Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti bangunan lain di Leiden, Rapenburg 61 tak memberikan kesan istimewa. Bangunan berlantai tiga yang berada di kawasan elite di Belanda itu terletak di muka sebuah gracht (kanal) dengan aliran air yang bersih, di jalan sepi dengan satu dua pejalan kaki dan pengendara sepeda. Tak ada yang istimewa. Kecuali satu nama yang terpampang pada pintu masuknya: Snouck Hurgronje Huis. Rumah Snouck Hurgronje.
Nama itu tentu saja menjejakkan sesuatu yang lain di benak kita: "De Atjehers", "Atjeh Verslag". Dia adalah seorang lelaki berjanggut, ideolog politik kolonial Belanda di Indonesia, peletak dasar studi Indologi di Universitas Leiden, seorang Orientalis hebat tetapi sekaligus ilmuwan avonturir yang begitu yakin akan superioritas peradaban Barat.
Pintu utama rumah Rapenburg 61 itu begitu berat, dibuat dari kayu tebal dan tua sekali. Pintu ini dihubungkan dengan sebuah lorong dengan dinding terbuat dari marmer kelabu ke arah taman belakang. "Yang berkait dengan Hurgronje sekarang hanyalah sal sebelah kanan, yang lainnya dipergunakan untuk hal lain," tutur seorang perempuan setengah baya yang pada hari itu tengah bekerja di sal sebelah kiri. "Sal Hurgronje ini sebuah monumen, juga kerap dipakai untuk berbagai pertemuan bagi kepentingan Universitas Leiden," tuturnya kepada TEMPO.
Sal yang ditunjuk itu adalah dua buah ruangan besar yang di sisi kanan berhadapan dengan jendela-jendela tempat panorama kanal langsung menyeruak masuk; pada sisi kirinya berhadapan dengan sebuah taman besar. Sebuah ruang yang terbuka, besar, dan indah. Di sinilah konon dulu Snouck kerap bekerja atau menerima tamu. Ia membeli rumah ini pada 1919 dari Jan Ernst Heeres, Ketua Tweede Kamer (parlemen).
Di ruang utama dengan gaya rococo, sebuah gaya interior Eropa pada pertengahan abad-18, terdapat sebuah meja bulat kayu dengan ornamen pahat di sana-sini. Dikelilingi kursi-kursi, berlapis beludru merah. Bisa dibayangkan bagaimana dulu—bukan tak mungkin di sini—Snouck menjelaskan kesimpulan penelitiannya tentang Aceh. Barangkali di tempat ini pula Christiaan Snouck Hurgronje membuat disertasinya yang terkenal, Het Mekkaansche Feest (1880).
Merambah pada ruangan lain di dalam sal itu, kita dihadapkan pada potret Snouck Hurgronje pada dinding yang disaput warna putih seluruhnya. Potret itu terus bergantung di situ sejak 1930. Pada sisi kanannya terdapat sebuah mimbar kayu tempat seseorang biasa melakukan pidato. Kemudian tepat di depannya, pada sisi dinding yang lain, berdiri satu rak buku yang berisi buku-buku tua dan tebal.
Bersama istri ketiganya, Maria Ida van Oort, Snouck menikmati masa jaya hingga meninggalnya pada 1936 di rumah ini. Pada 1937, ahli waris Snouck menjualnya kepada De Stichting Leids Universiteit Fonds (Yayasan Dana Universitas Leiden). Di sinilah dahulu Oosters Instituut, sebuah lembaga kajian Islam yang didirikan tahun 1972 untuk menghormati 70 tahun Snouck, bermarkas. Lembaga ini sekarang pindah ke kompleks Fakultas Sastra dan Teologi, Witte Singel 25, Leiden, dan kini diketuai Prof. G.J. ter Haar. Setiap tahun lembaga ini menyelenggarakan acara bertajuk Snouck Hurgronje Lecture, yang lazimnya berisi pidato ilmiah atau seminar tentang Islam. Pada 1985, lembaga ini mengadakan acara besar memperingati 100 tahun masuknya Snouck ke Mekah.
Karya-karya besar Snouck Hurgronje terpelihara di perpustakaan utama universitas di Leiden dan juga di lembaga itu. "Saya pernah menemukan juga di perpustakaan utama Leiden satu naskah berjudul Tarjamah Ulama Jawi karya Raden Abu Bakar," kata Azyumardi Azra. Naskah itu, menurut Rektor Universitas Negeri Jakarta ini, berisi riwayat ulama Jawa yang hidup di Mekah pada akhir abad-19. Ia terkejut karena dari naskah itulah Snouck menggunakan banyak bahan tatkala menulis perihal jemaah haji asal Nusantara. "Buku Snouck tentang Mekah tidak menyebut Raden Abu Bakar; dari sudut ilmiah ini tidak bisa dibenarkan," kata Azyumardi.
Untuk menyusun karya utamanya De Atjehers, Snouck banyak menggali bahan dari Dokarim, seorang penyair Aceh yang mengelilingi Aceh mendendangkan Hikajat Prang Kompeuni. Dari cerita lisan Dokarim itulah, Snouck sebenarnya mendapat berbagai informasi, mulai dari permainan anak, adat-istiadat perkawinan, hingga kebiasaan para ulama dan hulubalang. Tapi nama sang penyair tidak disebut dalam magnum opus Snouck itu.
Menurut Dr. J.H. Meuleman, dosen Universitas Leiden dalam rangka Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), dominasi Snouckian dalam kajian Islam di Belanda masih sangat besar, "Terutama bagi Islamolog mapan," katanya. "Para guru besar" ini berpandangan bahwa Islam "yang sebenarnya" adalah Islam sebagaimana terungkap dalam berbagai teks klasik, terutama dalam bidang fikih. Itu sebabnya, program studi kajian Islam dan pengangkatan serta promosi staf pengajar di Universitas Leiden masih terpusat pada keahlian membaca teks-teks klasik, terutama dari Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo