Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA tampak letih dan kusut. Satu-satunya yang tak berbeda, dan ini membuat polisi geleng kepala, ia tak pernah berhenti menjelaskan aliran yang diproklamasikannya sejak 2001 itu. ”Ia kelihatan pintar. Kalau ditanya, nyerocos panjang-lebar,” kata Kepala Kesatuan Keamanan Negara Polda Metro Jakarta, AKBP Tornagogo Sihombing.
Dialah Ahmad Mushaddeq alias Abdul Salam, yang mengaku sebagai rasul baru. Ia, bersama enam pengikutnya, memilih mendatangi Markas Kepolisian Daerah Metro Jakarta ketimbang diburu polisi atau digelandang massa. Dua tangannya pun diborgol ke belakang pada Rabu dua pekan lalu.
Sang ”rasul” yang menggegerkan itu akhirnya menyerah ke polisi. Tak tampak lagi penampilannya yang parlente dengan jas dan dasi seperti dalam pertemuan akbar 267 jemaah Al-Qiyadah al-Islamiyah di lantai 11 Graha BIP, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, sepekan sebelumnya.
Inilah drama mutakhir Al-Qiyadah setelah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Tiga pengikutnya di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, digropyok massa pada September lalu. Sebulan berikutnya, giliran jemaah di Padang digerebek warga.
Nasib Mushaddeq, 63 tahun, ini mirip yang dialami Lia Aminudin, pendiri Salamullah atau Komunitas Eden. Persis pula dengan nasib Yusman Roy, yang ditangkap setelah menggagas salat dalam dua bahasa—Arab dan Indonesia—melalui jemaah Ngaji Lelaku di Malang, Jawa Timur. Rumah Lia diobrak-abrik massa. Ia harus mendekam di penjara satu setengah tahun.
Sedangkan Yusman Roy, bekas petinju itu, juga dihukum penjara dua tahun, Agustus lalu. Namun ia tak terbukti melakukan ”penodaan agama” sebagaimana dakwaan primer jaksa. Tapi ia tetap saja divonis merujuk dakwaan subsider, yakni menyiarkan dan melakukan penghinaan terhadap segolongan penduduk Indonesia. Yusman sampai bikin Bupati Malang meneken surat keputusan agar ajarannya dihentikan.
Nasib Mushaddeq idem ditto. Sebagian bangunan Vila Lakapura miliknya di kawasan Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, sudah dibakar oleh kelompok yang menamakan diri Majelis Ulama Islam, Selasa malam pekan lalu.
Aksi ”rusak dan bakar” itu adalah jilid kesekian dalam praktek kekerasan kehidupan beragama di Indonesia. Perusakan pertama yang tercatat terjadi pada 1974, ketika Ali Taetang Laikabu menahbiskan diri sebagai nabi baru di Sulawesi Selatan. Yang paling ramai dan mengundang perhatian publik yang luas tentu saja adalah perusakan aset Ahmadiyah di berbagai kota tahun lalu.
Al-Qiyadah juga melengkapi daftar 250 kepercayaan sesat yang dikeluarkan oleh Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) dari 1980 hingga 2006. Pakem beranggotakan Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, dan Kejaksaan Agung. MUI sendiri telah mengeluarkan 86 fatwa sejak berdiri pada 1975. Sepuluh dari fatwa itu menyangkut ajaran sesat (lihat infografik).
Kisah ”rasul Gunung Bunder” itu bermula dari Vila Lakapura yang terletak sekitar 20 kilometer dari Bogor ke arah Sukabumi tersebut. Mushaddeq bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu sudut vila yang ia sebut gua. Pada malam ke-37, tepatnya pada 23 Juli tahun lalu, ia mengaku mendapat perintah Tuhan untuk menyatakan sebagai rasul kepada seluruh umat manusia. Ia menyebut dirinya Almasih Almaw’ud, almasih yang dijanjikan. ”Tugas saya memurnikan ajaran Musa, Isa, dan Muhammad,” ucapnya.
Sejak ”turun wahyu” itu, Mushaddeq pun mengembangkan ajarannya. Dakwah yang semula hanya terbatas pada lingkungan terdekat kini bergerak ke luar. Ia mengumpulkan 12 sahabat, mirip 12 murid Isa, dan masing-masing diminta mencari 12 pengikut. Dengan sistem jaringan ala multilevel marketing ini, pengikutnya berbiak cepat.
Pemimpin Al-Qiyadah ini juga muncul di televisi dan mengundang wartawan untuk meliput kegiatan binayah roin atau pembinaan calon pemimpin, yang sebelumnya tertutup. Mushaddeq rajin berkeliling dari satu kota ke kota lain. Pagi hari ada di Jakarta, sorenya ia sudah terbang ke Surabaya. Ia punya pengikut di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Makassar, bahkan hingga pelosok seperti Tabalong, Kalimantan Selatan. Di Jakarta saja, kata Kepala Polda Metro Irjen Polisi Adang Firman, ada 8.000-an pengikut. Sebagian besar orang muda.
Jika tak sedang tausiyah ke luar kota, pensiunan pegawai Dinas Olahraga DKI Jakarta ini lebih memilih berdiam di rumahnya yang luas di bilangan Tanah Baru, Depok. Ia bertanam singkong atau sayur-sayuran lain di tanahnya yang seluas 2.300 meter persegi. Di lain waktu, kesenangannya adalah memperbaiki jip bekas. Salah satu jip dibelinya sepuluh tahun lalu di Madura, Jawa Timur. Awalnya hanya bangkai yang kemudian ia sulap menjadi mobil hijau khas tentara. Satu lagi berwarna oranye. ”Itu mobilnya Rasulullah,” kata Muthmainah, istri Mushaddeq.
Bila sedang berceramah, para pengikutnya tampak terbuai ucapan Mushaddeq yang nyerocos abis. Mereka manggut-manggut atau tertawa terbahak, meski tak genah benar logika berpikirnya. Dalam pertemuan akbar di BIP, misalnya, Mushaddeq menyebut, setelah Muhammad, rasul yang tampil di muka bumi bukan dari keturunan Bani Israel, Yahudi, atau Arab, tapi dari suku yang sama sekali tak terduga: Betawi. ”Keren kan orang Betawi jadi rasul?” ucapnya, yang disambut gelak tawa jemaahnya.
Coba dengar khotbahnya ini. Keberadaan suku Betawi yang menghuni tanah Jakarta, katanya, sudah menjadi strategi Allah. Sebagai ibu kota negara RI, Jakarta atau tanah Betawi menjadi tempat berkumpulnya suku-suku lain. Ia sendiri lahir di kampung Betawi di kawasan Kemang. ”Jadi, cocok dengan lagunya Rhoma Irama yang berjudul 135 Juta Penduduk Indonesia,” ujarnya ngakak. Entah apa hubungan sang raja dangdut itu dengan strategi Tuhan.
Kendati logika ucapannya terpeleset sana-sini, toh pengikutnya pasrah bongkokan pada sang rasul. Bonaji, 38 tahun, warga Balaraja, Banten, malah menyebut pengajaran Mushaddeq masuk akal. ”Setelah menjadi jemaah Qiyadah, saya tahu makna isi Al-Quran melalui penjelasan Rasul yang sangat masuk akal,” kata karyawan perusahaan kontraktor PT Pembangunan Perumahan itu.
Pria asal Jember, Jawa Timur, ini pun berani meninggalkan masjid dan salat lima waktu, setelah sang Rasul menjelaskan bahwa periode kenabiannya saat ini masih dalam periode Mekah atau Makkiyah, sama seperti periode Muhammad sebelum mendapat perintah menjalankan salat. Kewajiban menjalankan rukun Islam baru dilaksanakan setelah mendapat perintah untuk hijrah. Ini masuk akal bagi Bonaji.
Argumen periode Makkiyah ini segera ditampik Ketua MUI Ma’ruf Amin. ”Kalau orang salat dikejar-kejar, itu mungkin bisa disamakan dengan periode Mekah. Tapi di Indonesia kan orang salat tidak dihalangi,” katanya.
Al-Qiyadah tak mewajibkan pengikutnya melaksanakan rukun Islam seperti salat, zakat, puasa, dan berhaji. Jemaah hanya diwajibkan salat malam dan membaca Al-Quran. Syahadat aliran ini juga lain, yaitu dengan menyebut Almasih Almaw’ud sebagai rasul Allah.
Jemaah pun tak menampakkan penampilan tertentu seperti memelihara jenggot, celana cingkrang, atau kerudung untuk wanita. Mereka menganggap semua yang di luar Al-Qiyadah adalah musyrik, menyekutukan Tuhan. Itu pula sebabnya, mereka tak mau menyantap daging hasil sembelihan orang di luar alirannya.
Lalu apanya yang sesat? Menurut Ma’ruf Amin, minimal ada tiga hal yang membuat aliran ini dipandang sesat, yaitu menciptakan syahadat baru, ada rasul baru, dan menyatakan salat serta rukun Islam lain tak wajib. ”Itu sudah jelas bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis,” katanya.
Tak cuma MUI dan Front Pembela Islam yang tersundut. NU dan Muhammadiyah pun mengecap Al-Qiyadah sebagai aliran sesat. ”Jika ingin membuat ajaran baru, jangan mengaitkan dengan agama yang sudah mempunyai tatanan yang baku. Akibatnya, pengikut agama yang sudah baku akan bereaksi dan berkeberatan terhadap ajaran itu,” kata Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah.
Reaksi ini dikritik oleh Ketua Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. ”NU dan Muhammadiyah gagal menerapkan prinsip toleransi, sebagaimana dikehendaki konstitusi kita,” katanya. Dalam prinsip kebebasan beragama, katanya, seseorang tak bisa dipaksa memeluk suatu keyakinan dan agama yang tak sesuai dengan kata hati.
Berbeda dengan JIL, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendukung langkah polisi menangkap pemimpin Al-Qiyadah. Alasannya, pemerintah punya hak mengintervensi penyebaran ajaran yang dinilai telah menodai suatu agama. Namun, kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, pemerintah tak bisa mengintervensi akidah atau keyakinannya.
Hanya, vonis sesat dari MUI dan sejumlah ormas Islam itu tak urung telah menggerakkan masyarakat di beberapa daerah melakukan aksi ”pembersihan”. Dedi Priyadi, pemimpin Al-Qiyadah di Padang, dan keluarganya, misalnya, kini harus hidup nomaden sejak rumahnya di daerah Simpang Haru, Padang, digerebek warga pada awal Oktober lalu. Mereka hidup menumpang di rumah saudara dan kenalan.
Fenomena rasul atau nabi baru itu sebenarnya bukanlah barang baru. Alkisah, sejak zaman Muhammad telah ada yang mengaku nabi baru. Musailamah al-Kadzab adalah yang pertama terang-terangan mendeklarasikan sebagai nabi baru. Ia berkuasa di daerah Yamamah, kini salah satu distrik di Arab Saudi. Ia menikahi seorang wanita yang juga mengaku nabi.
Musailamah dikenal berani. Ia mengirim surat kepada Muhammad berisi ajakan untuk membagi kekuasaan bumi menjadi dua. Satu untuk Muhammad dan satunya untuk nabi baru: dia. Muhammad tak mengirim pasukan untuk menyerang Musailamah. Ia memilih mengungkapkan kedustaan Musailamah. Baru pada zaman khalifah Abu Bakar pasukan dikirim untuk memerangi Musailamah.
Nabi yang lain muncul di Pakistan. Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah pada 1889 dan mengaku sebagai nabi. Ahmadiyah masuk ke Indonesia sejak 1924. Pada masa awal perkembangan Islam di Jawa, muncul ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang diperkenalkan Syekh Siti Jenar pada abad ke-13. Di sini Syekh Siti Jenar tak bicara tentang kenabian, tapi lebih tinggi lagi, yaitu tentang konsep wahdatul wujud, menyatunya Tuhan ke dalam diri.
Nabi made in Indonesia asli baru ramai dibicarakan pada awal Orde Baru. Ali Taetang Laikabu adalah ”nabi Makassar” yang mengawali masa ini. Namun ajaran Ali bersifat lokal dan sekarang sudah tak terdengar. Pada 1986, rasul lain muncul. Kali ini gemanya lebih luas, lantaran dilontarkan oleh Teguh Esha, penulis novel pop Ali Topan Anak Jalanan.
Teguh antara lain mendustakan Hadis, mengubah jumlah rakaat salat dari 17 menjadi 19, dan cukup membaca syahadat dengan ”Tidak ada sesembahan selain Allah”. Salat model Teguh memakai bahasa Indonesia dan jurus-jurus silat dengan tangan, kaki, dan terkadang pantat, bergoyang-goyang (Tempo, 6 Desember 1986).
Teguh kini terbaring lemah di Rumah Sakit Fatmawati karena diabetes. Ia tak mengira puluhan seniman, yang notabene bukan pengikut kerasulannya, justru yang datang menjenguknya dan memindahkan kamarnya dari kelas III ke kelas II. Ia sempat menjadi pasien layanan cuma-cuma Dompet Dhuafa. ”Saya selama ini soliter dan tak menduga kedatangan mereka,” ucapnya. Teguh kini enggan mengingat masa lalu kenabiannya yang suram itu.
Setelah ”Ali Topan Rasul Jalanan”, sejumlah ajaran datang dan pergi. Belakangan, peminat ajaran baru itu justru datang dari anak muda. Puluhan anak muda yang berumur kurang dari 20 tahun di Bandung, misalnya, menjadi pengikut Al-Quran Suci. Sembilan orang di antaranya kini raib dan polisi kelimpungan mencari. Dua mahasiswi yang hilang sempat mengirim surat kepada orang tua dan menyatakan diri baik-baik saja.
Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) bentukan Forum Ulama Umat Indonesia menemukan catatan ajaran Al-Quran Suci. Di antaranya catatan mengenai doktrin ruhuiyah (aturan), mulqiyah (wilayah/tempat), uluhiyah (umat atau manusia). Struktur kehidupan digambarkan dengan analogi sebatang pohon yang terdiri dari akar, batang, dan buahnya. Menurut Koordinator TIAS Hedi Muhammad, struktur doktrin aliran yang diduga beroperasi di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta ini mirip dengan KW IX, salah satu sempalan Negara Islam Indonesia (NII). Mereka menerapkan proses rekrutmen tertutup.
Proses rekrutmen tertutup dan misteri NII itu telah mencemaskan Ahmad Buchori Saleh. Pengusaha Jakarta Selatan ini kini lebih memilih mengurung anaknya, Fafa, untuk melepaskannya dari jeratan NII. Mahasiswa tahun pertama Universitas Bina Nusantara, Jakarta, itu ketahuan mengikuti NII setelah minggat dari rumah karena menjual sepeda. Bukan hanya sepeda, uang tabungan Rp 20 juta juga ikut lenyap karena disetorkan ke NII.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, lakunya ajaran sesat di kalangan anak muda itu lantaran masyarakat kini mengalami kondisi yang serba tidak menentu. Anak-anak muda tersebut berusaha mencari seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat menerima krisis identitas mereka. ”Dalam sosiologi keagamaan ada yang disebut harapan eskatologis. Dalam harapan ini anak muda percaya bahwa pemimpin mereka adalah juru penyelamat, Imam Mahdi, atau apa pun yang akan menyelamatkan mereka,” ujarnya.
Harapan itu terbit karena pemahaman agama mereka belum mempunyai dasar yang kuat. Akibatnya, kata Azyumardi, mereka mengalami misleading dalam pencarian. Faktor berikutnya yang turut berperan: adanya kecenderungan pembiaran umat oleh para pemuka agama sehingga dimanfaatkan penyebar aliran baru. Di sinilah kepiawaian menjual ajaran itu muncul. Mereka dengan intens mendatangi dan menawarkan bimbingan.
Simak pengakuan Budi Tamtomo, pemimpin Al-Qiyadah Yogyakarta. Ia semula jauh dari agama dan menjalani mo limo—lima M (madon atau bermain perempuan, minum, main, madat, maling). Al-Qiyadah terus mendekatinya. Alhasil, dalam tiga bulan, ia pun takluk dan berhasil meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia bahkan kini benar-benar jauh dari perempuan, bahkan rela berpisah dari istri yang tak mau mengikuti ajaran yang ia anut.
Aliran ini juga menggelar ritual mohon pengampunan. Kepada setiap pengikut ditawarkan bisa langsung berhadapan dengan rasul untuk pengakuan dosa. Bertemu rasul dan ada kepastian dosa diampuni ini telah membuat hati umatnya benar-benar plong.
Dengan sejumlah nilai jual itu—boleh tidak salat, puasa, zakat, haji, dan diampuni langsung oleh rasul—Al-Qiyadah meraup ribuan pendukung. Apakah dengan demikian mereka layak dihakimi? Rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, mengkritik MUI yang terlalu peka terhadap urusan akidah. Padahal, jelas keyakinan adalah masalah privat. ”Sedangkan kalau ada sabotase rel kereta api, mereka diam saja,” tulisnya melalui pesan pendek.
Komaruddin pun menawarkan cara gampang menghadapi pelbagai aliran yang aneh-aneh itu. ”Diketawain saja, entar kan bubar sendiri,” ucapnya. Seseorang di Markas Polda Metro juga punya cara jitu mengetahui apakah Mushaddeq itu seorang rasul. ”Gampang, konfirmasikan saja kepada Lia Aminudin yang mengaku sebagai Jibril, apakah ia telah menurunkan wahyu kepada Mushaddeq,” ujarnya seraya tertawa. Benar juga. Silakan, Anda boleh terpikat atau malah terbahak-bahak….
Yos Rizal, Yudono, Elik Susanto, Irfan Budiman, Widi Nugroho, Retno Sari, Ahmad Fikri (Bandung), Febrianti (Padang), Heru C.N. (Yogyakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Kenapa Sesat
Berdiri sejak 1975, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan lebih dari 86 fatwa. Sepuluh dari fatwa itu menyangkut aliran yang dinilai sesat. Selain MUI pusat, majelis ulama di daerah juga bisa mengeluarkan fatwa sesat.
Kriteria dasar sesat menurut MUI adalah bila aliran itu bertentangan dengan Al-Quran dan tidak mempercayai hadis Nabi Muhammad sebagai sumber hukum syariat. Berikut karakter sejumlah aliran yang telah dan belum mendapat cap fatwa MUI.
Al-Qiyadah al-Islamiyah Pemimpin: Ahmad Mushaddeq Aktif: Sejak 2001 Fatwa sesat MUI: 2007
- Tidak menjalankan rukun Islam: salat sekali sehari hanya malam hari, tidak wajib puasa, zakat, haji
- Menganggap musyrik orang di luar Al-Qiyadah
- Punya rasul baru: Ahmad Mushaddeq bergelar Almasih Almaw’ud
- Syahadat baru: Ashadu ala Illa Ha Ilallah, Wa asyhadu anna Almasih Almaw’ud Rasulullah
Salamullah (Komunitas Eden) Pemimpin: Lia Aminudin Aktif: Sejak 1995 Fatwa sesat MUI: 1997
- Lia mengaku bertemu Jibril, kemudian sebagai Bunda Maria, dan akhirnya sebagai Jibril
- Mengangkat anaknya, Ahmad Mukti, sebagai Nabi Isa
- Mempunyai kitab suci sendiri
Jemaah Ngaji Lelaku Pemimpin: Yusman Roy Aktif: Sejak 2005 Fatwa sesat MUI: 2005
- Salat dalam dua bahasa
Negara Islam Indonesia Fatwa sesat MUI: 2003
- Mengganti salat wajib dengan mencari anggota baru
- Menghalalkan segala cara untuk bisa berinfak ke organisasi
- Mengancam anggota yang mundur
Islam Jamaah Pendiri: Nur Hasan Ubaidah Aktif: 1970-an
- Dilarang pemerintah pada 1971
- Aliran ini berubah nama menjadi Lemkari dan Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) pada 1991
- Menganggap musyrik umat di luar Islam Jamaah
- Pakaian dan tubuh yang tersentuh umat lain harus disucikan
- Tidak mau salat bersama umat di luar kelompok
Al-Quran Suci Fatwa sesat MUI: belum ada
- Tidak mengakui Hadis
- Tidak melakukan kewajiban dalam rukun Islam
- Memisahkan jemaah dari keluarganya
Ahmadiyah Pendiri: Mirza Ghulam Ahmad Aktif: Sejak 1889 di Pakistan, masuk Indonesia 1924 Fatwa sesat MUI: 1980 dan 2005
- Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo