Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kopiah kecil ew

Majelis hakim pengadilan jakarta pusat membebaskan endang wijaya dari tuduhan subversi & korupsi. sebelumnya ia dituntut hukuman 17 tahun & denda rp 30 juta. (hk)

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA sidang ke 131 -- yang makan waktu lebih dua tahun -- vonis pun jatuh. Keputusannya? "Lebih besar kepala dari kopiah," komentar Jaksa Anas Bhisma. Kena 10 tahun penjara kata Penuntut Umum itu, Endang Wijaya hanya dipersalahkan melakukan serangkaian pemalsuan dan menyuap pejabat negara. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat -- yang menjatuhkan hukuman seberat itu bagi terdakwa Perkara Pluit minggu lalu memang membebaskan Endang Wijaya dari tuduhan subversi dan korupsi. Sebelumnya Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai (49 tahun) dituntut hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Merugikan negara sekitar Rp 14 milyar, menyogok pejabat untuk memperoleh berbagai kemudahan, memalsukan beberapa dokumen dan keterangan seperti dilakukannya, menurut jaksa jelas merupakan kejahatan subversi dan korupsi. Yaitu merongrong kekuasaan negara dan merugikan keuangan atau perekonomian negara. Namun, majelis di bawah Hakim Slamet Riyanto berpendapat lain. "Sepanjang persidangan tidak dapat dibuktikan latar belakang politik mendasari perbuatan terdakwa . . .," katanya. Padahal, katanya pula, Nduhan subversi harus dibuktikan unsur pentingnya latar belakang politik. Tuduhan kejahatan korupsi juga gugur. Majelis berpendapat, keseretan terdakwa membayar kembali kreditnya kepada Bank Bumi Daya (BD), bukan berarti bermaksud tidak mengembalikan sama sekali. "Karena kesempatan BBD menarik uangnya kembali masih terbuka sampai sekarang," kata majelis. Pun, kelambatan PT Jawa Building, perusahaan yang digunakan Endang Wijaya untuk memperoleh kredit dan membangun Proyek Pluit di bekas rawa-rawa di Jakarta Utara, menurut hakim tidak seharusnya merugikan bank. Sebab, pada setiap keterlambatan BBD toh dapat memungut bunganya. Bahwa sebagian uang yang diperoleh dari kredit dipergunakan Endang Wijaya untuk membeli mobil-mobil bagi pejabat, menurut hakim, itu tak merugikan bank. Sebab hal itu merupakan tanggungjawab pribadi Endang Wijaya yang tidak mempengaruhi kewajibannya membayar kembali utangnya sebagaimana mestinya. Benar, ada peraturan yang melarang pemberian kredit bagi perusahaan real-estate, seperti yang diterima Jawa Building. Tapi, siapa yang salah: yang menerima atau memberi? Hakim berpendapat: "Itu kesalahan BBD sendiri!" Kesalahan Entang Wijaya, menurut majelis, ialah suka memberi hadiah dan janji kepada pejabat. Misalnya, memberi rumah, mobil, honor atau uang untuk ini dan itu kepada Walikota Jakarta Utara (dulu Dwinanto), pejabat BPO (Badan Pembangunan Otorita) Pluit, pejabat BBD seperti Natalegawa (bekas Direktur Kredit itu kini sedang diadili), pejabat daerah dan agraria. Dengan cara itu Endang Wijaya memperoleh banyak kemudahan yang menguntungkan usahanya. Ia boleh memakai kertas surat yang berkepala BPO Pluit untuk melancarkan urusannya dengan instansi lain. Bahkan ia boleh pula memakai neraca BPO untuk mendapat perhitungan pajak secara tidak wajar. Dari BBD jelas ia memperoleh keistimewaan. Meski seret pengembalian kreditnya, BBD terus menuanginya dengan berbagai pinjaman, atau memperpanjang masa pengembaliannya. Yang jelas, meski Bank Indonesia melarang pemberian kredit bagi usaha pembangunan rumah, dari BBD Endang Wijaya memperoleh fasilitas terlarang tersebut. Tak Rugikan Bank Pejabat Agraria tak segan-segan mengantar-jemput sertifikat tanah bagi Proyek Pluit. Sebab setiap sertifikat, begitu terbukti, Endang Wijaya menyediakan pelicin Rp 360 ribu. Begitu pula untuk sedap izin bangunan. Semuanya lancar, begitulah, karena bagi setiap izin tersedia perangsang Rp 100 ribu. Endang Wijaya memang terbukti menempatkan keterangan palsu pada akta autentik. Ia terangkan, seolah-olah sudah membebaskan tanah sebagian proyeknya dari penggarap. Hasilnya, ia memperoleh 61 akta dari Notaris Ridwan Soesilo. Padahal, begitu terbukti, orang yang disebut sebagai kuasa para penggarap tidak benar adanya. Namun, menurut majelis, akta-akta tersebut tidak digunakan Endang Wijaya untuk meminta kredit bank. Endang Wijaya tak menyembunyikan senyumnya -- yang dibawanya sejak memasuki ruang sidang di Jalan Gajahmada (Jakarta Pusat). Pembelanya, Azwar Karim, mengangkat jempolnya berkali-kali: "Uraian yuridis hakim bagus sekali," katanya. Namun, hanya terbukti bersalah seperti diuraikan majelis, katanya hukuman bagi Endang Wijaya terlalu berat. Mestinya? Azwal mengangkat kelima jarinya -- lima tahun penjara. Itulah sebabnya, meski cukup bergembira, tak urung Endang Wijaya meneken menolak putusan dan naik banding. Betapapun kelelahan selama mengikuti persidangan yang berlarut-larut, sejak hari itu seperti terhapus dari muka Endang Wijaya. Beberapa kali ia terpaksa absen dari muka hakim karena sakit. Ia pernah juga "disabet" Operasi Sabet Laksusda ketika berada di sebuah rumah kontrakan meski ia punya izin pengadilan untuk "ditahan" di sana. Hakim yang mengadilinya mengalami "musibah". Ketua Majelis, H. M. Soemadijono dan para anggota J.Z. Loudoe dan Hanky Izmu Azhar, juga berurusan dengan Opstib. Meski belum jelas hubungannya dengan Perkara Pluit, menurut Opstib, hakim-hakim senior tersebut dituduh melakukan pungutan liar terhadap beberapa perkara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus