Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokter pribumi dan mantri menjadi pahlawan bumiputra dalam wabah pes di Malang sejak 1911.
Tenaga medis di tengah wabah pes turun tanpa alat pelindung diri.
Para dokter lulusan STOVIA juga aktif dalam pergerakan dan aktif sebagai jurnalis.
BAYI perempuan itu ditemukan sebatang kara di sebuah gubuk di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, pada 1912. Kedua orang tuanya meninggal, terserang wabah penyakit pes yang juga membunuh sebagian besar warga kabupaten itu. Beruntung, dokter Cipto Mangunkusumo melihatnya ketika ia sedang blusukan ke kampung-kampung untuk mengobati warga. Hatinya tergerak. Bayi itu kemudian digendongnya, bahkan kemudian diangkat anak oleh Cipto, dan diberi nama Pesjati. Nama ini seolah-olah mengekalkan riwayat pagebluk akibat bakteri Yersinia pestis yang menelan jutaan jiwa penduduk Hindia Belanda pada 1911-1934.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cipto tak hanya menjadi pahlawan bagi Pesjati. Ia juga ada di garda depan dalam penanggulangan wabah pes di Malang. Sejarawan dari University of Sydney, Australia, Hans Pols, dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, menyebutkan Cipto-lah yang pada 1912 mengajukan diri untuk dipindahtugaskan ke dekat Malang agar bisa turun tangan membantu korban wabah pes. Sebelumnya, ia membuka tempat praktik pribadi di Solo, Jawa Tengah. Cipto kemudian mendapat bintang Order of Orange Nassau dari Kerajaan Belanda atas jerih payahnya dalam mengatasi wabah. “Kejernihan pandangan politik dan pengabdiannya memerangi wabah penyakit membuat namanya harum di kalangan pribumi,” kata Pols dalam bukunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, karena Cipto adalah orang yang eksentrik, penghargaan bergengsi itu ditolaknya. Sejarawan dari Universitas Indonesia, Syefri Luwis, mengatakan, setelah kelar berbakti di Malang pada 1912, Cipto sibuk dengan urusan politik bersama sejawatnya, seperti Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat. Pada 1920, Cipto kembali ke Solo dan berniat membantu penanganan wabah di sana. Namun ketidakharmonisan hubungan Cipto dengan pemerintah, juga perlawanannya yang kerap menjengkelkan pejabat Hindia Belanda, membuat upaya itu dilarang. “Cipto lalu menaruh medali penghargaan di bokongnya. Ia melawan dan meledek pemerintah,” ujar Syefri saat dihubungi pada Senin, 6 April lalu.
Bukan sekali itu saja Cipto berisik melawan sikap tidak adil pemerintah kolonial. Putra sulung keluarga aristokrat di Semarang itu adalah lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), yang dulu adalah Sekolah Dokter Djawa. Sementara kebanyakan lulusan STOVIA mengenakan pakaian ala dokter Belanda yang menyimbolkan kelas sosial lebih tinggi, tidak demikian dengan Cipto. Dia mengidentifikasi diri sebagai orang biasa dengan mengenakan pakaian Jawa sederhana dan merokok kretek.
Cipto juga kerap membuat kontroversi karena karakternya yang tak kompromistis. Bahkan ia memilih putus hubungan dengan Boedi Oetomo seusai kongres pertama karena organisasi itu dianggapnya terlalu elitis dan konservatif. Ketika di Malang, turunnya Cipto juga menjadi sikap perlawanannya terhadap Belanda. Menurut dosen sejarah Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Martina Safitry, yang meneliti peran mantri dan dokter pribumi saat pagebluk pes di Malang, kebanyakan dokter Belanda tak mau berjibaku di lapangan. Selain karena sikap diskriminatif—hanya mau membantu sesama Eropa—mereka takut tertular penyakit dari pasien yang kebanyakan adalah petani.
Dr. Cipto Mangunkusumo, 1913./KITLV
Inisiatif Cipto menjadi penting karena pada masa itu penyebaran wabah makin tak karuan. Dia pun turun tanpa alat pelindung diri yang memadai, yang pada saat itu memang belum banyak diproduksi. Saban hari bergelut dengan kondisi rakyat jelata yang dihabisi wabah pes, Cipto lantang berteriak kepada pemerintah. Ia tak bisa menerima perlakuan pemerintah kolonial kepada bangsanya di tengah wabah, yang membuat korban jatuh bertambah banyak. Gaji dokter Jawa sendiri, kata Martina, juga jauh lebih rendah daripada penghasilan dokter Eropa. “Perlakuan-perlakuan tidak adil itulah yang membuat dokter Cipto vokal di koran dan mengobarkan semangat nasionalisme,” ucap Martina, yang tesisnya membahas dokter dan mantri pes di Hindia Belanda.
Pengalaman keseharian di lapangan membuat mereka peka terhadap isu sosial dan ekonomi warga. Terlebih secara konsisten para dokter, termasuk Cipto, berhadapan langsung dengan penderitaan manusia dari beragam kelas sosial dan etnis. Hal ini kemudian membuat mereka menyadari pasiennya tak hanya menderita penyakit, tapi juga kemiskinan, kekejaman, dan kondisi kerja yang buruk. Cipto menuliskan kritik tajamnya kepada sejumlah media. Salah satunya De Express. Ia juga menggratiskan biaya berobat bagi masyarakat miskin, sama dengan yang dilakukan dokter Soetomo.
Hans Pols dalam bukunya menyebutkan bahwa sekolah dokter—dalam hal ini STOVIA—pada masa itu menjadi tempat munculnya kesadaran baru tentang politik, bahkan mengilhami lulusannya berpartisipasi dalam gerakan nasionalis. Organisasi Boedi Oetomo, yang mengadvokasi akses pendidikan modern, pun diprakarsai para pelajar kedokteran seperti Wahidin dan Soetomo. Komitmen terhadap ilmu kedokteran adalah hal yang membuat sejumlah pemuda membayangkan negara baru yang merdeka dan sehat. Itu yang kemudian memotivasi mereka untuk, pertama-tama, mengkritik penyelenggaraan pelayanan kesehatan di era kolonial.
Para dokter itu juga menjadi kelompok pribumi pertama yang dapat menembus lingkungan sosial kaum Eropa. Di sisi lain, dokter Eropa memendam permusuhan yang kuat dan terbuka terhadap sejawatnya yang pribumi akibat frustrasi akan status sosial mereka. Pada awal abad ke-20, muncul dokter-dokter pribumi yang aktif di Perkumpulan Dokter Hindia Belanda (Vereeniging van Indische Artsen), seperti W.K. Tehupeiory, Jeremias Kaijadoe, dan Abdul Rasjid. Ada juga dokter yang aktif sebagai jurnalis dan penulis, yakni Abdul Rivai, lulusan pertama Sekolah Dokter Djawa yang mendirikan majalah dua mingguan Bintang Hindia Belanda.
• • •
MARTINA Safitry menyebutkan total ada 14 dokter Jawa, termasuk Cipto Mangunkusumo, yang bertugas di Malang saat wabah terjadi. Mereka terlibat karena sebelumnya ada kekurangan tenaga medis. Kondisi itu membuat pemerintah kolonial meminta mahasiswa semester akhir di STOVIA untuk melanjutkan kuliahnya secara praktik langsung di tengah wabah. Imbalannya, mereka tak perlu lagi mengerjakan tugas akhir untuk syarat kelulusan. Dokter dari Benua Eropa semula sempat menawarkan bantuan, tapi ditepis pemerintah Hindia Belanda.
Wabah pes sebenarnya sempat mereda setelah pemerintah menerapkan karantina wilayah di Malang selama setahun pada 1912. Martina menjelaskan, warga yang tinggal di gubuk-gubuk ketika itu dipindahkan ke barak untuk meminimalkan penularan pes dari tikus.
Rumah yang tadinya berbahan bambu juga dianjurkan diganti dengan tembok. Namun, karena tak semua warga mampu merenovasi, pemerintah melakukan pemaksaan lewat pembakaran rumah-rumah penduduk sehingga membuat situasi makin mencekam.
Sayangnya, pemerintah memutuskan lockdown Malang hanya berlangsung setahun. Bakteri pes yang belum lenyap benar akhirnya mewabah kembali menggerogoti warga. “Bahkan kondisinya makin parah,” kata Martina. Walhasil, pada 1914, lahir wacana untuk memperbanyak tenaga medis yang bertugas menanggulangi pes. Karena kuliah dokter STOVIA terlalu lama—hingga sepuluh tahun—dibuatlah sekolah mantri untuk penduduk pribumi dengan kurikulum lebih singkat. Sekolah mantri ini, menurut Martina, bersifat insidental dan materinya diberikan sesuai dengan kebutuhan. “Lulusannya disebut sesuai dengan bidang keahliannya, misalnya mantri pes.”
Abdul Rivai, dokter dan editor Bintang Hindia dan majalah lainnya, 1902./KITLV
Keberadaan mantri ini kemudian turut mengubah tatanan kesehatan di Jawa. Sebelum ada dokter dan mantri pes, kebanyakan warga memilih berobat ke dukun. Namun, belakangan, pemerintah melarang kebiasaan tersebut hingga muncul stigmatisasi yang menganggap dukun tak becus mengobati penyakit. Bahkan pemerintah pada 1930 membuat kampanye lewat film dokumenter arahan Willy Mullens. Film itu menunjukkan bagaimana dukun bekerja dengan cara yang tidak logis, dilihat dari kacamata orang Eropa. Sebagian besar pengobatan pun mulai dialihkan ke produksi kimia, hasil pabrikan. Teknologi pengobatan itu kemudian dibawa dokter dan mantri pes ke desa-desa.
Pada 1935, lahir sekolah khusus mantri di Purworejo. Sekolah ini mendapat bantuan operasional dari Rockefeller Foundation, yang berbasis di Amerika Serikat. Belakangan, spesialisasinya makin variatif. Bukan hanya mantri pes, ada juga ahli di bidang cacar dan kakus. “Sebelum ada sekolah mantri, semua tugas itu diemban dokter STOVIA. Namun kemudian mantri pes membantu tugasnya,” tutur Martina.
Menurut Martina, keberadaan tenaga medis ketika itu tak mempercepat penanganan wabah karena teknologi kedokteran dan komunikasi belum canggih. Lamanya proses komunikasi pemerintah pusat ke daerah menjadi faktor yang memperlama penyelesaian wabah. “Jika penanganan wabah Covid-19 juga lambat, berarti kita mengalami kemunduran,” ujarnya.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo