TIDAK seorang pun bisa kaya karena main judi," ucapan klise ini
terdengar mantap dari telepon di ujung sana. Warna suaranya
khas, diseling "hua ha ha" yang juga khas. "I've learned my
lesson, " lanjut Samsi, (bukan nama sebenarnya), bapak dari 10
anak dan kakek dari 12 cucu itu. Arena judi sudah
ditinggalkannya sejak tiga tahun silam. Hartanya tidak sampai
ludes, tapi cukup terkuras.
Baginya judi sudah mendarah-daging. "It is in my blood,"
katanya, lagi-lagi dalam bahasa Inggris. Ia berjudi mula-mula
karena ingin mencoba-coba, tapi akhirnya mencandu.
Sebelum hwa hwe, bahkan jauh sebelum ada NIAC (New International
Amusement Centre) dan Copacabana, Samsi yang mengaku besar dan
tua di Jakarta, sudah kenal judi yang pada mulanya di-backing
baju hijau. Pernah bertobat? "Ou, lebih dari sekali. Tapi main
lagi, ha ha ha. Ya, makan sumpah sendiri."
Samsi tidaklah terlalu kaya, tapi ada saja uangnya untuk
keliling dunia dan berjudi di mana-mana. Dia memperoleh kesan
bahwa Genting Highland, pusat judi di Malaysia itu, horrible,
sedangkan Las Vegas businesslike. Hanya di Jakarta ia menemukan
suasana ramah bersahabat.
Kalau di Macao penjudi boleh memberi tip pada pelayan, di
Jakarta justru dilarang keras. Gara-gara tip yang terlalu besar,
di beberapa tempat judi di luar negeri pernah terjadi
persekongkolan antara penjudi dan karyawan rumah judi. Ketika
akhirnya ketahuan, karyawan serupa itu dipecat, sedangkan
penjudi yang nakal tidak diizinkan lagi menginjakkan kaki di
sana.
Seperti umumnya penjudi, Samsi tidak bersedia mengungkapkan
berapa besar kekalahannya. "Itu relatif," ujarnya mengelak.
"Tapi kalau kalah, saya tidak ngotot. Saya tidak ke rentenir."
Kemudian ia menyitir sebuah peringatan yang terbaca olehnya di
arena judi Macao "Only lose what you can affort to lose." --
kalahlah sekedar kemampuanmu. Sebuah peringatan yang baik, tapi
sulit dilaksanakan.
Memang, tidak sedikit penjudi yang lupa daratan dan jatuh dalam
cengkeraman rentenir. Seorang pemuda yang berasal dari keluarga
usahawan yang tersohor kaya, pernah diserbu rentenir secara
beramai-ramai. Mereka ber"kemah" di pekarangan rumahnya dan
tidak mau pergi sebelum piutang dilunasi.
Tapi Samsi tidak sampai begitu. Kalau kalah ya sudah. Pulang.
Tapi apakah Samsi pernah menang dalam jumlah besar? Tanpa
sedikit pun rasa bangga, penjudi kawakan itu berucap bahwa
menang itu soal biasa. Boleh percaya boleh tidak, ia mengaku
dalam sekali main pernah memungut hasil sebanyak Rp 12 juta.
Bicara tentang uang berjuta-juta sungguh mengasyikkan, apalagi
kalau hisa terkumpul dalam tempo beberapa jam saja. Hassan (juga
bukan nama sesungguhnya) pernah menikmati hal yang sama. Kini ia
lebih banyak senyum jika mengingat masa dulu, masa "kesetanan
judi". Sambil membetulkan letak dasi, direktur yang mengaku
sebagai pengusaha ekonomi lemah itu, mulai bercerita. "Penjudi
hanya bisa menang kalau ia kuat melawan nafsu. Dan punya target.
Juga harus dapat berhenti main pada waktu yang tepat," tuturnya.
Pengalaman mengajarkan pada Hassan bahwa yang disebut hokki itu
mengunjungi penjudi dan bandar secara bergiliran. Nah, kalau
giliran penjudi tiba, katanya, rebutlah ia, segera bawa pulang.
"Jangan tunggu sampai hokki berpindah ke tangan bandar."
Tapi itu tidak mudah. "Setan judi luar biasa pengaruhnya," ujar
Hassan pula. "Saya sampai menghentak-hentakkan kaki ke lantai
supaya mau berdiri."
Lalu, apa yang dimaksudnya dengan target? Hassan tersenyum lagi.
"Seorang penjudi yang baik, harus main dengan modal dan sasaran
tertentu. Misalkan ia ke kasino dengan modal « juta, maka harus
diingat bahwa hanya jumlah sekian itulah yang boleh dihabiskan.
Begitu juga kalau mau menang. Tentukanlah targetnya lebih dulu,
1 juta umpamanya. Kalau target 1 juta sudah tercapai, apa lagi.
Jangan ingin lebih banyak dan jangan tunggu lebih lama. Hassan
mengaku ia mulai berjudi karena iseng.
Dengan perhitungan yang cukup matang itu, tak urung Hassan
tersungkur jua. Memang, kekalahannya tidak banyak, karena
seperti katanya, "modal saya juga tidak seberapa."
Tanpa menyebut-nyebut soal target, Oom Boyke (tak mau disebutkan
nama sebenarnya), dalam garis besarnya sependapat dengan Hassan.
Dalam gaya santai ia memperhatikan bola rolet menggelinding di
piringnya, di Kasino Copacabana, Ancol, Jakarta. "Saya tiap
hari ke sini. Judi sudah jadi mata pencarian saya," katanya
tanpa ragu.
Pengalaman belasan tahun telah mencetak si oom ini menjadi
penjudi tangguh. "Main tidak boleh ngotot. Buat saya, satu hari
bisa menang Rp 50.000, sudah cukup. Langsung berhenti terus
pulang. Tidur bisa enak," katanya. Ia tersenyum. Bagaimana kalau
kalah? "Ya, misalkan modal Rp 100.000. Kalah sebanyak itu, ya
pulang. Besok datang lagi. Fight again," ujarnya dalam gaya
seorang penjudi profesional.
Menurut Oom Boyke resep utama seorang penjudi cuma ini: "Harus
kuat, tahan godaan. Kalau tidak, kita tidak pernah menang." Dia
sudah membuktikannya sendiri. Berkali-kali. Tapi sesudah 1 April
nanti mau main di mana? "Apa macam la," jawabnya tersenyum, "ya
main di rumah." Apa tidak sulit? "Ya memang. dangerous, "
ucapnya datar sambil melihat berkeliling, mencari-cari kursi
black jack yang kosong.
Oom Boyke agaknya tidak punya pilihan lain. Hidupnya sudah
tergantung pada judi. Samsi menyesalkan mengapa Bang Ali tidak
dulu-dulu memindahkan judi ke pulau. "Di sana kan aman."
Sementara Hassan berlagak seolah ingin kembali mengadu nasib.
"Mumpung masih ada waktu 1« bulan lagi," ujarnya setengah
bercanda....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini