Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

<font color=#FF3300>Kubus Raksasa</font> Menuju San Francisco

Sebuah permainan daring buatan anak Indonesia menjadi finalis kompetisi internasional. Kuncinya ide cemerlang dan inovatif.

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUA Elzee dan Cedric Ashcrof masuk ke dalam sebuah planet berbentuk kubus raksasa menggunakan pesawat ruang angkasa mereka. Keduanya siap bertempur dengan satu tujuan: menyelamatkan Millie Elzee, saudara kembar Rua, yang hilang lantaran diculik alien penghuni kubus raksasa berbentuk persegi. Di planet serba kotak itulah kontak trio sahabat penjelajah bintang ini terputus. Pertempuran pun dimulai. Rua berkata, ”Tak ada yang bisa memisahkan kami.”

Prolog yang membuka permainan dalam jaringan atau daring (online game) itu bernama Cube Colossus, sebuah permainan berbasis aplikasi Flash dalam bahasa Inggris. Flash adalah salah satu aplikasi khusus untuk membuat animasi. Meski berbahasa Inggris, Cube Colossus asli game buatan anak Magelang, Jawa Tengah. Sejak dirilis pertengahan 2009, Cube Colossus telah dimainkan oleh dua jutaan pencinta permainan daring di dunia.

Selasa dua pekan lalu, Cube Colossus diumumkan sebagai finalis di ajang kompetisi game internasional The Mochis Flash Game Award. The Mochis adalah anugerah tertinggi yang khusus diberikan kepada para pengembang game berbasis Flash terbaik di dunia. Penghargaan ini bisa dikatakan setara dengan Grammy atau Oscar bagi insan musik dan perfilman di Amerika Serikat. Pemenang penghargaan The Mochis akan diumumkan dalam acara tahunan Flash Game Summit 2010 di San Francisco, Amerika, pada 8 Maret mendatang.

Menurut salah satu penyelenggara The Mochis, Ada Chen, ada 11 kategori penghargaan yang diberikan dalam ajang internasional yang kedua itu. Setiap kategori diisi tiga permainan yang dianggap terbaik, menyisihkan 900 game lainnya yang dirilis sepanjang 2009. Setelah tahap seleksi, 33 game yang tersisa berhak menjadi finalis di ajang The Mochis itu.

”Cube Colossus masuk kategori permainan menembak terbaik (best shooter game),” kata Ada Chen dalam surat elektroniknya.

Di kategori itu, Cube Colossus akan bersaing dengan game menembak serupa, seperti Captain Forever dan Death vs Monstars. Kategori lain yang dikompetisikan di antaranya multiply game, seni, strategi, indie, sosial, dan teka-teki.

Ajang kompetisi semacam The Mochis menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan sebuah permainan di tengah kian mewabahnya online game di seluruh dunia. Peningkatan yang signifikan terjadi di Amerika. Pengguna permainan daring di Negeri Abang Sam pada tahun yang sama meningkat 22 persen menjadi hampir 100 juta orang. Game pun sudah menjadi fitur standar di sebuah jejaring sosial. Sebuah data menunjukkan satu dari sepuluh pemilik Facebook pernah memainkan permainan daring.

Permainan daring juga populer di antara lebih dari 30 juta pengguna Internet di Indonesia. Tahun lalu permainan daring menempati peringkat ketujuh aplikasi Internet yang paling banyak digunakan setelah e-mail, IM, situs jejaring sosial, mesin pencari, situs berita daring, dan blog.

Selama ini game yang beredar di pasar dunia kebanyakan buatan Korea, Jepang, Cina, atau Amerika. Misalnya, perusahaan pengembang game ternama asal Amerika, Zynga, yang memiliki 71 juta pelanggan terdaftar dan 46 juta pelanggan yang aktif di seluruh dunia. Prestasi Cube Colossus membuktikan bahwa karya anak bangsa pun bisa diterima dan diakui di dunia internasional.

Wimindra Lee, 34 tahun, pengembang di studio Lucidrine yang berada di balik game Cube Colossus, mengatakan permainan unik itu dikembangkan dari sebuah game karya anak sekolah menengah atas. ”Ini hasil kolaborasi saya dengan anak yang usianya setengah umur saya,” kata Wimindra sembari tertawa.

Pria asal Jakarta ini menjelaskan, proses pembuatan game dilakukan tanpa bertatap muka. Semuanya lewat dunia maya. Saling menukar data dan komunikasi, dia menambahkan, disampaikan lewat percakapan digital dan e-mail.

Remaja berbakat yang dimaksud Wimindra adalah Fandry Indrayadi, siswa kelas III SMA I Magelang yang berusia 17 tahun. Awal pertemuan keduanya terjadi saat Fandry merilis sebuah game menembak, Voidgale, pada 2008. Seluruh unsur dalam game itu, kata Wimindra, mulai grafis sampai pemrograman Flash, dibuat Fandry. Selanjutnya, Wimindra pun mengajak Fandry bergabung dalam Lucidrine, situs pengembang game.

Lewat bilik obrolan digital, proyek membuat game hasil kerja sama kedua pria beda generasi ini pun dimulai. Mula-mula mereka membuat sebuah game shooter yang unik dan inovatif. ”Harus beda dengan game yang sudah ada,” kata Fandry. Lahirlah game sederhana bernama Cube Cube Panic yang menampilkan aksi pesawat melawan kubus (cube) raksasa.

Setiap memiliki waktu luang, mereka bertukar konsep dan ide. Fandry mencicil sedikit demi sedikit program Flash untuk dikirimkan kepada Wimindra. Adapun Wimindra mendapat jatah membuat grafik yang cocok untuk diisi dengan karakter tokoh dan ornamen benda-benda yang tepat. ”Begitu seterusnya sampai dirasa sempurna,” kata Fandry.

Delapan bulan lamanya Fandry dan Wimindra bertukar ide di dunia maya. Sempat terbengkalai karena kesibukan Wimindra sebagai pengembang game dan Fandry sebagai pelajar. Pembuatan Cube Colossus pun kembali digeber saat Fandry libur sekolah. Cube Colossus akhirnya dinyatakan selesai dan dirilis Agustus 2009.

Tanpa disangka, komunitas game dunia menyambut permainan baru itu. Cube Colossus meledak. Ia diunduh oleh dua juta pengguna. Ini angka yang cukup fantastis di kelas game kategori menembak. ”Ada yang me-review, ada yang nge-fan, tahu-tahu ada e-mail jadi finalis The Mochis. Gue bingung siapa yang mengirimkan game gue,” kata Fandry.

Situs pengulas game Flash ternama, jayisgames.com, pun mengulas game yang terdiri atas 20 babak plus 1 babak rahasia tambahan jika pemain berhasil menyelesaikan permainan itu. Game ini memungkinkan pemainnya memilih dan memperbarui senjata. Kontrol yang digunakan game Cube Colossus juga dinilai telah membalikkan kontrol yang ada pada permainan tembak-menembak pada umumnya (fungsi tombol WASD dan tetikus dibalik). Terang saja komunitas di portal game Flash, seperti Kongregate dan NewGrounds, menyambut Cube Colossus dengan baik. ”Luar biasa,” kata salah satu pengguna Cube Colossus.

Bagi Fandry, membuat game adalah hobi. Lebih dari tujuh tahun, anak pertama pasangan Agus Cahyadi dan Hari Indra Lestari ini otodidak belajar pemrograman game berbasis Flash lewat buku, Internet, dan chatting. Kini Fandry telah menjelma menjadi pengembang game yang andal. Enam dari puluhan game hasil karyanya telah dirilis di portal komunitas game. ”Kalau game-nya bagus, pasti nyebar sendiri. Kuncinya ide cemerlang dan inovatif,” katanya.

Selain mendapat kepuasan batin, Fandry dan Wimindra ketiban untung apabila game buatannya meledak di pasar. Dolar pun mengalir cepat. Tapi mereka bersepakat tutup mulut mengenai bayaran yang mereka terima. ”Biasanya game Flash seperti Cube Colossus dihargai US$ 100 sampai US$ 10 ribu,” kata Fandry.

Kompetisi The Mochis sendiri memang tidak menyediakan hadiah berupa uang. Tapi Fandry dan Wimindra tetap merasa bangga karena mendapat pengakuan sebagai pengembang yang berkualitas, disegani, dan bernilai jual tinggi. Bagi mereka, menjadi finalis adalah semacam pengakuan bahwa karya mereka tak kalah dibanding buatan asing.

Rudy Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus