Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Tempo, perawatan bahasa Indonesia adalah salah satu bagian terpenting. Tidak saja karena media yang kami lahirkan ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, tapi juga karena kami sepakat berbahasa yang baik menunjukkan cara berpikir yang jernih.
Di kantor kami, bahasa Indonesia dirawat dengan dua cara: serius dan main-main. Kami serius ketika menulis berita. Baik di majalah maupun Koran Tempo, satu berita harus melalui beberapa gerbang proses penyuntingan sebelum akhirnya tiba di tangan pembaca. Sebegitu ketatnya, ketika Tempo terbit kembali pada 1998, kami menciptakan sistem jaringan intranet: sebuah tulisan harus melalui para editor (redaktur utama atau redaktur senior) untuk dicek keseimbangan berita, isi, penggunaan kata, pembentukan kalimat, dan logikanya. Setelah itu, di setiap kantor redaksi Tempo ada satu gerbang terakhir bernama redaktur bahasa, yang kembali mengecek dan memperbaiki titik-koma yang salah tempat serta hal-hal kebahasaan lain yang luput dari editor sebelumnya.
Posisi redaktur bahasa sudah ada sejak awal Tempo berdiri. Selain Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi Tempo, adalah Redaktur Bahasa Slamet Djabarudi (almarhum) yang rajin mengoreksi bahasa Indonesia kami, baik di dalam tulisan maupun bahasa sehari-hari.
Namun, meski kami serius, kami percaya perawatan bahasa tidak identik dengan komunikasi yang kaku dan rigid. Dalam pergaulan sehari-hari, kami sangat gemar bermain-main. Di situ ada kreativitas dan kebebasan, sehingga lahirlah kata-kata "baru". Kata-kata baru ini kemudian menjadi bahasa Tempo yang tak jarang meluncur keluar dari wilayah Tempo hingga menjadi bagian dari kosakata bahasa Indonesia sehari-hari.
Pada 1970-an, Syu'bah Asa menggunakan kata "berkelindan" sebagai padanan kata "saling mempengaruhi" atau "saling membelit". Dalam laporan utama tentang Ahmadiyah (edisi 21 September 1974), misalnya, ia menulis, "Kesadaran terhadap perbedaan tersebut berkelindan pula dengan beberapa friksi yang terjadi."
Amarzan Loebis, Redaktur Senior Tempo-yang selalu mendorong pemakaian kata arkais yang hanya mengisi kamus-punya cerita lain. Suatu waktu, katanya, Syu'bah kehilangan kata ketika hendak mendeskripsikan penari yang wajahnya "lebih dari cantik, lebih dari molek". "Pokoknya aduhai," ujar Syu'bah. Ya sudah, tulis saja "aduhai". Maka "aduhai", yang sebelumnya hanya muncul dalam karya sastra Melayu lama, jadi populer.
Tempo pula yang memperkenalkan "santai" sebagai padanan relax. Kata ini dipungut dari bahasa Komering-nama suku yang hidup di Sumatera Selatan-oleh Bur Rasuanto, wakil pemimpin redaksi pertama Tempo. Sedangkan kata "konon", dari bahasa Melayu lama, diperkenalkan Goenawan Mohamad sebagai padanan "it is reported".
Adapun Putu Wijaya, sastrawan dan wartawan Tempo 1971-1979, paling suka menggunakan kata yang ekspresif, misalnya "gebrakan", "menggebrak", menonjok", dan "menggojlok". Putu pula yang kadang "menciptakan" kata tiruan bunyi (onomatope). Ketika menulis artikel tentang Ellya Khadam (edisi 27 Mei 1972), ia menyebut lagu Boneka dari India sebagai campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India. "Ding"-nya kemudian hilang dan tersisa "dangdut". "Lalu 'dangdut' digunakan Tempo secara 'resmi' untuk menyebut lagu Melayu yang terpengaruh lagu India," ujar Bambang Bujono, Redaktur Pelaksana Tempo 1987-1994. Ed Zoelverdi, fotografer sekaligus penulis Tempo 1971-1994, juga suka berbahasa "ekspresif". Yang paling populer adalah "melejit".
Menurut Putu Setia, Redaktur Senior Tempo, karena pada 1970-an dan 1980-an belum ada Internet dan jumlah kamus masih terbatas, redaktur sering kesulitan mencari kata yang tepat. Harun Musawa, misalnya, pernah bertanya, "Put, kalau saya pakai kata 'tumben', orang Bali ngerti enggak?" Putu menjawab, "Wah, itu kan juga bahasa Bali. Pakai saja." Harun, wartawan Tempo 1980-an, kemudian mempopulerkan kata yang berarti "tidak biasanya" itu.
Tentu saja kita tak bisa semau gue dalam memilih kata baru. Saat kantor Tempo di Kuningan, Goenawan mengadakan evaluasi setiap hari Rabu. Ia menegur soal penggunaan "Paman Sam" sebagai terjemahan dari "Uncle Sam". "Uncle Sam adalah US, United States (of America). Lalu Paman Sam bisa disingkat PS. Artinya apa?" tanya Goenawan. Lalu ada yang nyeletuk sembari bergurau, "Punited States." Kelas evaluasi langsung ger-geran.
Kemudian Bambang Bujono mengusulkan "Abang Sam" sebagai kepanjangan AS yang merujuk ke Amerika Serikat. Sebutan itulah yang digunakan Tempo hingga kini.
Dari evaluasi Goenawan, semua jadi tahu pula penulisan kata yang benar atau arti sebenarnya suatu kata. Slamet Djabarudi ditugasi menyusun daftar kata yang baku untuk dijadikan pedoman. Slamet adalah wartawan yang sering mengomentari tulisan rekan-rekannya. Kesalahan penulisan kata, ejaan, atau logika dicatatnya, lalu ditempelkan di papan otokritik. (Sekarang, komentar kritis semacam itu ditampilkan dalam mailing list.) Kritik Slamet yang berulang-ulang ditulis adalah soal kata bentukan "merubah", yang mestinya "mengubah". Hingga kini, jika ada yang mengucapkan atau menulis kata "merubah" di jaringan sosial seperti Facebook atau Twitter, hampir pasti warga Tempo akan mengoreksinya dengan segera.
Dari Slamet pula semua penulis jadi tahu, misalnya, kalau di awal kalimat sudah ada kata "meski", jangan lagi memakai "tapi", atau jika sudah memulai kalimat dengan "jika", tidak perlu ada "maka". Itulah yang dikenal sebagai kalimat efektif. Slamet juga bertanggung jawab menjaga konsistensi dalam berbahasa. Kalau sudah memakai "obyek", ya jangan lagi menulis "objek", misalnya, atau jika sudah memilih "zaman", tinggalkan "jaman".
Pada saat Tempo terbit kembali, 1998, Sapto Nugroho, redaktur bahasa bersama Uu Suhardi, Hasto Pratikto, dan Dewi Kartika, menyusun kembali pedoman bahasa di dalam jaringan internal komputer yang bisa diakses semua wartawan. Tapi Tempo tetap menganut sikap bahasa yang hidup. Jadi, "Kalau suatu kata sudah hidup di masyarakat, bisa saja dipakai, tidak perlu menunggu masuk kamus," kata Amarzan. Misalnya "kinclong", kata yang lahir dari iklan detergen yang berarti "terang, bersinar, cemerlang". "Didapuk" dan "digadang-gadang" adalah contoh lain. Ketika "cowok', "cewek", dan "cuek" belum tercantum di kamus, Tempo sudah menggunakannya.
Sebaliknya, Tempo menolak bahasa birokrat atau penguasa. "Dalam rangka", menindaklanjuti", dan "mengkritisi" hanyalah sebagian contoh. Intinya, "Tempo antiklise dan terus melakukan perlawanan terhadap kebekuan (bukan kebakuan) bahasa," ujar Goenawan. Bentuk-bentuk jadul pun ditinggalkan: "dalam pada itu", "seperti telah diketahui", "sebagaimana lazimnya", dan sebagainya.
Pada 2005, Goenawan mengusulkan sebuah rubrik baru bernama Bahasa! yang berbentuk kolom yang diisi oleh mereka yang peduli dan senantiasa ikut merawat bahasa Indonesia. Tempo tidak berpretensi membakukan satu-satunya cara berbahasa yang benar. "Kami menyadari, dalam bahasa, selalu ada 'penyimpangan', penjelajahan, eksperimen, dan permainan kata atau kalimat," kata Redaktur Senior Leila S. Chudori, yang mengkoordinasi rubrik Bahasa! dan bersama Bambang Bujono menyusun buku Bahasa!: Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (2008). Buku itu merupakan kumpulan kolom yang muncul tiap pekan di rubrik Bahasa!.
Nah, bagian main-main dengan bahasa terlihat dari pergaulan warga Tempo. "Para wartawan memang suka main-main, senang bercanda. Suasana pun terbangun dari gurauan. Dari situ ada kreativitas dan kebebasan," kata Goenawan Mohamad. Dari main-main pula lahir berbagai akronim, seperti "jabrik" (penanggung jawab rubrik) dan "Caping" (Catatan Pinggir). Bahkan kalimat pemikat di bawah judul berita punya istilah sendiri: taiching. Kata ini pelesetan dari eye-catching (mencolok, menarik) hasil kreasi Amir Daud, wartawan Tempo 1977-1983. Tentu segala akronim itu hanya dipakai di kalangan internal redaksi, tidak keluar dalam bentuk tulisan di majalah. Tempo justru memerangi akronim karena, seperti jargon, akronim cenderung hanya dapat dimengerti lingkungan tertentu.
Kami berharap kata-kata atau istilah yang meluncur dari kawasan kantor kami adalah kata-kata temuan baru yang bisa memperkaya bahasa Indonesia. Kita bisa memetiknya dari bahasa daerah, bahasa sehari-hari, atau bahkan serapan bahasa asing. Selama kata-kata itu memang terasa tepat dan pas dengan maknanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo