Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tubuh Massal Para Penziarah

Putu Sutawijaya berpameran di Galeri Nasional. Setia mengolah imaji tubuh-tubuh massal yang menyerah pada alam atau berkompetisi satu sama lain.

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lembah, di dataran tandus, di perbukitan, ribuan laki-laki telanjang bulat itu bergerak bersama, membentuk gelombang irama seragam. Satu menelengkan kepala ke kiri, semua ikut serta. Satu membungkukkan kepala, semua melakukan hal sama. Mereka seperti datang dari berbagai daerah. Tapi kemudian berkumpul, pasrah, melakukan sebuah ritual, dan trans bersama.

Itulah yang memukau dari kanvas Putu Sutawijaya. Lukisannya mampu melecutkan sebuah fantasi purba. Tentang kelemahan manusia. Tentang bagaimana manusia tunduk atau tersungkup pada daya-daya gaib alam. Tentang sifat dasar manusia yang saling bantu atau makan satu sama lain. Pada pameran tunggal bertajuk Legacy of Sagacity di Galeri Nasional Jakarta, 20-30 November lalu, kita akan dapat mengikuti bagaimana perjalanan imajinasi Putu mengenai hal itu. Dalam pameran itu dihimpun lukisan terbaik Putu selama satu dasawarsa ditambah karya instalasi-instalasi terbarunya.

Putu, kita tahu selama ini mengeksplorasi subyek laki-laki telanjang secara massal. Para lelaki itu tidak ada hubungannya dengan erotisme. Yang ingin ia tampilkan adalah suasana kekolektifan, suasana jemaah, suasana gerombolan anonim. Pada pameran ini kita akan dapat melihat seberapa jauh Putu mengeksplorasi temanya. Seberapa jauh ia mampu menghindarkan diri pada titik menjenuhkan.

Bandingkan lukisan Kokoh Setelah Sunyi (2004) dengan Gravity to Bring Me Down (2008). Pada lukisan yang pertama: ribuan laki-laki telanjang bulat duduk bersila pasrah di depan samar-samar hitam sebuah candi bersosok seperti Borobudur. Jemaah itu seperti menjaga jarak dengan batu-batu candi. Mereka tak bisa memasuki kawasan suci itu dan hanya bisa melihat dari kejauhan. Akan halnya lukisan kedua: ribuan orang bergerak menuju reruntuhan Candi—berbentuk seperti Angkor Wat. Antara mereka dan candi terbentang luas rawa-rawa yang menampilkan bayang-bayang sang ”Angkor”. Terdapat sebuah titian panjang. Di situ orang-orang dalam barisan yang panjang antre memasuki gerbang candi.

Kedua lukisan itu bertema sama: gerombolan peziarah yang pasrah total. Lautan penziarah yang bisu. Secara fisik tubuh-tubuh telanjang mereka terlihat maskulin, tapi tubuh mereka mencerminkan tubuh yang lelah, tubuh yang hancur di dalam. Kita tak bosan melihat keduanya karena dua lokasi tempat jemaah anonim yang dihadirkan Putu itu seolah menghadirkan dua aura berbeda. Demikian juga kalau kita menyimak lukisan Di Antara (2007) yang juga bertema sama. Gerombolan laki-laki telanjang bulat duduk bersimpuh. Tapi kali ini di muka air terjun. Menyaksikan lukisan ini tetap terasa suasana yang lain. Mereka seperti gerombolan animis yang memuja derasnya air.

Putu agaknya menyelami dimensi-dimensi ketakberdayaan tubuh. Maka Putu memerlukan legenda bulu tangkis Tanah Air, Liem Swie King, membuka pameran. Selain sebagai penggemar, Putu hakulyakin pemenang tunggal putra All England tiga kali itu paham betul akan tubuh. ”Dia paham betul rasa tubuh yang lelah, tubuh yang menang, apalagi tubuh yang cedera.”

Sepuluh tahun yang lalu, karya-karya Putu dipenuhi euforia tentang kebugaran. Tengok saja lukisan Terjepit (1998) yang kilasan tubuh bergerak. Atau Sendiri (1998) dan Energi Tunggal (2001). Di situ ia mengolah unsur kecepatan, dinamika ekstase, ketrengginasan. Putu terinspirasi gerak tari Sanghyang. Tari Sanghyang dalam tradisi Bali mulanya bagian dari upacara penolak bala. Tari sakral ini merupakan tari kerauhan, dengan kemungkinan sang penari dapat sewaktu-waktu trans karena kemasukan roh.

Namun karya terakhir Putu bergerak lebih jauh daripada sekadar bergerak secara fisik. Tengok Loneliness Without Boundaries (2008). Tubuh-tubuh bergerombol itu terduduk sayu memenuhi batas horizon. Sosok-sosok tubuh itu senyap. Ada yang seolah bergerak dalam diri mereka tapi tertahan.

Akhir-akhir ini Putu mulai meluaskan tema. Ia berusaha memasukkan unsur-unsur sosial dalam lukisannya. Yang berhasil secara metaforis adalah Never Truly on Top (2008). Tubuh-tubuh telanjang itu terlihat berlomba merayap naik puncak karang terjal. Seperti Sysiphus, ada yang berkali-kali gagal, ada yang berhasil.

Tapi Putu juga tergoda untuk ”mengaktualkan” diri. Itu ketika menampilkan dua lukisan wajah Soeharto. Mysterious Behind Sunglasses I (2008), Putu menggambarkan wajah Soeharto close up, lengkap dengan kacamata hitam dan topi tentara. ”Yang ingin saya tangkap adalah misteri mengenai dirinya,” tutur Putu. Sementara itu, pada Mysterious Behind Sunglasses II, ada Soeharto yang kontur wajahnya berganti menjadi sekumpulan orang yang berusaha menaiki karang.

Bila pengunjung jeli, kekhasan lukisan Putu tak berhenti pada sosok tubuh dengan gerak itu. Ia pun menggoreskan kata demi kata sebagai latar belakang kanvas dalam beberapa lukisannya, seperti Holyness (2004), Step by Step (2007), Matahari ke Matahati (2007), dan Tour De Yogya (2008). Sulit untuk membaca apa yang ia ungkapkan. Memang bagi Putu, kata-kata itu hanyalah sebuah pelepasan, gumaman akan kegelisahan. ”Setelah selesai, saya berkeringat seperti usai orgasme,” katanya seraya tertawa.

Akan halnya menyaksikan empat instalasinya, kita seperti melihat gerombolan orang di kanvas itu satu per satu meloncat keluar dan saling berkompetisi satu sama lain. Putu membuat patung orang-orangan kecil tergantung melayang. Lihatlah Hope Waving (2008), tubuh-tubuh kecil digantung dengan kawat, dengan berbagai sikap tubuh seolah berada dalam suasana genting: lari, berteriak, mengelak. Atau Self Control: tubuh-tubuh kecil bergelantungan di meteran. Tangan mereka seolah sekuat tenaga memegang meteran agar tak jatuh binasa. Do Not Know How (2008): patung-patung kecil saling memanjat di benang. Mereka semua seolah berlomba untuk tak tumbang. Setelah secara massal menjalankan ritual bersama, mereka seolah kemudian berkompetisi sendiri-sendiri ingin mengalahkan satu sama lain.

Yang paling memukau Dancing In the Full Moon (2008). Tubuh-tubuh kecil terbuat dari resin itu bergelantungan—berpadu membentuk bola. Menengadah ke atas kita seperti menatap sebuah kandil raksasa. Kita melihat bagaimana orang-orangan kecil itu seolah berada dalam sebuah kondisi bahaya. Di antara mereka tengah saling menyelamatkan diri sendiri, saling sikut, berkelahi, saling menjongkrokkan satu sama lain. Di antara mereka saling bertahan agar tak jatuh tewas ke lantai.

Sita Planasari Aquadini, SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus