Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cekfakta

Sebagian Benar, Klaim Gibran tentang impor Beras, Ekstensifikasi, dan Intensifikasi Lahan Pertanian

Cawapres nomor urut 2 untuk Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan bahwa 2019-2022 Indonesia telah swasembada beras melalui impor.

24 Januari 2024 | 12.22 WIB

cek-fakta
Sebagian Benar, Klaim Gibran tentang impor Beras, Ekstensifikasi, dan Intensifikasi Lahan Pertanian
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Cawapres nomor urut 2 untuk Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan bahwa 2019-2022 Indonesia telah swasembada beras melalui impor. Ekstensifikasi dan intensifikasi lahan disebutnya solusi menghentikan impor beras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Impor 2019-2022 kita sudah swasembada beras, karena ini masalah pangan impor, 2019 sampai 2022 kita sebenarnya sudah swasembada beras. Tahun 2023 kita ada impor karena el nino pak, ini juga terjadi di belahan dunia. Kuncinya sekarang adalah, bagaimana kita melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi lahan di tingkat desa dan nasional secara efektif,” kata Gibran saat debat cawapres Pemilu 2024 yang digelar KPU, Minggu, 21 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Benarkah Indonesia sudah swasembada beras dan masih mengimpor beras tahun 2019-2022. Serta, benarkah ekstensifikasi dan intensifikasi jadi solusi agar Indonesia tidak impor beras?

PEMERIKSAAN KLAIM

Tempo memverifikasi pernyataan Gibran tersebut dengan membandingkannya data BPS. Data tersebut menunjukkan, Indonesia masih mengimpor beras sejak 2000-2022 dari India, Thailand, Vietnam, Pakistan, Myanmar, Jepang, Tiongkok dan lainnya.

Menurut Kiagus M. Iqbal, Peneliti Sajogyo Institute, Indonesia memang masih impor pangan, khususnya beras selama 2019-2022. “Indonesia masih mengimpor pangan, khususnya beras selama 2019 hingga 2022,” katanya.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma mengatakan pada 2019-2022 Indonesia melakukan impor beras dari India, Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Myanmar.

Klaim 1:  Indonesia berstatus swasembada pangan, namun masih banyak impor beras

Kiagus menjelaskan, status swasembada pangan harus dilihat dalam paradigma kebijakan pangan yang sedang berjalan. Hari ini, pemerintah lebih mengedepankan paradigma ‘rezim pangan korporat’ dengan basis konsep ‘ketahanan pangan’. Ketahanan Pangan, jika merujuk pada definisi pada Pasal 1 angka 4 UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Ketahanan Pangan merujuk pada kemampuan pemerintah menyediakan stok pangan. 

“Artinya, pemerintah hanya bertanggung jawab agar stok beras aman untuk kebutuhan dalam negeri, tidak peduli apakah ia berasal dari produksi dalam negeri atau impor dari luar negeri, kata Kiagus.

Klaim swasembada pangan Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 lalu sebenarnya berpijak pada kaki yang rapuh. Hal ini disebabkan berfokus pada peningkatan produksi beras semata, sedangkan isu kesejahteraan terhadap kaum tani dalam waktu jangka panjang diabaikan, yaitu prioritas penyelesaian masalah ketimpangan struktur penguasaan agraria, khusus di lahan pertanian, yang menjadi sumber konflik agraria di pedesaan. 

Menurut pandangan Romauli Panggabean dari Koalisi Sistem Pangan Lestari, mengacu pada Berdasarkan pengertian FAO (2015), swasembada pangan (food self-sufficiency) adalah kemampuan atau kapasitas suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya dari produksi domestik. 

Berdasarkan laporan Neraca Bahan Makanan yang dapat dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional untuk tahun 2018-2020, belum semua pangan strategis sudah dapat dipenuhi kebutuhannya melalui domestik. Beberapa pangan yang banyak diimpor adalah kedelai (80-90% impor), gula pasir (65-70% impor), bawang putih (90-95% impor) dan daging sapi (25-30% impor). Sedangkan pangan strategis lainnya yang sangat tinggi ketersediaanya adalah jagung, cabai, cabai rawit, bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras. Sedangkan beras rasio produksinya terhadap konsumsi atau ketersediaan sudah diatas 96% antara tahun 2018-2020.

“Jadi apabila dikatakan Indonesia sudah berstatus swasembada pangan, mungkin kurang tepat. Lebih tepat sudah swasembada di beberapa pangan strategis yang produksinya sudah dapat memenuhi konsumsi di atas 90% seperti beras, jagung, cabai, cabai rawit, bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras,” kata Romauli. 

Klaim 2: Ekstensifikasi dan Intensifikasi jadi solusi untuk stop impor beras

Ekstensifikasi lahan pangan, khususnya sawah melalui program food estate, kata Kiagus tidak menjawab permasalahan. Berbagai laporan dan penelitian telah menjawab kegagalan itu dari berbagai aspek, terutama aspek sosial-ekologis, masyarakat adat dan sistem pangan lokal. 

Jawaban yang paling bisa diperoleh adalah mempertahankan lahan sawah eksisting, bahkan, jika negara punya kemauan, rebut kembali lahan panen sawah yang hilang sebanyak 1.181.047,67 hektare. 

“Tak hanya itu, pemerintah wajib untuk melindungi tanah sawah eksisting melalui pengaturan perlindungan lahan sawah abadi eksisting yang lebih ketat dalam Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Ironisnya, berdasarkan SK Menteri ATR/BPN No. 1589/SK-HK.02.01/XII/2021, lahan sawah yang dilindungi baru 3,8 juta hektare, sedangkan, jika merujuk pada lahan baku sawah per-2019 mencapai lebih dari 7 juta hektare,” jelasnya.

Jika mengatakan intensifikasi pada lahan eksisting, maka jawabannya tidak kepada penambahan subsidi pupuk yang berbasis kimia. Sebagai informasi, 72 persen lahan pertanian Indonesia berstatus lahan kritis sehingga memerlukan perawatan khusus. Ini untuk memulihkan kesehatan tanah pertanian akibat asupan kimia baik pestisida dan herbisida maupun pupuk. 

Menurut Romauli, apabila Indonesia ingin secara gradual menurunkan impor beras tentunya ekstensifikasi bukan lagi menjadi pilihan. Dengan meningkatnya berbagai kebutuhan lahan karena peningkatan jumlah penduduk dan berbagai aktivitas ekonomi, tentunya lahan yang tersedia untuk ekstensifikasi sangat terbatas pilihannya yaitu mengambil tutupan hutan. Padahal apabila tutupan hutan semakin berkurang akan juga akan menimbulkan berbagai maslaah lingkungan.

“Karena itu yang perlu dioptimalkan adalah intensifikasi lahan berkelanjutan dengan menggunakan pupuk organik yang juga menjaga kesehatan lahan pertanian,” katanya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sri Noor Chalidah dari Koalisi Sistem Pangan Lestari dan co-Author lainnya , melalui simulasi forecasting, produktivitas dari beras bisa optimum dengan intensifikasi dan menjaga lahan yang sudah ada. Simulasi yang dilakukan tersebut diatas itu sangat penting untuk mempercepat peningkatan hasil panen secara signifikan, mengurangi konversi lahan sawah untuk menjaga swasembada beras. Mengontrol konversi lahan sawah merupakan salah satu tantangan tersulit untuk diatasi. Hal ini memerlukan koordiasi dari interkementerian dan koordinasi sektor swasta.

“Solusi untuk mengurangi impor beras adalah dengan penganekaragaman pangan yang dapat dikonsumsi oleh Masyarakat. Badan Pangan Nasional melalui kampanye “Kenyang tidak harus nasi”, memperkenalkan berbagai pangan lokal lainnya yang dapat menjadi subtitusi sumber karbohidrat lainnya seperti singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang,” jelas Romauli.

KESIMPULAN

Berdasarkan verifikasi Tempo, bisa disimpulkan bahwa Indonesia swasembada beras dengan cara impor, serta ekstensifikasi dan intensifikasi jadi solusi agar Indonesia tidak impor beras adalah Sebagian Benar.

Indonesia sudah swasembada di beberapa pangan strategis yang produksinya sudah dapat memenuhi konsumsi di atas 90% seperti beras, jagung, cabai, cabai rawit, bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras.

Ekstensifikasi bukan pilihan bila harus membuka hutan. Pemerintah wajib melindungi tanah sawah eksisting melalui pengaturan perlindungan lahan sawah abadi eksisting. Sedangkan intensifikasi pada lahan eksisting, maka jawabannya tidak kepada penambahan subsidi pupuk yang berbasis kimia, tetapi  intensifikasi lahan berkelanjutan dengan menggunakan pupuk organik

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]

Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia dan 8 panel ahli di Indonesia

Artika Rachmi Farmita

Artika Rachmi Farmita

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus