Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teka-teki besar itu bernama Nusa Tenggara Timur. Provinsi tandus dan punya matahari yang garang menyengat hampir sepanjang tahun itu bertahun-tahun selalu membuat ilmuwan dan dokter ternganga. Bukan karena tenun biboki-nya dengan warna-warni alami yang membuat mereka terkaget-kaget. Bukan pula nasib penduduk yang termelarat se-Indonesia. Puluhan atau mungkin ratusan dokter dan ilmuwan selalu disodori misteri yang sudah ada bertahun-tahun di provinsi Indonesia timur itu, yakni: jumlah bayi berbibir sumbing begitu tinggi.
Sudah ribuan kali operasi terhadap kelainan pada bibir ini dilakukan, namun ribuan bayi baru berbibir sumbing tetap bermunculan. Patah seribu, tumbuh seribu. Sedikitnya setiap 1.000 bayi yang lahir, selalu ada 6-9 bayi yang mengalami cacat bibir ini. Padahal, di dunia, kelainan ini umumnya hanya muncul pada 1-2 bayi per 1.000 bayi yang lahir.
Maria Vicentia Irena adalah salah satu yang tercengang-cengang dengan fenomena itu. Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang itu beberapa waktu lalu datang ke Timor Tengah Selatan. Di kabupaten termiskin nomor dua se-Indonesia ituada di peringkat 293 dari 294 kabupaten dengan pendapatan per kapita Rp 497 ribu per tahunVicentia menjumpai banyak bayi berbibir sumbing.
Dokter muda ini sebenarnya sudah punya segudang bekal teori tentang mengapa bibir sumbing selalu nongol di wilayah itu. Yang paling utama, karena perkawinan antarkerabat dan buruknya gizi wanita hamil, yang kerap kekurangan unsur seng (Zn). Dia juga punya data riwayat anak-anak berbibir sumbing lengkap dengan sejarah ayah-ibunya. Vicentia pun mafhum bahwa kelainan ini terjadi akibat gangguan dalam proses pemisahan bibir dan gusi pada masa embrio awal, saat embrio berumur 4-6 minggu. Biar begitu, tetap saja Vicentia kesulitan menebak bayi mana yang bakal lahir sumbing.
Untunglah, dia punya kakak yang jago utak-atik komputer, Yustina Setyawan. Perempuan berusia 28 tahun ini sedang merampungkan S-2 di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (STTS). Selama dua bulan, Yustina tertantang untuk membikin peranti lunak pendeteksi bayi berbibir sumbing.
Ia menggunakan rumus jaringan saraf tiruan untuk keperluan ini. Rumus jaringan saraf tiruan adalah salah satu aliran dalam ilmu kecerdasan buatan (artificial intelligent). Berbekal data survei adiknya tentang riwayat bayi-bayi normal dan bayi berbibir sumbing, Yustina akhirnya bisa menciptakan software penebak hadirnya bibir sumbing. Dengan menyodorkan sidik jari dan telapak tangan, dalam hitungan detik, akan diketahui apakah dua sejoli punya bakat melahirkan bayi berbibir sumbing atau tidak. "Tingkat akurasinya bisa sampai 90 persen," kata Yustina superyakin.
Bagi dunia kedokteran Indonesia, ini adalah terobosan besar. Soalnya, saat ini jumlah bayi yang lahir dengan bibir sumbing sangat tak imbang dengan jumlah dokter spesialis bedah plastik. Bila memakai angka pertumbuhan penduduk 1,66 persen setiap tahun dan angka bayi lahir berbibir sumbing adalah 2 orang per 1.000 kelahiran, setiap tahun lahir 6.640 bayi berbibir sumbing.
Jumlah tersebut kelewat besar dibanding jumlah dokter spesialis bedah plastik di Indonesia, yang pada 2002 hanya 35 orang. Artinya, setiap dokter spesialis bedah plastik diperkirakan mengerjakan operasi bibir sumbing sekitar 190 orang per tahunnya atau sekitar 16 orang setiap bulan.
Untuk menciptakan komputer penebak bibir sumbing ini, Yustina harus memelototi data sekitar 50 pasangan orang tua anak normal dan 50 orang tua anak sumbing. Dia mempelajari riwayat bayi-bayi yang berbibir sumbing. Dia juga harus membolak-balik ilmu sidik jari dan telapak tangan.
Yustina menuturkan, ada tiga unsur penting dalam sidik jari dan telapak tangan yang bisa menjadi patokan awal adanya gen bibir sumbing. Pertama adalah jumlah guratan sidik jari. Kedua, tipe-tipe lengkungan sidik jari. Dan terakhir, besar sudut a-t-d. Sudut a-t-d adalah sudut yang dibentuk dari titik di bawah telunjuk, di bawah kelingking, dan di pergelangan tangan (lihat infografis).
Dari penelitian terdahulu yang dilakukan Prof. Dr. dr. Retno M. Loekito, dia mendapati ada kaitan erat antara sidik jari dan bibir sumbing. Di antaranya, kebanyakan bayi sumbing adalah yang memiliki ayah dengan jumlah guratan sidik jari yang banyak. Selain itu, ayah dan ibunya memiliki tipe sidik jari yang bulat (whorl) dan bukan lonjong (ulnar loop). Ciri ketiga adalah sudut a-t-d ayah anak sumbing itu juga lebih besar dari ayah anak normal. Hanya, penelitian Retno tak bisa menyimpulkan standar jumlah guratan maupun standar sudut a-t-d yang menjadi penanda bakal munculnya bibir sumbing.
Dengan menggunakan bahasa program Delphi dan rumus jaringan saraf metode Kohonen SOM (Self-Organizing Maps), Yustina pun meramu data-data tersebut sehingga terciptalah sebuah program pintar. Program ini pintar karena dengan membaca seabrek datamulai jumlah guratan sidik jari, jenis sidik jari, sudut a-t-d, hingga riwayat orang tuadia bisa membuat semacam rumus. Dengan rumus inilah, komputer bisa menebak apakah bayi bakal lahir normal atau sumbing.
Selama dua bulan membongkar-bongkar software kecerdasan buatan itu, yang dirasakan Yustina paling sulit adalah mendidik komputer untuk mengenali tiap data. "Setiap data harus diubah menjadi angka-angka," katanya. Kesulitan berikutnya adalah "melatih" komputer agar bisa mengenali ciri khas bayi sumbing dari kombinasi angka-angka itu. "Kita mengajari komputer seperti kita mengajari 1+1=2."
Kini, setelah peranti lunak ini rampung, tak rumit lagi menebak bayi bibir sumbing. Cukup dengan memotret atau memindai kedua telapak tangan pasangan suami-istri, secara otomatis data sidik jarinya akan diproses oleh software, dan di layar akan muncul keterangan punya potensi sumbing atau tidak. Memang tidak akurat 100 persen, tapi sangat membantu. "Namanya juga melihat gejala penyakit, dalam dunia kedokteran selalu saja ada perkecualian dan banyak faktor," ujarnya senang.
Berkat karyanya yang berjudul Penggunaan Jaringan Saraf Tiruan, Metode Kohonen SOM untuk Memprediksi Bibir Sumbing di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur itu Yustina berhasil meraih predikat cum laude di kampusnya. Sebuah sumbangan agar Indonesia bisa tersenyum dengan manis.
Burhan Sholihin, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Inilah Sang Pelacak Gen Bibir
1. Mengumpulkan Sidik Jari Sekitar 100 orang dari kampung yang terkenal dengan kasus bibir sumbing di Nusa Tenggara Timur diambil sidik jari dan telapak tangannya.
2. Meneliti Guratan Dengan mikroskop dia menghitung jumlah guratan sidik jari itu. Dia juga menentukan jenis sidik jari itu apakah lonjong dengan pintu pusaran menghadap ke kelingking (ulnar loop), lonjong dengan pintu pusaran menghadap ke jempol (radial loop), bulat, atau berbentuk busur (arch).
4. Kecerdasan Buatan Jumlah guratan sidik jari, jenis sidik jari, serta besarnya sudut ATD inilah yang dimasukkan ke dalam peranti lunak khusus yang dibuat berdasarkan rumus kecerdasan buatan (jaringan saraf tiruan) metode Kohonen SOM.
3. Menghitung Sudut ATD Sudut ATD adalah sudut yang dibentuk oleh tiga titik, yakni: titik A (di telapak tangan di bawah telunjuk), titik T (titik di perbatasan telapak tangan dan pergelangan), dan titik D (titik di bawah kelingking).
5. Sumbing atau Tidak? Dengan peranti lunak ini, siapa pun bisa mengetes apakah seseorang punya gen bibir sumbing atau tidak. Cukup dengan memindai sidik jari dan lapak tangan... dan, bingo! hasilnya keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo