Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM gerimis pun menghangat di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu. Sekitar empat ribu penonton memekik, bersorak-sorak, joget kecil kepala manggut-manggut, dengan perhatian terpaku ke panggung. Placebo, band rock alternatif dari Inggris, akhirnya manggung di Indonesia, dalam konser bertajuk LA Lights Concert Placebo Live in Concert.
Sekitar pukul 20.30 konser dibuka dengan opening bridge yang menggoda. Satu per satu, Brian Molko (vokal, gitar), Stefan Olsdal (bas), dan Steve Forrest (drum) mengambil posisi. Juga tiga pemusik tambahan. Sampai di sini, teriakan penonton sudah bersahutan bergemuruh.
For What Its Worth menjadi pembuka. Selanjutnya, hit-hit lain nonstop: Ashtray Heart, Battle for the Sun, Soul Mates, Speak in Tongues, Cops, Every You Every Me, Special Needs, Breath Underwater, Jullien, Neverending Why, Come Undone, Devil in the Details, Meds, Song to Say Goodbye, Special K, sampai Nitter End. Dalam pertunjukan satu setengah jam itu, sekitar 20 lagu dibawakan, kebanyakan dari album terbaru, Battle for the Sun (2009).
Personel Placebo memang kurang ”menyapa” penonton. Pilihan interaksinya lebih dengan bahasa musik serta aksi panggung. Lihat Molko yang kecewek-cewekan (androgini) itu. Sesekali ia bergerak agak ekspresif, seperti tengadah atau menunduk, yang langsung disambut jerit penonton—terutama wanita. Jangan meleng juga dari penampilan cool Olsdal, atau aksi gahar Steve, yang membuka baju menunjukkan tato yang memenuhi tubuhnya.
Tata panggung sangat mendukung. Lampu sorot warna-warni dinamis membias arena. Panggung 18 x 10 meter dengan dua layar lebar di kanan-kiri, latar belakang cukilan klip video dan selingan grafis digital. Sound system 60 ribu watt berdentam-dentam. Peralatan yang dibawa Placebo total 10 ton.
Selain gairah, ada lagi yang disampaikan Placebo melalui konser itu: kesetiaannya pada rock alternatif, genre yang mereka usung sejak berdiri pada 1994. Tekstur musiknya alternatif abis. Nge-rock tapi ringan dan renyah. Menikmatinya pun tak harus dengan penghayatan berat, cukup dengan cara asyik, tubuh dan kepala bergerak-gerak kecil.
Mencerna musik Placebo, perasaan terbawa ke era 1990 ketika rock alternatif tengah booming, seperti yang diusung antara lain oleh Nirvana, Blur, Silverchair, dan Smashing Pumpkins. Placebo masih setia menjaga ciri khas rock alternatif, beda dengan kebanyakan band alternatif era 1990 yang tergoda tren populer.
Kesetiaan ini mengobati kerinduan penggemar setianya. ”Lihat band alternatif lain sekarang sudah pangling, tapi Placebo masih menjaga benang merah alternatif,” kata Desire Aditya, salah satu penonton. Mahasiswa tingkat akhir ini mengaku sudah menggemari Placebo dan band rock alternatif sejak 1997. Tentu ada perubahan musikalitasnya. Placebo, di mata Aditya, sedikit berubah, dari bermusik terkesan liar asal-asalan seperti ciri umum musik alternatif 1990-an menjadi agak teratur dengan akor yang lebih banyak.
Rock alternatif sendiri menggeliat mulai 1980-an, menawarkan rock yang lain di masanya. Sub alirannya bervariasi, seperti indie, grunge, gothic rock, juga college rock—karena digemari mahasiswa di Amerika Serikat saat itu. Nevermind (1991) dari Nirvana menjadi album penting yang mendongkrak popularitas rock alternatif.
Placebo setia bermain di ranah ini. Enam album studionya menunjukkan kekukuhan beralternatif, senada dengan orientasi seksual personelnya yang juga ”alternatif”: Molko adalah biseksual dan Olsdal gay. Sedikit perubahan, dari awal dengan dominasi suara mentah dan instrumental minimalis berangsur eksperimental memanfaatkan musik modern.
Kesetiaan ini menuai imbalan. Placebo telah menjual satu juta album di negeri asalnya dan lebih dari 12 juta di seluruh dunia. Pada November lalu mereka meraih penghargaan Best Alternative dari ajang MTV Awards. Yang tak kalah penting, dengan itu, Placebo selalu mendapat tempat di hati penggemarnya. ”Banget,” kata Aditya. ”Saya pesan tiketnya dari November,” kata Gilang Cempaka, penonton lain. Tiket seharga Rp 400-500 ribu nyaris terjual ludes, seperti yang terjadi di konser mereka di 44 negara.
Saat pertunjukan, animo terhadap Placebo masih terlihat sangat tinggi. Penonton yang kebanyakan anak muda rela menunggu saat Placebo menyelipkan jurus klise pertunjukan—menghilang lima menitan untuk kemudian muncul lagi dengan nomor-nomor pamungkas. Mereka pun enggan keluar meski personel Placebo bersama-sama menjura menutup konser. Placebo, dari istilah medis untuk pengobatan semu, justru memberikan sensasi dan efek yang membekas.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo