Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anies Baswedan
Musim kampanye selalu datang lebih awal dari jadwal. Di kuartal terakhir 2007, beberapa peminat posisi presiden sudah mengumumkan pencalonannya. Politikus dan partai politik sudah bersiap diri untuk pemilihan umum dan pemilihan presiden 2009. Spanduk-spanduk terbentang di jalan. Sembari mengucapkan selamat berlebaran, tersanding foto dan logo partai. Pemilu memang masih jauh, tapi politikus dan partai politik sadar bahwa name recognition and face recognition adalah salah satu kunci meraih suara dalam pemilu.
Meraih suara tinggi di pemilihan langsung seperti di Indonesia ini berarti kampanye panjang dan efektif. Persiapan untuk menghadapi pemilu dan pemilihan presiden itu berdampak pada pemerintahan. Pemerintahan sekarang memiliki political diversity yang menarik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berasal dari partai politik yang berbeda. Dalam kabinet, di samping kalangan profesional, terdapat 17 menteri yang berasal dari 8 partai politik yang bervariasi corak pendukungnya dan garis politiknya.
Kekhawatiran muncul terkait dengan kesamaan visi dan misi mereka ketika mendekati akhir masa jabatannya dan masa pemilu/pemilihan presiden. Di satu sisi, mereka harus menjalankan roda pemerintahan dan menyukseskan agenda pemerintahan yang digariskan Presiden. Wakil Presiden dan para menteri adalah bagian dari sebuah pemerintahan presidensial. Di sisi lain, mereka adalah bagian dari partai politik di mana mereka harus mengikuti garis kebijakan politik partai yang tidak selalu sejalan dengan garis kebijakan pemerintah (Presiden). Dalam jangka pendek, yaitu selama sistem presidensial dioperasikan dalam setting multipartai, belum ada solusi struktural yang bisa dijadikan jalan keluar.
Ada sebuah faktor yang bisa menentukan keberhasilan Presiden menjaga keutuhan kabinet dan mempertahankan koalisi yang dibangun selama ini, yaitu posisi Presiden di mata rakyat pemilih. Bila di mata rakyat pemilih, Presiden Yudhoyono masih tetap menduduki peringkat teratas dan jauh lebih kuat daripada calon presiden lain, kabinet dan koalisi partai cenderung bertahan bersama Presiden Yudhoyono. Jadi, walau ada semangat partisan, koalisi kabinet itu tetap berpotensi untuk solid dan berpotensi untuk berjalan efektif. Apalagi Presiden Yudhoyono sangat berpengalaman dan matang mengelola koalisi yang dibangunnya sejak 2004. Tapi, bila soliditas ini absen, kabinet bisa terurai dalam semangat partisan dan efektivitas pemerintahan akan menurun drastis.
Apakah dengan soliditas kabinet itu berarti efektivitas pemerintah terjamin? Belum tentu. Pola kampanye menghadapi pemilu di Indonesia mensyaratkan kekuatan finansial. Ini realitas politik yang sering enggan dibicarakan secara terbuka dan transparan.
Meskipun bukan tugas saya untuk mengulas aspek finansial partai politik, minimal perlu ada catatan serius tentang hubungan uang dan politik. Kekuatan politik sebagai fungsi kekuatan finansial sesungguhnya adalah ironi dalam demokrasi. Karena itu, regulasi aspek finansial harus menjadi perhatian sangat serius bagi para penyusun desain institusional demokrasi (paket UU politik) bila ingin mencegah kekuatan uang sebagai determinan proses politik dan demokrasi di Indonesia.
Dengan realitas itu dan dengan musim kampanye yang datang lebih awal, pemerintah dan politikus yang berada di pemerintahan pun ”dipaksa” menyiapkan diri. Ini adalah tantangan yang jamak di hampir semua negara demokrasi. Dilemanya adalah di satu sisi mereka harus menjalankan pemerintahan dan di sisi lain mereka harus mendukung usaha partainya masing-masing meraih suara besar dalam pemilu. Dilema ini akan makin menonjol bersamaan dengan makin dekatnya pemilu/pemilihan presiden, misalnya dalam bentuk alokasi waktu kerja dan dana pemerintah.
Publik dan media massa sering lebih menyoroti seputar soal fasilitas negara dan aktivitas kampanye. Padahal, di samping itu, ada potensi problem yang lebih fundamental dan biasanya terjadi pada 1-2 tahun sebelum pemilu/pemilihan presiden, yaitu saat proses penetapan anggaran pemerintah dan badan usaha milik negara. Baik di tingkat nasional maupun lokal, anggaran belanja pemerintah ditetapkan melalui proses politik.
Proses politik tentu sarat dengan muatan politis pula. Selama aktor politik dan partai-partai politik mengedepankan kepentingan rakyat banyak, muatan politik yang tecermin dalam anggaran itu memiliki nuansa positif. Namun, ketika aktor-aktor politik mengedepankan semangat partisan dalam mengatur anggaran negara, anggaran itu bisa menjadi sumber masalah.
Dengan tingginya biaya (finansial) dan masa menjelang pemilu, anggaran pemerintah dan badan-badan usaha milik pemerintah bisa dijadikan ladang perebutan partai politik dan aktor politik. Di sini ada potensi tergesernya misi pemerintahan dari misi nonpartisan menjadi misi partisan. Lebih jauh lagi, apabila muncul kolaborasi calon penyandang dana kampanye dengan partai politik dan aktor politik (baik legislatif maupun eksekutif), anggaran belanja negara dan BUMN (nasional dan daerah) bisa menjadi sarana bagi-bagi ”kue” untuk kepentingan politik partisan.
Bila bagi-bagi ”kue” itu dilakukan untuk rakyat (konstituennya) dalam bentuk program pembangunan (atau yang semacamnya), justifikasi moralnya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Namun, bila bagi-bagi ”kue” itu untuk kalangan partai politik dan aktor politik buat mendanai kegiatan partai, atau kampanye, atau kepentingan pribadi lainnya, bagi-bagi itu adalah langkah yang tidak bisa dipertahankan secara moral.
Partai politik dan aktor politik memang membutuhkan dana. Tapi, apabila partai politik dan aktor politik menggerogoti negara untuk membiayai kegiatan politiknya, ini bisa menjadi awal kemunduran politik dan awal kemunduran ekonomi. Mancur Olson menggambarkan secara jelas dalam buku klasiknya, The Rise and Decline of Nations. Kolaborasi di antara elite berpengaruh (misalnya politikus, birokrat, dan pengusaha) dalam memanfaatkan keuangan negara untuk kepentingan mereka sendiri akan menghancurkan perekonomian negara dan berujung pada kemunduran sebuah bangsa.
Anggaran pemerintah dan BUMN yang alokasinya ditentukan berdasarkan kepentingan finansial partai politik dan pungutan terselubung terhadap pelaku bisnis (swasta)—terutama yang terlibat dalam proyek pemerintah—adalah contoh pemanfaatan institusi negara untuk kepentingan partisan. Ini terjadi bila aktor politik di dewan perwakilan dan kabinet serta lembaga eksekutif di daerah dibebani tugas untuk menjadi penyetor dana buat kepentingan partisan. Cara ini merusak tatanan demokrasi dan good governance. Semangat fund-raising demi meraup suara besar dalam pemilu ini sering terselubung dan luput dari perhatian publik, tapi sangat membahayakan efektivitas pemerintahan.
Demokratisasi itu bukan hanya berbicara tentang akomodasi kebinekaan di masyarakat Indonesia. Demokrasi itu adalah instrumen untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat, berwibawa, dan mampu membawa kemaslahatan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, demokrasi itu bukan cuma soal akomodasi atas input dan proses (kebinekaan aspirasi, kepentingan, problem di masyarakat, dan lain-lain), tapi juga soal delivery atas output (good governance, kebijakan publik, dan lain-lain).
Bisakah para aktor politik—yang terpilih dan diangkat melalui proses demokratis itu—menghadapi pemilu/pemilihan presiden sambil berperilaku nonpartisan? Sanggupkah aktor politik membiarkan institusi negara dan anggarannya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan partisan?
Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, partai politik, dan aktor politik menjelang era pemilu. Aktor politik di pemerintahan dan di dewan perwakilan (pusat dan daerah) bisa saja solid, tapi efektivitas pemerintahan akan melorot, perekonomian bangsa akan menurun, dan kualitas demokrasi akan merosot bila semangat partisan mengalahkan kepentingan bangsa yang lebih luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo