Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu pintar mengundang perhatian media massa. Sebelum bulan puasa, ia menjadi wasit pertandingan sepak bola antara kesebelasan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Pada hari pertama Lebaran, ia mengunjungi para mantan pemimpin negara: Soeharto, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Kalangan politisi menafsirkan langkah-langkah Jusuf Kalla itu sebagai persiapan menghadapi Pemilihan Presiden 2009. Apalagi, ia kemudian juga mengunjungi daerah-daerah dengan baju Ketua Umum Partai Golkar. Di situlah para petinggi Beringin mengusulkan namanya menjadi calon presiden.
Namun, tak banyak modal yang kini dimiliki Jusuf Kalla. Hasil survei berbagai lembaga menunjukkan, popularitasnya masih jauh di bawah tokoh-tokoh lainnya: Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Amien Rais, atau Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Benarkah ia serius untuk berpisah dengan Yudhoyono pada pemilihan dua tahun ke depan? Kepada Tempo, mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di era pemerintahan Megawati itu menjelaskan secara gamblang. Candanya acap kali menghiasi wawancara selama satu jam lebih di Istana Wakil Presiden, Rabu pekan lalu. Berikut petikannya:
Kunjungan Anda saat Lebaran kemarin ke sejumlah mantan pemimpin bangsa untuk persiapan menuju 2009?
Oh, itu silaturahmi, bukan bicara politik. Memang banyak orang surprised karena hal itu jarang dilakukan. Bagi saya, silaturahmi itu hal biasa. Sempat terpikir yang bakalan agak ramai kunjungan ke Pak Harto. Ternyata tidak ada satu pun yang menilai negatif.
Tahun kemarin kan Anda gagal bertemu mereka, tapi kini diterima. Berarti ini isyarat baik?
Begini, tahun lalu itu salahnya karena saya datang pada hari kedua, sebab hari pertama kan saya melayani tamu. Saya minta ke Ibu Megawati, ternyata sudah pergi ke daerah. Lalu Gus Dur ke Jombang. Jadi, mudik semua. Tahun ini karena pada mau mudik, ya jadinya saya lakukan pada hari pertama, sehingga dapat semua.
Apa yang Anda bicarakan dengan Pak Harto?
Nggak banyak. Misalnya, Pak Harto menanyakan, kok dia dituduh punya uang banyak, US$ 15 miliar. ”Saya ini kenapa dikira banyak uang.…”
Saya bilang, gimana Bapak tahu? Dia ternyata pegang remote control, nonton televisi. Saya bilang itu dari media dan LSM. Pemerintah tidak punya bahan untuk itu. Kejaksaan Agung pada zaman Andi Ghalib sudah periksa ke mana-mana, keliling-keliling. Itu klipingan saja. Saya juga bilang kalau dia punya uang sebanyak itu, bagi-bagilah. Langsung dia ketawa.
Pak Harto bisa lancar berkomunikasi?
Bisa berkomunikasi, tapi agak lama. Mungkin sudah agak lupa. Jadi, dia secara kesehatan sudah tidak bisa. Beliau tetap senyum saja. Beliau gemuk, mukanya bagus, putih bersih, tapi bicaranya lamban, misalnya, ”Saudara, saya terima kasih atas kedatangannya.”
Kabarnya dia berpuasa?
Dia puasa juga, cuma satu hari dia kalahnya. Beliau bilang, ”Iya, (waktu itu) saya ada di kamar, tertutup, saya pikir sudah magrib.” Saya bilang itu tidak batal namanya, karena tidak tahu. ”Oh, begitu ya.” Kira-kira jam berapa? ”Jam lima,” katanya. Oh, ya nggak apa-apa karena Bapak tidak tahu.
Dengan Megawati kabarnya susah memulai pembicaraan?
Di rumah Ibu Megawati, kami datang dan langsung duduk. Beliau kan sedang melayani tamu. Kira-kira seperempat jam baru dia datang. Tapi itulah enaknya Idul Fitri, orang tak bisa menolak tamu. Makanya kita tak perlu minta waktu. Orang tak pernah minta waktu saat Lebaran kan? Jadi, saya datang saja. Karena lama ndak ketemu, memang sulit mencari bahan pembicaraan.
Berapa lama Anda merencanakan sederetan kunjungan itu?
Terus terang, kami datang ke Ibu Megawati hanya setengah jam setelah ada rencana. Lalu jadwal kunjungan disusun untuk tokoh lainnya. Ini untuk kebesaran kita semua. Bapak saya mengajarkan silaturahmi harus diperbaiki. Bangsa pun butuh silaturahmi. Sebagai pedagang, saya menganggap seribu kawan itu kurang, satu lawan itu sudah berlebihan.
Anda melaporkan silaturahmi Anda ke Presiden?
Tahun lalu saya bilang, tahun ini juga bilang.
Lapornya sebelum atau sesudah kunjungan?
Pokoknya bilanglah, hehe. Soal kunjungan ke daerah juga saya terangkan. Kami ini bicara terbuka. Saya mengatakan, ”Maaf, Pak Presiden, kala ada masalah seperti itu di luar, wajar saja.” Beliau menjawab, ”Ya wajar, wajar.” Makanya, waktu saya keliling daerah, saya ajak Pak Hadi Utomo, Ketua Umum Partai Demokrat, agar tidak ada salah paham.
Dari hasil survei, publik menilai SBY-JK sebagai pasangan yang kompak, tapi mereka tak ingin Anda tetap berpasangan pada 2009. Apakah Anda cukup kuat maju sendiri?
Banyak orang kuat untuk berdiri sendiri, tapi dalam pemilu lain lagi persoalannya. Terus terang, kami sepakat menjalankan amanah dululah. Nanti, tiga bulan menjelang pemilihan, baru kita sendiri-sendiri. Mohon juga jangan setiap kerja kami dianggap politis. Jadi serba salah, saya pergi ke suatu tempat dianggap politis, tidak pergi dianggap tidak bekerja.
Tapi sebenarnya apakah SBY-JK tetap kompak?
Saya jadi menteri koordinator itu lima tahun bersama beliau. Kami juga sama-sama dipecat oleh Gus Dur. Sebagai menteri koordinator, beliau mengajak saya menyelesaikan masalah Poso, juga Ambon. Aceh juga begitu.
Tahun lalu Anda sempat berselisih soal pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi?
Itu masalah teknis saja. Wajar, karena seakan-akan unit itu boleh panggil menteri. Kalau begitu, tugas menko dan wakil presiden di mana? Itu lalu diperbaiki, bahwa unit kerja tidak boleh panggil menteri. Saya cuma ingin meluruskan agar tidak ada komplikasi tugas. Presiden itu orang yang terbuka dan bisa memahami.
Sulit mengatakan tidak ada persaingan antara JK-SBY. Bahkan untuk mendukung tim nasional sepak bola pun berebut….
Begini, kadang-kadang orang lupa. Saya dulu pengurus PSM. Semua pemain PSSI itu dari PSM, Nurdin Halid pun bekas Ketua PSM. Demikian juga Andi Darussalam dan pelatihnya. Makanya saya datang. Saya datang sebagai kecintaan terhadap bola. Presiden juga pasti ingin menjaga citra pemerintah mengenai bola, jadi dia nonton di stadion. Cuma saya tidak bisa nonton karena aparat keamanan bilang di tempat terbuka kami tidak bisa bersama-sama.
Benarkah Anda serius maju menjadi calon presiden 2009?
Pertanyaannya standar, jadi jawabannya juga standar: belum dipikirkan. Sebagai incumbent memang ada baik dan buruknya. Orang akan mengukur apa yang telah kami lakukan. Presiden dan saya harus berkata, saya telah melakukan banyak hal. Berapa jalan, bandar udara, atau sekolah sudah dibikin? Berapa tingkat pendapatan masyarakat? Berapa jumlah pengangguran dan kemiskinan turun? Berapa ekspor naik? Itu ukuran bagi kami. Tidak ada persiapan dari sekarang, misalnya galang orang, bikin foto banyak, bersalaman.
Tapi bukankah Golkar nantinya keberatan jika Anda tetap menjadi orang nomor dua?
Ya, pasti juga suara-suara itu ada saja, tapi semuanya diputuskan oleh partai pada waktunya. Jangan sekarang, masih terlalu jauh.
Anda dikritik selama memimpin Golkar, gizi untuk daerah kering.
Saya jawab sederhana saja. Benar. Pertama yang terbaik pada zamannya Pak Harto karena ada Yayasan Dakab—uangnya kita tidak tahu, tapi banyak uang. Apa akibatnya? Pak Harto dituntut karena yayasan itu sampai sekarang. Ada yang mau nggak di antara kalian saya mesti dituntut gara-gara uang itu? Pak Akbar masuk tahanan hampir tiga bulan gara-gara isu dana nonbujeter Bulog yang, alhamdulillah, tidak terbukti sehingga bebas. Bayangkan kalau itu terbukti, maka partai bisa dibubarin. Jadi, kalian bekerjalah sesuai dengan kesederhanaan yang ada.
Survei tentang sikap daerah mengenai Anda umumnya menilai baik semua, kecuali Yogyakarta dan Sulawesi Tengah yang agak turun.…
(Tertawa) Sulteng mungkin karena ada kelompok radikal, karena di situ saya bilang tangkap semua. Ada yang bilang, umat Islam teraniaya di Poso. Saya bilang, memangnya kaukira kita bukan umat Islam. Ini salah siapa, kau atau saya? Sampai saya begitu. Saya bilang ke Kapolda dan Kapolres, jangan anggap kau sebagai umat Islam sendirian. Tangkap saja, hantam saja, tembak saja. Tertawa. Langsung setelah itu polisi, wah, senang. Langsung serbu, selesai. Kalau saya tidak bilang begitu, apa jadinya?
Di Makassar, Sulawesi Selatan, rating Anda juga turun, kenapa?
Oh ya? Tapi itu mungkin karena masyarakat sudah lebih terbuka, juga karena ada masalah. Apa saja masalah pusat didemo, didemo ke rumah saya. Kadang-kadang, saya dianggap sebagai representasi pemerintah.
Menurut Anda, isu Jawa-non-Jawa masih relevan pada pemilihan presiden?
Pasti akan berkurang di mana-mana. Kalau saya bertemu dengan tokoh-tokoh Jawa Timur, mereka marah sama saya. Mereka bilang, ”Pak Jusuf, kami tersinggung dengan pernyataan Bapak karena ada anggapan bahwa orang Jawa hanya mau memilih sesama orang Jawa. Artinya Bapak mengatakan orang Jawa itu diskriminatif.” Saya surprised dengan pernyataan itu. Dalam kultur pemilu banyak orang memang tidak mengerti. Sama saja orang di kampung saya, mau apa pun jeleknya saya, pilih Jusuf Kalla ajalah.
Anda memakai hasil survei untuk mengambil langkah politik?
Selama polling itu diambil dengan metode baik, pasti jadi acuan dalam berperilaku, bertindak, dan mengambil kebijakan. Tapi, saya bertindak tidak berdasarkan kriteria populis atau tidak populis. Yang penting tujuannya. Yang penting saya yakin begini cara menyelesaikan masalah. Apa pun you punya komentar, saya tidak peduli. Kalau saya yakin pendidikan bisa bermutu dengan ujian nasional, mau didemo tiap hari pun saya biarin saja.
Kesannya Anda suka melanggar aturan.
Yang tidak bisa diubah itu hanya tiga: Al-Quran, Injil, dan kitab suci lainnya. Konstitusi saja bisa diubah, apalagi kalau hanya keputusan menteri. Kalau ada peraturan menghambat, ya diubah. Kalau tidak begitu, apa bedanya saya dengan eselon tiga yang bekerja berdasarkan peraturan?
Yang harus diperhatikan wakil presiden bukan peraturan, tapi tujuannya. Indonesia ini belantara peraturan. Kalau negara bisa maju karena peraturan, pasti sudah maju negara ini karena begitu banyak peraturan.
Ternyata tidak kan?
Jamak terdengar, Anda berprinsip: lakukan dulu, peraturan belakangan.
Soal kenaikan harga minyak, misalnya. Tadi saya baru ketemu Ical (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie). Dia cerita, dulu menteri berpikir, sadis juga Pak Wapres, masak, mau menaikkan harga minyak tanah tiga kali lipat. Saya tanya ke dia, ”Kenapa kau tidak bilang?” Katanya, ”Mana berani? Karena Bapak sudah pukul meja.” Tapi, sekarang dia baru tahu bahwa kalau dulu tidak kita naikkan harga minyak tanah, hancur kita. Jadi, yang seperti itu banyak. Kelihatan awalnya keras, tapi dibutuhkan. Saya ingin memperbaiki kehidupan rakyat, bukan untuk menyenang-nyenangkan rakyat sementara. Itu tugas saya. Kalau ingin mencari pemimpin yes man, silakan saja. Saya bukan pemimpin yang seperti itu.
Dengan SBY, Anda juga bukan yes man?
Oh tidak. Beliau kan setuju dengan kebijakan-kebijakan yang saya usulkan. Saya menyampaikan ke beliau bahwa suatu kebijakan ini baik.
Misalnya soal Aceh, saya usulkan begini-begini. Saya berjanji akan melaporkan hasilnya setiap pekan. Beliau bilang, ”Jalan.” Saya lalu sodorkan tangan saya ke beliau, ”Shake hand, Pak.” Kami lalu bersalaman.
Sukses Anda menangani perdamaian di Aceh itu kan akhirnya jadi keberhasilan SBY?
Tugas orang nomor dua selalu begitu. Sejak awal saya sadar harus jadi wakil. Orang nomor dua jangan harap popularitas. Saya juga tidak memburu popularitas. Apa pun keberhasilan kami, memang atas nama presiden, bukan wakilnya. Sebaliknya, apa pun kegagalan, walaupun yang bikin menteri, itu tanggung jawab presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo