ASSALAMU 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh! . . . Semoga
sirnalah buruk sangka 'kaum reaksioner Indonesia', yang menyebut
Uni Soviet negara tidak bertuhan... "
Ketika Presiden Voroshilov berkunjung ke negeri kita, 1957, ia
membawa seorang tokoh istimewa. Ialah Sharaf Rashidov, presiden
salah satu "republik Islam" Soviet. Di mana-mana, tokoh ini
diperkenalkan Bung Karno dengan cara yang mengesankan. Orannya
memang menarik: tinggi, tampan, selalu tersenyum simpul. Dari
podium, biasanya ia akan melambaikan tangan kepada massa di
bawah -- seraya menyerukan salam seperti di atas.
Islam memang bukan barang baru di Rusia. Sejak 1924, enam buah
"republik Islam" dibentuk dalam pangkuan Uni Republik-Republik
Sosialis Soviet. Yakni: Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgizistan,
Turkmenia, Tajikistan, dan Azerbaijan. Di republik-republik
tersebut, dan di delapan "republik otonom" lain, kaum muslimin
merupakan mayoritas penduduk.
Sampai sekarang pun, melalui pelbagai siaran radio dan
publikasi resmi, Soviet tetap memberi gambaran ramah dn
bersahabat dalam hal kaum muslimin. September tahun lalu
misalnya, sebuah konperensi Islam internasional berlangsung
empat hari di Tasykent, ibukota Republik Kazakhstan.
Konperensi itu dimaksud mengelu-elukan tibanya abad ke-15
Hijriah. Sekaligus membuktikan betapa eloknya itikad Rusia
terhadap masyarakat Islam dan Dunia Ketiga.
Tak lama kemudian, 1 Februari 180, seorang tokoh bernama Dr.
Viktor Bogoslavsky tampil di 'Radio Perdamaian dan Kemajuan'
yang disetir Soviet. Disiarkan dalam bahasa Arab dan Inggris,
terutama untuk para pendengar di Benua Afrika, siaran itu
diantarkan dalam sebuah paket yang berjudul 'Kebangkrutan
Historis Musuh-Musuh Leninisme. Apa ceritanya?.
"Sesungguhnyalah kaum imperialis senantiasa menyebarkan
dusta," ujar Dr. Bogoslavskiy. "Setelah kehilangan posisi
neokolonialisnya di dunia Islam, mereka berusaha melepaskan
negeri-negeri itu dari Uni Soviet maupun negeri sosialis lain.
Dengan demikian negeri-negeri tersebut berjuang sendirian
menghadapi perang dan imperialisme."
Salah satu asas kebijaksanaan Soviet menghadapi negeri-negeri
Islam, menurut Bogoslavskiy, ialah "penghargaan Lenin dan Partai
terhadap Islam sebagai agama, dan bantuan yang senantiasa
diberikan kepada umat Islam dalam mempertahankan nilai-nilai
rohani dan budayanya."
POLITIK luar negeri Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), konon
memang diletakkan pada 'prinsip-prinsip Lenin' tadi. Contohnya?
"Soviet mendukung perjuangan antiimperialis kaum muslimin di
Asia dan Afrika. Berdiri di sisi negeri-negeri Arab sejak Israel
melancarkan agresi. Menyambut revolusi Iran, dan mehyambut
revolusi Afghanistan, tempat para patriot Islam ambil bagian
aktif" ....
Sebelum konperensi Tasykent tersebut, Radio Moskow bahkan sudah
muncul dengan programa khusus. Dua ulama terkemuka Soviet ambil
bagian: Mufti Babakhanov dari Kazakhstan, dan deputinya Yusuf
Khan Shakirov.
Mereka tak lalai mengingatkan: "Sementara kaum muslimin
menyambut abad ke-15 Hijriah penuh harapan, dunia sedang
digeluti pelbagai kericuhan internasional." Umat Islam dihimbau
menggalang persatuan "di bawah petunjuk Al Quran dan Hadits."
Dan berdoa, "semoga Tuhan menjadikan umat Muhammad sebaik-baik
umat di muka bumi." Betapapun ini hanyalah kalimat-kalimat umum
yang bisa diterima muslim yang mana pun.
Sepanjang abad ke-7 dan ke,8, Islam sudah menyebar di belahan
selatan wilayah yang kini dimasukkan ke Uni Soviet itu.
Secarapesat agama ini merembes memenuhi tanah-tanah oasis Asia
Tengah. Tapi baru mencapai stepa Kazakhstan sekitar abad ke 15
-- saat yang sama dengan zaman hidupnya para wali di Indonesia.
Di bagian barat, gerakan pasukan Arab mencapai wilayah
Transkaukasia, pada pertengahan abad ke-7. Dan sepanjang invasi
Mongol pada abad ke 13 dan ke-14, agama slam berkembang ke arah
utara: wilayah Kaukasus, sekitar Sungai Wolga dan Pegunungan
Ural.
Masyarakat Islam pertama yang terjerembab ke dalam kekuasaan
Rusia ialah kelompok Kazan dan Astrakhan -- di sekitar
pertengahan abad ke 16. Tahun 1870-an seluruh wilayah mereka
sudah diperintah orang Rus.
Dan sejak pertengahan abad ke-18, kekuasaan orang putih itu
mencapai wilayah-wilayah stepa lain. Dengan merebut Tasykent,
1865, perluasan kuasa Rusia sampai ke perbatasan Cina,
Afghanistan dan Iran -- hampir' tidak terbendung. Kecuali
Bukhara dan Khiva, yang berstatus setengah merdeka sampai 1921,
pengaruh Rus di Asia Tengah sudah melembaga sejak 1884.
Tapi selama itu pula sejarah kaum muslimin di wilayah tersebut
tak pernah sepi dari gejolak. Perlawanan mereka terhadap
dominasi Rusia bermula sejak abad ke-16 -- jauh sebelum kaum
Bolsjewik menegakkan kekuasaan Soviet.
Memang perlawanan tersebut hampir tak pernah terkoordinasi. Tak
pula ada kelompok yang sanggup bertahan dalam waktu panjang.
Banyak pemimpin suku, sultan dan khan yang saling memerangi,
sehingga musuh pokok menjadi tak jelas.
Komunikasi payah. Senjata serba terbelakang. Gaya hidup yang
setengah mengembara juga tidak banyak membantu. Harya Turkmenia
yang sering dipuji karena aksi-aksinya yang tangguh.
Tokoh terkemuka dalam menghadapi invasi Rusia ke Kaukasus, ialah
Sheikh Shamil -- salah seorang pemimpin kaum Dagestan. Berbagai
pasukan yang berada di bawah perintahnya mampu membendung
serangan Rusia tak kurang dari 30 tahun lamanya. Kemudian pada
1895 sheikh itu ditangkap. Api pun redup perlahan-lahan.
Namun, kehidupan di wilayah yang kini sering dinamakan 'Asia
Soviet' itu tak lebih jelek ketimbang di bagian 'Eropa Soviet'.
Mereka, betapapun, tak pernah dikenai wajib militer-sampai 1916.
Pada tahun itulah, terjadi huru-hara cukup besar. Bermula dari
dekrit kekaisaran yang menghalau 450 ribu kawut ke dalam
gelombang kerja paksa ke hutan-hutan Eropa Rusia. Tapi kaum
muslimin tidak bersedia.
Dan pemberontakan pun berkobar di seantero Turkestan dan wilayah
stepa. Tak sedikit nyawa dan harta musnah. Pihak Rusia
kehilangan hampir empat ribu orang. Korban di antara kaum
muslimin ,memang tidak dicatat. Tapi jumlahya-tentu luar biasa.
Maka tatkala kekuasaan Tsar digulingkan kaum Bolsewik, 1917,
muslimin Asia Tengah *mpir bertepuk tangan. Apalagi pmerintah
baru itu menjanjikan "keprcayaan, adat-istiadat, dan
lembaga-lembaga kebudayaan dan nasional Islam dinyatakan bebas
dan tidak boleh diganggu-gugat."
Tapi bahwa sejak semula Partai Komunis memandang Islam sebagai
bahaya besar, tentu sudah diketahui. Majajah Arabia: The Islamic
World Review edisi Februari misalnya, mengutip fatwa' hriedrich
Engels -- yang bersama Mar merupakan 'bapak rohani' revolusi
proletar sepanjang masa.
"Revolusi keagamaan yang dilancarkan Muhammad," demikian konon
ujar Engels, "seperti halnya setiap gerakan keagamaan, adalah
reaksioner!". Bahkan, kata Review, Partai Komunis sejak semula
memandang Islam "lebih berbahaya dibanding cabang Kristen yang
mana pun." Jangan terkejut. Di dalam negeri Soviet sendiri,
memang belum pernah ada usaha menggambarkan Lenin misalnya,
sebagai sahabat kaum beriman....
Maka dapat dipahami, bila dua tahun setelah kemenangan revolusi
proletar, kaum muslimin Asia Tengah sudah mulai melancarkan
perlawanan. Sebuah gerakan gerilya yang dinamakan Pemberontakan
Basmachi, berkobar 1919-1924. Tentara Merah cepat bertindak
Pembangkangan segera ditumpas. Menyusul kemudian pembentukan
beberapa "republik Islam".
Dan tahap berikutnya, langkah Soviet terhadap masyarakat Islam
makin terarah. Mulai dari mengeroposkan lembaga-lembaga
fundamental seperti wakaf, waris, tata syariat lain, sampai
pengajian dan adat-istiadat. Banyak masjid disegel. Kaum hawa
dipaksa mempertontonkan wajah atau rambut yang semula bercadar.
Menziarahi tempat suci, di luar wilayah Soviet, dilarang.
Apalagi menjelang akhir 1930-an -- ketika 'periode pengilmiahan'
digalakkan. Baru setelah Uni Soviet terjun ke dalam kancah
Perang Dunia II, kampanye anti-lslam agak mengendur. Itu pun
sementara.
Selama perang itu memang banyak orang Islam Soviet yang minggat
dari wajib militer. Celakanya: sebagian ditangkap Jerman -- dan
dipaksa berjuang di pihak mereka.
Maka setelah Jerman takluk, lebih satu juta muslimin digiring
Rusia ke Siberia dan Asia Tengah. Mereka dituduh "bersekongkol
dengan musuh." Baru pada 1956 diizinkan kembali ke kampung
halaman. Kecuali suku muslim Tartar dari Semenanjung Krim.
Mereka masih bermukim di Siberia.
Kaum ini dihalau ke sana tahun 1944 oleh Stalin, yang memang
terkenal "cepat bertindak". Mereka dikenai dakwaan membantu Nazi
-- sudah tentu tanpa sidang pengadilan.
Tapi perlawanan suku ini tak pernah padam. Di antara mereka
tampil pemimpin silih berganti. Salah seorang: Mustafa Dzhemilev
-- yang sampai sekarang merupakan simbol perjuangan hak asasi
kaum Tartar Semenanjung Krim.
Baru berusia 37 tahun Mustafa sudah kenyang keluar-masuk bui.
Empat kali ia disidangkan -- antara lain dengan tuduhan palsu.
Delapan tahun meringkuk dalam tahanan. "Tapi sementara serdadu
Soviet berhadapan dengan perang gerilya gaya Vietnam di
Afghanistan, dan pembangkangan kaum buruh di Polandia," Review
menilai setengah juta orang Tartar ini merupakan "tantangan
dalam negeri yang dihadapi Kremlin."
Tujuan perjuangan Mustafa sebetulnya sederhana. Bagai Musa yang
memboyong umat Yahudi keluar dari Mesir di zaman purba, ia
bercita-cita membawa kaumnya kembali ke kampung leluhur mereka,
Semenanjung Krim tercinta. Tentu bukan dengan cara berbondong
berjalan kaki seperti dalam kisah Exodus.
Dan dukungan terhadap tuntutan mereka ini ternyata tidak
sedikit. Berbagai surat sudah dilayangkan ke PBB, dari
tokoh-tokoh pemerintahan dan perorangan di pelbagai bagian
dunia. Salah satu komisi Kongres Amerika Serikat, awal tahun
ini, bahkan menyampaikan laporan mengenai 40 tahun pengucilan
Tartar Krim ini oleh pemerintah Soviet.
Pembangkang Soviet terkemuka, Andrei Sakharov, yang bermukim di
luar negeri, juga berulangkali mengirim surat perihal nasib
Mustafa Dzemilev beserta umatnya. Untuk itu ia menghimbau Sekjen
PBB Kurt Waldheim, Amnesti Internasional yang berpusat di
London, serta beberapa pemerintah negara Islam. Tahun lalu
Sakharov bahkan langsung menyurati Leonid Brezhnev. Hasilnya
belum tampak, tentu.
Lenin sebetulnya pernah mengeluarkan kredit membentuk pemerintah
otonomi Republik Krim, 1921. Tapi sepeninggalnya, Stalin yang
suka main babat tidak ambil peduli.
Tatkala kaum itu dihalau dari Semenanjung Krim, Mustafa baru
berumur setahun. Dan berangkat dewasa ia tak lagi bisa berdamai
dengan "hukuman" yang ditanggung kaumnya itu.
Pertama kali, Mustafa mengemukakan niatnya meninggalkan Soviet.
Kedua orangtuanya keberatan. Tapi belakangan, ayah dan ibu
sendiri semakin tak tahan melihat nasib sang anak yang
bolak-balik dimintai keterangan pihak berwajib -- dan
"diamankan". Akhirnya kedua orangtua itu memohon kepada
Brezhnev. "Sudilah kiranya anda mengizinkan putra kami pindah ke
luar negeri, agar kami dapat meninggal dengan damai. Kami tak
tahan menyaksikan penanggungan Mustafa," tulis orang tua itu.
Dan tahun lalu Mustafa melepaskan kewarganegaraan Soviet. Tidak
berarti ia melupakan kampung halaman. "Saya tetap berjuang agar
bangsa kami kembali ke Semenanjung Krim, untuk menegakkan sebuah
pemerintahan nasional," seru pembangkang itu. Entah bagaimana
caranya.
Apa yang disebut "republik Islam", dalam kekuasaan Soviet,
sesungguhnya hanya nama. Soal-soal pokok seperti politik luar
negeri, keamanan dalam dan luar negeri, kebijaksanaan ekonomi,
sepenuhnya dikontrol Moskow-seperti juga ditulis Review.
Hebatnya, dalam setiap "republik Islam" terdapat Partai
Komunis-yang tentu saja merupakan bagian tak terpisahkah dari
PKUS, yang bermarkas di Kremlin. Di situ memang orang beragama
Islam pun duduk, tapi sekretaris pertama atau kedua selalu tokoh
nonmuslim. Biasanya orang Rus. Dan apa yang tinggal kini,
sementara di hampir semua sektor perlawanan kaum muslimin
dipatahkan?
Negeri-negeri 'Asia Soviet' bukan belahan bumi yang terlalu jauh
bagi dunia muslimin selebihnya. lmam Bukhari, sarjana terbesar
Hadits dan 'Bapak' bagi sumber ke-2 syari'at Islam itu, mendapat
namanya dari Kota Bukhara di kawasan tersebut. Kota Samarkand
dalam pada itu pernah jadi salah satu pusat agama dan budaya
Islam. Ke sini pernah singgah Imam Syafi'i, mistikus terbesar Al
Ghazali, penegak tarekat Abdul Qadir Jailani, sampai astronom
dan penyair klasik Persia Omar Khayam.
'Asia Sovieti memang salah satu sumber kekayaan rohani seperti
yang bisa diusut dalam kitah-kitab klasik. Astronomi misalnya,
yang diberi nama Ilmu Falak dan Hisab, vak yang bisa dituntut
di pesantren sampai kini (dan yang digunakan buat menghitung
gerhana, tanggal-tanggal puasa dan lebaran misalnya), tetap saja
warisan dari kawasan Soviet -- dari sarjana Islam Ulug Bek putra
Timurleng dari Samarkand.
DAN bahwa kawasan luas ini suka bergolak, digambarkan dalam
tradisi syair-syair mereka sendiri. Ada pula misalnya novel
semacam Haji Murad, tentang perlawanan salah seorang tokoh
mereka, karya pengarang klasik Pushkin.
Etnis maupun kultural, penduduk 'Asia Soviet' umumnya satu
kelompok dengan rumpun Persia dan Turki, seperti juga misalnya
orang Afghanistan. Itulah pula konon sebabnya revolusi di Iran
membuat Soviet khawatir-terhadap kemungkinan "perembesan".
Sebagian pengamat menyimpulkan bahwa invasi Soviet ke
Afghanistan juga punya hubungan dengan situasi tersebut.
Tapi 'Asii Soviet' juga tanah air satu tarekat kesufian yang
populer dengan nama Naqsyabandiyah. Baik di tanah asalnya,
maupun di Indonesia, inilah ordo terbesar -- yang di negeri
kita hanya mendapat saingan dari Qadiriyah, tarekat warisan
Abdul Qadir Jailani, Baghdad.
Naqsyabandiyah, yang juga dikenal sebagai Shiddiqiyah (dari nama
Abubakar Shiddiq, mertua Nabi Muhammad dan sahabat beliau paling
utama, tokoh yang dijadikan nisbah tarekat), didirikan oleh Syah
Naqsyabandi. Ia lahir dan hidup sekitar abad ke-14 di wilayah
yang sekarang menjadi Soviet Uzbekistan.
Dan bila perjuangan fisik harus mendapat dukungan, atau
alternatif lain sebagai petarian, maka tarekat mistik seperti
ditunjukkan oleh sejarah Islam -- akan selalu menyediakan diri.
Dan itulah pula yang terjadi di kalangan muslimin Soviet kini.
Bergerak secara rahasia, dengan disiplin ketat yang diberi
sanksi moral dan agama, kelompok-kelompok Naqsyabandi
terpencar-pencar dalam kesatuan yang lebih kecil. Lebih bersifat
gerakan menata diri ke dalam - sambil kalau perlu menggunakan
prinsip yang dipakai orang Syi'ah dalam keadaan tertindas:
taqiyyah. Yakni prinsip 'lain luar lain dalam.
Betapa sebuah keyakinan, sebuah agama, yang diguncang selama
belasan abad, di bawah sebuah rezim yang sama sekali tidak
toleran, dengan itu diusahakan bertahan. Dan betapa mereka
memelihara akar dan menumbuhkannya diam-diaman. Barangkali
mereka memang hanya berzikir -- berzikir diam-diam di seluruh
negeri. Tetapi, hanya Tuhan yang tahu tak adakah kekuatan di
balik zikir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini