Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Zikir di belakang tirai besi

Kaum muslimin di uni soviet & tekanan-tekanan yang dialami oleh kaum muslimin di soviet. sejak 1924, 6 buah "republik islam" dibentuk dalam pangkuan uni republik-republik sosialis soviet.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASSALAMU 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh! . . . Semoga sirnalah buruk sangka 'kaum reaksioner Indonesia', yang menyebut Uni Soviet negara tidak bertuhan... " Ketika Presiden Voroshilov berkunjung ke negeri kita, 1957, ia membawa seorang tokoh istimewa. Ialah Sharaf Rashidov, presiden salah satu "republik Islam" Soviet. Di mana-mana, tokoh ini diperkenalkan Bung Karno dengan cara yang mengesankan. Orannya memang menarik: tinggi, tampan, selalu tersenyum simpul. Dari podium, biasanya ia akan melambaikan tangan kepada massa di bawah -- seraya menyerukan salam seperti di atas. Islam memang bukan barang baru di Rusia. Sejak 1924, enam buah "republik Islam" dibentuk dalam pangkuan Uni Republik-Republik Sosialis Soviet. Yakni: Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgizistan, Turkmenia, Tajikistan, dan Azerbaijan. Di republik-republik tersebut, dan di delapan "republik otonom" lain, kaum muslimin merupakan mayoritas penduduk. Sampai sekarang pun, melalui pelbagai siaran radio dan publikasi resmi, Soviet tetap memberi gambaran ramah dn bersahabat dalam hal kaum muslimin. September tahun lalu misalnya, sebuah konperensi Islam internasional berlangsung empat hari di Tasykent, ibukota Republik Kazakhstan. Konperensi itu dimaksud mengelu-elukan tibanya abad ke-15 Hijriah. Sekaligus membuktikan betapa eloknya itikad Rusia terhadap masyarakat Islam dan Dunia Ketiga. Tak lama kemudian, 1 Februari 180, seorang tokoh bernama Dr. Viktor Bogoslavsky tampil di 'Radio Perdamaian dan Kemajuan' yang disetir Soviet. Disiarkan dalam bahasa Arab dan Inggris, terutama untuk para pendengar di Benua Afrika, siaran itu diantarkan dalam sebuah paket yang berjudul 'Kebangkrutan Historis Musuh-Musuh Leninisme. Apa ceritanya?. "Sesungguhnyalah kaum imperialis senantiasa menyebarkan dusta," ujar Dr. Bogoslavskiy. "Setelah kehilangan posisi neokolonialisnya di dunia Islam, mereka berusaha melepaskan negeri-negeri itu dari Uni Soviet maupun negeri sosialis lain. Dengan demikian negeri-negeri tersebut berjuang sendirian menghadapi perang dan imperialisme." Salah satu asas kebijaksanaan Soviet menghadapi negeri-negeri Islam, menurut Bogoslavskiy, ialah "penghargaan Lenin dan Partai terhadap Islam sebagai agama, dan bantuan yang senantiasa diberikan kepada umat Islam dalam mempertahankan nilai-nilai rohani dan budayanya." POLITIK luar negeri Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), konon memang diletakkan pada 'prinsip-prinsip Lenin' tadi. Contohnya? "Soviet mendukung perjuangan antiimperialis kaum muslimin di Asia dan Afrika. Berdiri di sisi negeri-negeri Arab sejak Israel melancarkan agresi. Menyambut revolusi Iran, dan mehyambut revolusi Afghanistan, tempat para patriot Islam ambil bagian aktif" .... Sebelum konperensi Tasykent tersebut, Radio Moskow bahkan sudah muncul dengan programa khusus. Dua ulama terkemuka Soviet ambil bagian: Mufti Babakhanov dari Kazakhstan, dan deputinya Yusuf Khan Shakirov. Mereka tak lalai mengingatkan: "Sementara kaum muslimin menyambut abad ke-15 Hijriah penuh harapan, dunia sedang digeluti pelbagai kericuhan internasional." Umat Islam dihimbau menggalang persatuan "di bawah petunjuk Al Quran dan Hadits." Dan berdoa, "semoga Tuhan menjadikan umat Muhammad sebaik-baik umat di muka bumi." Betapapun ini hanyalah kalimat-kalimat umum yang bisa diterima muslim yang mana pun. Sepanjang abad ke-7 dan ke,8, Islam sudah menyebar di belahan selatan wilayah yang kini dimasukkan ke Uni Soviet itu. Secarapesat agama ini merembes memenuhi tanah-tanah oasis Asia Tengah. Tapi baru mencapai stepa Kazakhstan sekitar abad ke 15 -- saat yang sama dengan zaman hidupnya para wali di Indonesia. Di bagian barat, gerakan pasukan Arab mencapai wilayah Transkaukasia, pada pertengahan abad ke-7. Dan sepanjang invasi Mongol pada abad ke 13 dan ke-14, agama slam berkembang ke arah utara: wilayah Kaukasus, sekitar Sungai Wolga dan Pegunungan Ural. Masyarakat Islam pertama yang terjerembab ke dalam kekuasaan Rusia ialah kelompok Kazan dan Astrakhan -- di sekitar pertengahan abad ke 16. Tahun 1870-an seluruh wilayah mereka sudah diperintah orang Rus. Dan sejak pertengahan abad ke-18, kekuasaan orang putih itu mencapai wilayah-wilayah stepa lain. Dengan merebut Tasykent, 1865, perluasan kuasa Rusia sampai ke perbatasan Cina, Afghanistan dan Iran -- hampir' tidak terbendung. Kecuali Bukhara dan Khiva, yang berstatus setengah merdeka sampai 1921, pengaruh Rus di Asia Tengah sudah melembaga sejak 1884. Tapi selama itu pula sejarah kaum muslimin di wilayah tersebut tak pernah sepi dari gejolak. Perlawanan mereka terhadap dominasi Rusia bermula sejak abad ke-16 -- jauh sebelum kaum Bolsjewik menegakkan kekuasaan Soviet. Memang perlawanan tersebut hampir tak pernah terkoordinasi. Tak pula ada kelompok yang sanggup bertahan dalam waktu panjang. Banyak pemimpin suku, sultan dan khan yang saling memerangi, sehingga musuh pokok menjadi tak jelas. Komunikasi payah. Senjata serba terbelakang. Gaya hidup yang setengah mengembara juga tidak banyak membantu. Harya Turkmenia yang sering dipuji karena aksi-aksinya yang tangguh. Tokoh terkemuka dalam menghadapi invasi Rusia ke Kaukasus, ialah Sheikh Shamil -- salah seorang pemimpin kaum Dagestan. Berbagai pasukan yang berada di bawah perintahnya mampu membendung serangan Rusia tak kurang dari 30 tahun lamanya. Kemudian pada 1895 sheikh itu ditangkap. Api pun redup perlahan-lahan. Namun, kehidupan di wilayah yang kini sering dinamakan 'Asia Soviet' itu tak lebih jelek ketimbang di bagian 'Eropa Soviet'. Mereka, betapapun, tak pernah dikenai wajib militer-sampai 1916. Pada tahun itulah, terjadi huru-hara cukup besar. Bermula dari dekrit kekaisaran yang menghalau 450 ribu kawut ke dalam gelombang kerja paksa ke hutan-hutan Eropa Rusia. Tapi kaum muslimin tidak bersedia. Dan pemberontakan pun berkobar di seantero Turkestan dan wilayah stepa. Tak sedikit nyawa dan harta musnah. Pihak Rusia kehilangan hampir empat ribu orang. Korban di antara kaum muslimin ,memang tidak dicatat. Tapi jumlahya-tentu luar biasa. Maka tatkala kekuasaan Tsar digulingkan kaum Bolsewik, 1917, muslimin Asia Tengah *mpir bertepuk tangan. Apalagi pmerintah baru itu menjanjikan "keprcayaan, adat-istiadat, dan lembaga-lembaga kebudayaan dan nasional Islam dinyatakan bebas dan tidak boleh diganggu-gugat." Tapi bahwa sejak semula Partai Komunis memandang Islam sebagai bahaya besar, tentu sudah diketahui. Majajah Arabia: The Islamic World Review edisi Februari misalnya, mengutip fatwa' hriedrich Engels -- yang bersama Mar merupakan 'bapak rohani' revolusi proletar sepanjang masa. "Revolusi keagamaan yang dilancarkan Muhammad," demikian konon ujar Engels, "seperti halnya setiap gerakan keagamaan, adalah reaksioner!". Bahkan, kata Review, Partai Komunis sejak semula memandang Islam "lebih berbahaya dibanding cabang Kristen yang mana pun." Jangan terkejut. Di dalam negeri Soviet sendiri, memang belum pernah ada usaha menggambarkan Lenin misalnya, sebagai sahabat kaum beriman.... Maka dapat dipahami, bila dua tahun setelah kemenangan revolusi proletar, kaum muslimin Asia Tengah sudah mulai melancarkan perlawanan. Sebuah gerakan gerilya yang dinamakan Pemberontakan Basmachi, berkobar 1919-1924. Tentara Merah cepat bertindak Pembangkangan segera ditumpas. Menyusul kemudian pembentukan beberapa "republik Islam". Dan tahap berikutnya, langkah Soviet terhadap masyarakat Islam makin terarah. Mulai dari mengeroposkan lembaga-lembaga fundamental seperti wakaf, waris, tata syariat lain, sampai pengajian dan adat-istiadat. Banyak masjid disegel. Kaum hawa dipaksa mempertontonkan wajah atau rambut yang semula bercadar. Menziarahi tempat suci, di luar wilayah Soviet, dilarang. Apalagi menjelang akhir 1930-an -- ketika 'periode pengilmiahan' digalakkan. Baru setelah Uni Soviet terjun ke dalam kancah Perang Dunia II, kampanye anti-lslam agak mengendur. Itu pun sementara. Selama perang itu memang banyak orang Islam Soviet yang minggat dari wajib militer. Celakanya: sebagian ditangkap Jerman -- dan dipaksa berjuang di pihak mereka. Maka setelah Jerman takluk, lebih satu juta muslimin digiring Rusia ke Siberia dan Asia Tengah. Mereka dituduh "bersekongkol dengan musuh." Baru pada 1956 diizinkan kembali ke kampung halaman. Kecuali suku muslim Tartar dari Semenanjung Krim. Mereka masih bermukim di Siberia. Kaum ini dihalau ke sana tahun 1944 oleh Stalin, yang memang terkenal "cepat bertindak". Mereka dikenai dakwaan membantu Nazi -- sudah tentu tanpa sidang pengadilan. Tapi perlawanan suku ini tak pernah padam. Di antara mereka tampil pemimpin silih berganti. Salah seorang: Mustafa Dzhemilev -- yang sampai sekarang merupakan simbol perjuangan hak asasi kaum Tartar Semenanjung Krim. Baru berusia 37 tahun Mustafa sudah kenyang keluar-masuk bui. Empat kali ia disidangkan -- antara lain dengan tuduhan palsu. Delapan tahun meringkuk dalam tahanan. "Tapi sementara serdadu Soviet berhadapan dengan perang gerilya gaya Vietnam di Afghanistan, dan pembangkangan kaum buruh di Polandia," Review menilai setengah juta orang Tartar ini merupakan "tantangan dalam negeri yang dihadapi Kremlin." Tujuan perjuangan Mustafa sebetulnya sederhana. Bagai Musa yang memboyong umat Yahudi keluar dari Mesir di zaman purba, ia bercita-cita membawa kaumnya kembali ke kampung leluhur mereka, Semenanjung Krim tercinta. Tentu bukan dengan cara berbondong berjalan kaki seperti dalam kisah Exodus. Dan dukungan terhadap tuntutan mereka ini ternyata tidak sedikit. Berbagai surat sudah dilayangkan ke PBB, dari tokoh-tokoh pemerintahan dan perorangan di pelbagai bagian dunia. Salah satu komisi Kongres Amerika Serikat, awal tahun ini, bahkan menyampaikan laporan mengenai 40 tahun pengucilan Tartar Krim ini oleh pemerintah Soviet. Pembangkang Soviet terkemuka, Andrei Sakharov, yang bermukim di luar negeri, juga berulangkali mengirim surat perihal nasib Mustafa Dzemilev beserta umatnya. Untuk itu ia menghimbau Sekjen PBB Kurt Waldheim, Amnesti Internasional yang berpusat di London, serta beberapa pemerintah negara Islam. Tahun lalu Sakharov bahkan langsung menyurati Leonid Brezhnev. Hasilnya belum tampak, tentu. Lenin sebetulnya pernah mengeluarkan kredit membentuk pemerintah otonomi Republik Krim, 1921. Tapi sepeninggalnya, Stalin yang suka main babat tidak ambil peduli. Tatkala kaum itu dihalau dari Semenanjung Krim, Mustafa baru berumur setahun. Dan berangkat dewasa ia tak lagi bisa berdamai dengan "hukuman" yang ditanggung kaumnya itu. Pertama kali, Mustafa mengemukakan niatnya meninggalkan Soviet. Kedua orangtuanya keberatan. Tapi belakangan, ayah dan ibu sendiri semakin tak tahan melihat nasib sang anak yang bolak-balik dimintai keterangan pihak berwajib -- dan "diamankan". Akhirnya kedua orangtua itu memohon kepada Brezhnev. "Sudilah kiranya anda mengizinkan putra kami pindah ke luar negeri, agar kami dapat meninggal dengan damai. Kami tak tahan menyaksikan penanggungan Mustafa," tulis orang tua itu. Dan tahun lalu Mustafa melepaskan kewarganegaraan Soviet. Tidak berarti ia melupakan kampung halaman. "Saya tetap berjuang agar bangsa kami kembali ke Semenanjung Krim, untuk menegakkan sebuah pemerintahan nasional," seru pembangkang itu. Entah bagaimana caranya. Apa yang disebut "republik Islam", dalam kekuasaan Soviet, sesungguhnya hanya nama. Soal-soal pokok seperti politik luar negeri, keamanan dalam dan luar negeri, kebijaksanaan ekonomi, sepenuhnya dikontrol Moskow-seperti juga ditulis Review. Hebatnya, dalam setiap "republik Islam" terdapat Partai Komunis-yang tentu saja merupakan bagian tak terpisahkah dari PKUS, yang bermarkas di Kremlin. Di situ memang orang beragama Islam pun duduk, tapi sekretaris pertama atau kedua selalu tokoh nonmuslim. Biasanya orang Rus. Dan apa yang tinggal kini, sementara di hampir semua sektor perlawanan kaum muslimin dipatahkan? Negeri-negeri 'Asia Soviet' bukan belahan bumi yang terlalu jauh bagi dunia muslimin selebihnya. lmam Bukhari, sarjana terbesar Hadits dan 'Bapak' bagi sumber ke-2 syari'at Islam itu, mendapat namanya dari Kota Bukhara di kawasan tersebut. Kota Samarkand dalam pada itu pernah jadi salah satu pusat agama dan budaya Islam. Ke sini pernah singgah Imam Syafi'i, mistikus terbesar Al Ghazali, penegak tarekat Abdul Qadir Jailani, sampai astronom dan penyair klasik Persia Omar Khayam. 'Asia Sovieti memang salah satu sumber kekayaan rohani seperti yang bisa diusut dalam kitah-kitab klasik. Astronomi misalnya, yang diberi nama Ilmu Falak dan Hisab, vak yang bisa dituntut di pesantren sampai kini (dan yang digunakan buat menghitung gerhana, tanggal-tanggal puasa dan lebaran misalnya), tetap saja warisan dari kawasan Soviet -- dari sarjana Islam Ulug Bek putra Timurleng dari Samarkand. DAN bahwa kawasan luas ini suka bergolak, digambarkan dalam tradisi syair-syair mereka sendiri. Ada pula misalnya novel semacam Haji Murad, tentang perlawanan salah seorang tokoh mereka, karya pengarang klasik Pushkin. Etnis maupun kultural, penduduk 'Asia Soviet' umumnya satu kelompok dengan rumpun Persia dan Turki, seperti juga misalnya orang Afghanistan. Itulah pula konon sebabnya revolusi di Iran membuat Soviet khawatir-terhadap kemungkinan "perembesan". Sebagian pengamat menyimpulkan bahwa invasi Soviet ke Afghanistan juga punya hubungan dengan situasi tersebut. Tapi 'Asii Soviet' juga tanah air satu tarekat kesufian yang populer dengan nama Naqsyabandiyah. Baik di tanah asalnya, maupun di Indonesia, inilah ordo terbesar -- yang di negeri kita hanya mendapat saingan dari Qadiriyah, tarekat warisan Abdul Qadir Jailani, Baghdad. Naqsyabandiyah, yang juga dikenal sebagai Shiddiqiyah (dari nama Abubakar Shiddiq, mertua Nabi Muhammad dan sahabat beliau paling utama, tokoh yang dijadikan nisbah tarekat), didirikan oleh Syah Naqsyabandi. Ia lahir dan hidup sekitar abad ke-14 di wilayah yang sekarang menjadi Soviet Uzbekistan. Dan bila perjuangan fisik harus mendapat dukungan, atau alternatif lain sebagai petarian, maka tarekat mistik seperti ditunjukkan oleh sejarah Islam -- akan selalu menyediakan diri. Dan itulah pula yang terjadi di kalangan muslimin Soviet kini. Bergerak secara rahasia, dengan disiplin ketat yang diberi sanksi moral dan agama, kelompok-kelompok Naqsyabandi terpencar-pencar dalam kesatuan yang lebih kecil. Lebih bersifat gerakan menata diri ke dalam - sambil kalau perlu menggunakan prinsip yang dipakai orang Syi'ah dalam keadaan tertindas: taqiyyah. Yakni prinsip 'lain luar lain dalam. Betapa sebuah keyakinan, sebuah agama, yang diguncang selama belasan abad, di bawah sebuah rezim yang sama sekali tidak toleran, dengan itu diusahakan bertahan. Dan betapa mereka memelihara akar dan menumbuhkannya diam-diaman. Barangkali mereka memang hanya berzikir -- berzikir diam-diam di seluruh negeri. Tetapi, hanya Tuhan yang tahu tak adakah kekuatan di balik zikir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus