat Yogyakarta mengenal pusaka keramat itu sebagai Kiai Tunggul Wulung. Tunggul Wulung diwariskan pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1646). Tunggul sama artinya dengan “unggul” dan wulung berarti “ungu”. Pada masa kekuasaan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Kiai Tunggul Wulung digunakan untuk menghentikan wabah flu Spanyol. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti dalam tradisi kirab Keraton Yogyakarta, kirab pusaka Kiai Tunggul Wulung diarak prajurit keraton yang mengenakan peci mirip prajurit Turki saat wabah flu Spanyol menyerbu. Mereka membawa panji Kiai Tunggul Wulung yang diikatkan pada tombak. 

Para ulama membacakan kalimat thayyibah sepanjang prosesi mengarak bendera. “Kiai Tunggul Wulung seperti panji Fatahillah milik Demak dan Estergon milik Turki Utsmani,” kata Kasori Mujahid, kandidat doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin, 11 Mei lalu. 

Kasori menulis disertasi berjudul “Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak pada Abad XV-XVI Masehi”. Dia melakukan riset di museum-museum dan perpustakaan Istanbul, Turki, pada November 2017 selama sebulan. 

Panji Kiai Tunggul Wulung mirip dengan bendera dari abad ke-16 berupa kain sutra tebal berwarna merah yang ada di Istanbul. Panji ini menjadi simbol peperangan. Warna merah menyala menggambarkan keyakinan dan keberanian. 

Bendera mirip Kiai Tunggul Wulung, menurut Kasori, ada sejak era Kesultanan Demak pada 1479-1554. Saat menyerbu Portugis, Demak menggunakan panji Fatahillah karena dibawa panglima perang Fatahillah bersama prajurit Cirebon dan Banten pada 1526-1527. Saat itu hubungan antara Turki, Demak, dan Jawa sangat dekat. Panji yang mirip dengan Tunggul Wulung juga tersebar di Kesultanan Aceh dan Kesultanan Luwu.

Bendera itu bertulisan ayat-ayat Allah yang mengobarkan semangat berperang melawan penjajah. Ada juga doa-doa meminta pertolongan dari Allah agar memenangi pertempuran untuk mengusir penjajah asal Eropa.

Panji Kiai Tunggul Wulung itu digunakan secara turun-temurun oleh sultan dan panglima kesultanan Islam di Jawa dan Nusantara. Pangeran Sambernyawa di Mangkunegaran menggunakan panji tersebut sewaktu berperang melawan Belanda. “Orang Islam di Jawa menganggap Tunggul Wulung sangat sakti,” ucap Kasori. 

Kiai Panji Tunggul Wulung Yogyakarta diwariskan oleh Sultan Agung (1613-1646), yang mendapat gelar sultan dari Turki Utsmani pada 1641. Pada 1638, Sultan Agung mengirim utusannya kepada Syarif Mekah dengan membawa hadiah supaya mendapat gelar sultan. Utusan itu lalu pulang membawa oleh-oleh berupa panji dengan tulisan kalimat-kalimat Al-Quran dan pedang Ali dari Syarif Mekah yang berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani.  

Dalam Babad Diponegoro tertulis Sultan Agung mengirim utusan ke Mekah, lalu ke Turki. Kemudian utusan itu membawa oleh-oleh berupa panji atau bendera. Panji itu merupakan kiswah atau kain penutup Ka’bah. Kesultanan Yogyakarta menyebutnya sebagai Kiai Tunggul Wulung. 

Sultan Agung menggunakan panji Kiai Tunggul Wulung itu sebagai tolak bala wabah yang menimpa Kerajaan Mataram. Kiai Tunggul Wulung diarak di sekitar Kotagede, Yogyakarta, pada 1622. Sultan Agung lalu mewariskan panji itu kepada Amangkurat hingga sampai ke Sultan Hamengku Buwono X. 

Pada 9 Februari 2015, saat membuka Kongres Umat Islam Ke-6 di pendapa keraton, Sultan Hamengku Buwono X menyebutkan soal bendera Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Pare Anom yang bertulisan syahadatain. Kiai Tunggul Wulung, menurut Sultan Hamengku Buwono X, terakhir kali diarak pada 1946. Dalam pidatonya di Turki saat menerima gelar doctor honoris causa bidang kebudayaan pada 2013, Sultan mengatakan duplikat Kiai Tunggul Wulung disimpan di keraton.

Sejarawan asal Australia, Merle Calvin Ricklefs, dalam bab “Masyarakat Jawa dan Islam pada 1930-an” buku berjudul Mengislamkan Jawa, menulis bahwa masyarakat Jawa meyakini keluarga kerajaan Jawa mempunyai kekuatan magis-mistis. Kepercayaan itu ditunjukkan dengan cara Yogyakarta menangkal wabah yang menyerang Kotagede pada 1931. 

Di Kotagede terdapat makam pendiri Dinasti Mataram, Senopati ing Alaga (meninggal sekitar  1601) dan Panembahan Seda ing Krapyak (meninggal pada 1613)—ayah Sultan Agung. Pada 1931, wabah pes menyerbu sehingga warga kota yang lebih kaya memilih meninggalkan rumah-rumah mereka untuk pindah ke tempat lain. 

Warga yang kurang beruntung tetap tinggal sembari berjaga setiap malam karena takut penyakit akan datang dan mengambil nyawa mereka kala tertidur pulas. 

Untuk menghadapi wabah itu, Sultan diminta bersedia meminjamkan pusaka kerajaan yang paling keramat, yakni panji Kiai Tunggul Wulung, untuk diarak. “Bendera itu diyakini dibuat dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad. Di ujungnya terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kiai Slamet,” tulis Ricklefs. 

Dia juga menyebutkan Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak pada 1876 dan 1892. Ketika itu, wabah menyerbu Kota Yogyakarta. Saat flu Spanyol menyerang pada 1918, Kiai Tunggul Wulung juga diarak pada 1918. “Keyakinan umum adalah wabah berhenti setelah pusaka diarak,” tulis Ricklefs.  

SHINTA MAHARANI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hardian Putra Pratama

Hardian Putra Pratama

Redaktur Bahasa Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus