Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA Muhammad Lukman hanya bermaksud mengikuti lomba desain Tsunami Memorial Park yang digelar pemerintah Thailand. Jika ia menang, rancangannya akan dipakai di Taman Nasional Khao-lak Lamru, Provinsi Phang-Ngayang. Provinsi ini lantak oleh tsunami pada Desember 2004. Korban tewas ada 4.225 orang.
Lukman kalah. Pemenang lomba dua tahun lalu itu dari Spanyol. Toh, bagi karib Luki—sebutan akrab Lukman—Nancy Margried, rancangan yang kalah itu memunculkan gagasan baru. Desain Luki dibuat dengan metode fraktal. Polanya seperti batik. Karena itu, kata Nancy, ”Bisakah motif batik dibuat dengan metode fraktal?”
Inilah jawabannya: JBatik. Peranti lunak ini adalah program komputer untuk membuat atau memodifikasi motif batik berbasis metode fraktal. Dua pekan lalu, program ini memenangi anugerah utama Asia-Pacific Information and Communication Technology Award 2008 untuk kategori pariwisata dan budaya. Sebelumnya, JBatik merengkuh anugerah serupa di tingkat nasional.
Konsep fraktal—jejaknya bisa dirunut hingga Gottfried Wilhelm Leibniz, matematikawan Jerman abad ke-17—berakar pada teori matematika. Fraktal berasal dari kata Latin, fractus, yang berarti pecahan. Pada benda, karakteristik fraktal dicirikan oleh adanya self-similarity. Obyek fraktal tersusun dari komponen lebih kecil yang bentuknya sama dan diulang-ulang.
Candi Borobudur dan piramida adalah contoh bangunan fraktal. Peninggalan budaya itu tersusun dari pola kecil persegi panjang berbagai ukuran. Pola fraktal tak selalu kasatmata. Untuk mengetahui keberadaannya, kadang perlu diuji dengan hitungan matematika.
Nah, Luki, 30 tahun, dan Nancy, 29 tahun, bukan matematikawan. Luki arsitek Institut Teknologi Bandung, sedangkan Nancy alumnus Hubungan Masyarakat Universitas Padjadjaran. Karena itu, mereka meminta ahlinya, Yun Hariadi, matematikawan ITB dengan minat khusus geometri, sistem dinamik, dan teori chaos.
Yun, 30 tahun, kemudian meneliti 200 motif batik dari berbagai daerah di Indonesia. Fokusnya pada isen, yakni motif kecil-kecil pada batik yang mengisi bentuk lebih besar.
Ternyata batik memang fraktal. Pengujian dengan metode Transformasi Fourier menunjukkan dimensi motif batik adalah bilangan pecahan sesuai dengan karakter fraktal. Pada motif-motif batik dari Solo dan Yogyakarta, dimensinya konsisten pada angka 1,5. Batik pesisir, seperti Cirebon dan Pekalongan, dimensinya lebih variatif, lebih dekat ke bilangan bulat 1, 2, atau 3. ”Ini menunjukkan batik Yogya dan Solo lebih setia pada pakem,” ujar Yun.
Berbekal temuan itu, tiga sekawan ini yakin bisa merancang motif batik metode fraktal. Maka dibentuklah PixelPeopleProject. Sampai di sini muncul persoalan. Ternyata perangkat lunak komputer yang beredar di pasar, seperti CorelDraw, tidak cocok untuk metode fraktal. Alhasil, peranti lunak itu harus dibuat sendiri, padahal mereka bukan programer komputer.
Tenang! Bandung disesaki programer berotak brilian. Sebentar saja, tiga sekawan sudah menggandeng Eko Mursito Budi dan Dani Ramdhani, dedengkot komunitas opensource di kota itu. Akhirnya, Agustus lalu, tiga—eh, lima—sekawan itu meluncurkan perangkat lunak JBatik.
Mendesain batik dengan JBatik sungguh asyik. Program ini membikin pembuatan atau modifikasi motif batik lebih gampang. Yang harus dilakukan hanya menduplikasi isen hingga terbentuk sebuah motif besar. Ini seperti menyusun bata hingga akhirnya terbangun rumah. Sungguh semudah itukah?
Tidak juga. Tak seperti CorelDraw atau Adobe Illustrator yang mengandalkan keterampilan tangan, isen di JBatik dibuat dari rumus matematika. Tapi, jika Anda pernah belajar geometri fraktal sedikit saja, program ini sangat berdaya. ”JBatik merupakan aplikasi otonom. Masukkan saja rumus matematikanya dan JBatik akan menuntaskan menjadi motif batik fraktal,” ujar Luki. ”Untuk memodifikasi, sila utak-atik rumusnya.”
Hingga kini PixelPeople sudah berhasil memodifikasi 10 desain batik fraktal. Di antaranya motif batik Buketan yang bersumber dari batik Pekalongan, motif Kangkungan asal Cirebon, motif Parang Rusak yang berakar dari batik Yogyakarta, dan motif Banji yang dipengaruhi budaya Tionghoa.
Kendati motifnya diciptakan di atas komputer, cara produksinya tetap saja jadul. Motif itu dipindahkan ke kain dengan ditulis atau dicetak. ”Alhasil, pembatik sering mengeluh karena desain batik fraktal begitu rumit,” ujar Luki.
Tapi ini bukan masalah besar. Kesalahan dan ketidakakuratan itu justru membuat batik komputer ini unik. ”Jadi terasa sentuhan manusianya,” kata Luki.
Untuk urusan produksi, PixelPeople menggandeng Rumah Batik Komar, Bandung, milik Komarudin Kudiya. Pada Agustus lalu, produknya sudah dipertontonkan. Batik fraktal itu dipanggungkan perancang mode Era Sukamto di Jakarta Fashion Week.
Berkat batik fraktal, PixelPeople meraih penghargaan bergengsi dari UNESCO. Pertengahan November lalu, konsep batik fraktal mendapat Award of Excellence dari organisasi pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu.
Bukan hanya batik yang jadi obyek JBatik. PixelPeople sudah memakainya pada furnitur. Kini mereka sedang bersiap memodifikasi motif kain songket dan ornamen suku-suku di Papua. Ada mimpi besar lain. ”Yakni menggunakan JBatik untuk memotret desain fraktal Candi Prambanan,” ujar Nancy.
Sapto Pradityo, Anwar Siswadi (Bandung)
Huruf ”J” pada JBatik kependekan dari Java, bahasa pemrograman yang dipakai untuk membuat peranti lunak ini. Anda bisa mengunduh JBatik di situs PixelPeople dengan gratis. Inilah spesifikasi komputer yang diperlukan untuk menjalankan peranti ini:
- Sistem operasi Linux, Sun Microsystem Solaris, Microsoft Windows.
- Java Development Kit 1.6 dan Java 3D 1.5.1.
- Ruang kosong hard disk 10 megabita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo