PADA sidang ke 131 -- yang makan waktu lebih dua tahun -- vonis
pun jatuh. Keputusannya? "Lebih besar kepala dari kopiah,"
komentar Jaksa Anas Bhisma. Kena 10 tahun penjara kata Penuntut
Umum itu, Endang Wijaya hanya dipersalahkan melakukan
serangkaian pemalsuan dan menyuap pejabat negara.
Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat -- yang menjatuhkan
hukuman seberat itu bagi terdakwa Perkara Pluit minggu lalu
memang membebaskan Endang Wijaya dari tuduhan subversi dan
korupsi.
Sebelumnya Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai (49
tahun) dituntut hukuman 17 tahun penjara dan denda Rp 30 juta.
Merugikan negara sekitar Rp 14 milyar, menyogok pejabat untuk
memperoleh berbagai kemudahan, memalsukan beberapa dokumen dan
keterangan seperti dilakukannya, menurut jaksa jelas merupakan
kejahatan subversi dan korupsi. Yaitu merongrong kekuasaan
negara dan merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Namun, majelis di bawah Hakim Slamet Riyanto berpendapat lain.
"Sepanjang persidangan tidak dapat dibuktikan latar belakang
politik mendasari perbuatan terdakwa . . .," katanya. Padahal,
katanya pula, Nduhan subversi harus dibuktikan unsur pentingnya
latar belakang politik.
Tuduhan kejahatan korupsi juga gugur. Majelis berpendapat,
keseretan terdakwa membayar kembali kreditnya kepada Bank Bumi
Daya (BD), bukan berarti bermaksud tidak mengembalikan sama
sekali. "Karena kesempatan BBD menarik uangnya kembali masih
terbuka sampai sekarang," kata majelis.
Pun, kelambatan PT Jawa Building, perusahaan yang digunakan
Endang Wijaya untuk memperoleh kredit dan membangun Proyek Pluit
di bekas rawa-rawa di Jakarta Utara, menurut hakim tidak
seharusnya merugikan bank. Sebab, pada setiap keterlambatan BBD
toh dapat memungut bunganya.
Bahwa sebagian uang yang diperoleh dari kredit dipergunakan
Endang Wijaya untuk membeli mobil-mobil bagi pejabat, menurut
hakim, itu tak merugikan bank. Sebab hal itu merupakan
tanggungjawab pribadi Endang Wijaya yang tidak mempengaruhi
kewajibannya membayar kembali utangnya sebagaimana mestinya.
Benar, ada peraturan yang melarang pemberian kredit bagi
perusahaan real-estate, seperti yang diterima Jawa Building.
Tapi, siapa yang salah: yang menerima atau memberi? Hakim
berpendapat: "Itu kesalahan BBD sendiri!"
Kesalahan Entang Wijaya, menurut majelis, ialah suka memberi
hadiah dan janji kepada pejabat. Misalnya, memberi rumah, mobil,
honor atau uang untuk ini dan itu kepada Walikota Jakarta Utara
(dulu Dwinanto), pejabat BPO (Badan Pembangunan Otorita) Pluit,
pejabat BBD seperti Natalegawa (bekas Direktur Kredit itu kini
sedang diadili), pejabat daerah dan agraria.
Dengan cara itu Endang Wijaya memperoleh banyak kemudahan yang
menguntungkan usahanya. Ia boleh memakai kertas surat yang
berkepala BPO Pluit untuk melancarkan urusannya dengan instansi
lain. Bahkan ia boleh pula memakai neraca BPO untuk mendapat
perhitungan pajak secara tidak wajar.
Dari BBD jelas ia memperoleh keistimewaan. Meski seret
pengembalian kreditnya, BBD terus menuanginya dengan berbagai
pinjaman, atau memperpanjang masa pengembaliannya. Yang jelas,
meski Bank Indonesia melarang pemberian kredit bagi usaha
pembangunan rumah, dari BBD Endang Wijaya memperoleh fasilitas
terlarang tersebut.
Tak Rugikan Bank
Pejabat Agraria tak segan-segan mengantar-jemput sertifikat
tanah bagi Proyek Pluit. Sebab setiap sertifikat, begitu
terbukti, Endang Wijaya menyediakan pelicin Rp 360 ribu. Begitu
pula untuk sedap izin bangunan. Semuanya lancar, begitulah,
karena bagi setiap izin tersedia perangsang Rp 100 ribu.
Endang Wijaya memang terbukti menempatkan keterangan palsu pada
akta autentik. Ia terangkan, seolah-olah sudah membebaskan
tanah sebagian proyeknya dari penggarap. Hasilnya, ia
memperoleh 61 akta dari Notaris Ridwan Soesilo. Padahal,
begitu terbukti, orang yang disebut sebagai kuasa para
penggarap tidak benar adanya. Namun, menurut majelis, akta-akta
tersebut tidak digunakan Endang Wijaya untuk meminta kredit
bank.
Endang Wijaya tak menyembunyikan senyumnya -- yang dibawanya
sejak memasuki ruang sidang di Jalan Gajahmada (Jakarta Pusat).
Pembelanya, Azwar Karim, mengangkat jempolnya berkali-kali:
"Uraian yuridis hakim bagus sekali," katanya. Namun, hanya
terbukti bersalah seperti diuraikan majelis, katanya hukuman
bagi Endang Wijaya terlalu berat. Mestinya? Azwal mengangkat
kelima jarinya -- lima tahun penjara. Itulah sebabnya, meski
cukup bergembira, tak urung Endang Wijaya meneken menolak
putusan dan naik banding.
Betapapun kelelahan selama mengikuti persidangan yang
berlarut-larut, sejak hari itu seperti terhapus dari muka Endang
Wijaya. Beberapa kali ia terpaksa absen dari muka hakim karena
sakit. Ia pernah juga "disabet" Operasi Sabet Laksusda ketika
berada di sebuah rumah kontrakan meski ia punya izin pengadilan
untuk "ditahan" di sana.
Hakim yang mengadilinya mengalami "musibah". Ketua Majelis, H.
M. Soemadijono dan para anggota J.Z. Loudoe dan Hanky Izmu
Azhar, juga berurusan dengan Opstib. Meski belum jelas
hubungannya dengan Perkara Pluit, menurut Opstib, hakim-hakim
senior tersebut dituduh melakukan pungutan liar terhadap
beberapa perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini