Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Retorika

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

BAHWA Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat dijamin konstitusi dan sangat diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi jelas tak perlu diperbalahkan. Namun bagaimana hak tersebut dilaksanakan tampaknya merupakan masalah tersendiri. Majalah ini menengarai ada persoalan etika pada sejumlah anggota Panitia Khusus DPR tentang Bank Century dalam upaya mengorek keterangan dari para saksi yang sebagian di antaranya merupakan pejabat negara. ”Ketidaksopanan dalam mengajukan pertanyaan—baik retorika, bahasa tubuh, maupun bahasa ucap—sudah memprihatinkan” (Tempo, 18-24 Januari 2010, Opini). Catatan ini penting karena perilaku minus sebagian anggota Panitia Khusus itu bisa mencederai tujuan mulia ”mencari kebenaran” yang hendak mereka gapai.

”Repertoar” yang digelar Panitia Khusus DPR tersebut menggugah imajinasi tentang praktek retorika dalam tradisinya yang paling purba—yakni retorika Sofis pada masa Yunani Kuno menjelang akhir abad ke-5 sebelum Masehi. Digalakkan para filsuf seperti Gorgias, Protagoras, dan Isocrates, retorika Sofis mengajarkan keterampilan berbahasa—terutama berpidato—di depan publik. Inti ajarannya adalah memenangkan suatu kasus atau tujuan politik tertentu melalui tuturan (lisan). Karena itu, penutur dituntut fasih berbahasa, lihai memainkan ulasan, dan piawai mengocok emosi lawan. Bukan hal aneh jika retorika Sofis mengarah pada cara-cara berdebat kusir, berpokrol bambu, atau bersilat lidah.

Hingga kini, retorika Sofis tetap aktual dalam pentas politik dan juga ekonomi. Pidato kampanye, pernyataan politik, propaganda, dan iklan adalah contoh potensial wujud nyata retorika lawas itu. Celakanya, tak jarang tergelincir jadi ”omong kosong”. Sekian abad lampau, ketika menulis Gorgias (terbit pertama kali pada 463), Plato mengecam retorika gaya Sofis sebagai doxa atau manipulasi opini publik, mengabaikan espiteme, dan hanya dimanfaatkan warga polis yang kaya raya (lihat James A. Herrick, The History and Theory of Rhetoric, 2005).

Bagi Aristoteles, retorika Sofis terlalu sempit untuk membangun peradaban yang lebih luas. Melalui Rhetoric (1355), ia mengembalikan martabat retorika sebagai ”kecakapan (dunamis, daya, kekuatan) menemukan sarana persuasif yang obyektif untuk memecahkan masalah”. Dengan kata kunci menemukan, retorika Aristotelian—lisan ataupun tulisan—menjadi wacana kritis, bukan sekadar mencari kemenangan. Pertanyaan pentingnya adalah apa arti suatu kemenangan bila mengabaikan kebenaran, betapapun terbatasnya kebenaran itu. Retorika, menurut Aristoteles, adalah techne yang membiasakan orang membeberkan kebenaran. Fungsinya dikembangkan untuk memandu orang mengambil alternatif pemecahan masalah, menganalisis kasus secara sistematis dan obyektif sehingga meyakinkan publik, dan mengajarkan cara efektif mempertahankan gagasan atau argumen.

Tak diragukan, Aristoteles telah meletakkan dasar retorika sebagai bahasa ilmu pengetahuan sekaligus sebagai kajian ilmiah. Meski demikian, kata kunci kebenaran yang dia sodorkan menimbulkan pertanyaan: untuk apa kebenaran itu. Kebenaran demi kebenaran semata, sama halnya dengan kebebasan untuk kebebasan belaka, bukannya tanpa bahaya. Kebenaran ilmiah sekalipun jika niretika akan melahirkan petaka.

Pada awal abad ke-20, muncul pemikiran ”Retorika Baru,” antara lain dari filsuf Perelman dan Olbrechts-Tyteca di Eropa dan penganut Aliran General Semantics di Amerika Serikat. Bertolak dari pertanyaan terhadap retorika Aristotelian, para penganut ”Retorika Baru” menekankan dua hal. Pertama, faktor khalayak sebagai titik pusat arah tuturan. Suatu retorika harus dibangun dengan memperhitungkan cermat aspek psikologis dan lingkungan sosial-budaya. Kedua, selain persuasif, suatu retorika harus bisa menumbuhkan kerja sama, saling mengerti, dan kedamaian manusia, dan sebaliknya menghindari kesalahpahaman serta berbagai bentuk kepincangan komunikasi lain.

Kehidupan manusia jelas tak lepas dari retorika, dari keseharian individual sampai kehidupan sosial yang kompleks. Soalnya adalah retorika seperti apakah yang patut dikembangkan sehingga mencerahkan kehidupan bersama. Dalam Modern Rhetorical Criticism (1977), Roderick P. Hart melukiskan ”alam pikiran retorika” yang dipandangnya sehat. Suatu retorika yang baik, katanya, harus memadukan empat aspek. Pertama, scientifically demonstrable; harfiahnya suatu tuturan harus bisa dibuktikan secara ilmiah atau berdasarkan fakta.

Kedua, artistically creative; terutama berasosiasi dengan pemanfaatan retorika secara particular, yakni dalam pengucapan seni. Dalam berbahasa sehari-hari tentu tidak perlu berbunga-bunga, yang penting jelas dan santun. Ketiga, philosophically reasonable; memperhatikan moral dan etika dalam bertutur untuk membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudarat, berkah dan mubazir. Akhirnya, keempat, socially concerned; suatu retorika, apalagi yang terbuka untuk umum, haruslah bertemali dan bermanfaat memecahkan masalah orang banyak sehingga menyejahterakan kehidupan bersama lahir-batin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus