Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Azab dan Sengsara di Senayan

Kisruh di parlemen terus berlangsung. Koalisi Kebangsaan berniat membagi kursi pimpinan komisi. Koalisi Kerakyatan berhati-hati: mereka takut kembali dikhianati.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui layar televisi, ketegangan itu menjalar hingga ke rumah-rumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdiri didampingi Ketua DPR Agung Laksono. Di belakangnya berjejer sejumlah pembantu Presiden, di antaranya Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S. Agung Laksono didampingi tiga Wakil Ketua DPR. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra juga ada di sana dengan wajah tanpa senyum.

Apa yang disampaikan Presiden setelah bertemu pimpinan DPR di Senayan Selasa lalu membuat banyak orang bertanya-tanya. Kata Presiden, dirinya tidak pernah melarang anggota kabinetnya menghadiri undangan rapat kerja dari parlemen. Padahal baru dua hari sebelumnya koran-koran terbit dengan kepala berita yang menyentak. Menteri Yusril Ihza Mahendra mengutip Presiden Yudhoyono meminta agar para menteri tidak dulu datang ke parlemen, menunggu lembaga legislatif itu menyelesaikan konflik internal yang tengah membelit mereka (lihat, Panas-Dingin di Gedung Bulus).

Larangan Presiden itu membuat banyak orang takut. "Ini bisa dianggap (Presiden) membuat konfrontasi terhadap DPR," kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.

Kini keterangan itu diralat Presiden. Yusril dikorbankan? Atau, adakah ia memelintir ucapan Presiden?

Jimly Asshiddiqie, yang bersama Yusril membuat konferensi pers yang kontroversial itu, diserbu anggota parlemen dari kubu Kebangsaan. Mereka mencari tahu: apa sebenarnya yang terjadi? Soalnya, konferensi pers itu dilakukan setelah keduanya bertemu dengan Presiden Yudhoyono. Jimly bersumpah tak pernah mengusulkan kepada Presiden supaya melarang anggota kabinet datang ke DPR.

Kepada Tempo, Jimly bercerita. Katanya, saat bertemu Presiden, ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di DPR ini masalah internal parlemen. Ia pun berharap agar lembaga di luar DPR tidak cawe-cawe. Sebab, menurut dia, ada indikasi kuat masalah ini akan ditarik agar lembaga di luar DPR ikut campur. "Berbahaya kalau sampai terjadi konflik antar-lembaga negara," ujarnya.

Menurut Jimly, saat itu Yusril memang ikut mendampingi Presiden, tapi ia datang lambat. Seusai acara, Jimly bersama Yusril melakukan jumpa pers. Saat Yusril berdialog dengan wartawan, Jimly pamit. Di situlah Yusril mengatakan Presiden menginstruksikan agar semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan kepala lembaga pemerintah non-departemen tidak menghadiri undangan-undangan rapat dari DPR. "Pemerintah memutuskan menunggu perkembangan yang terjadi di DPR sampai masalah internal terselesaikan," kata Yusril.

Yusril memang tak menggunakan kata melarang. Tapi keterangan "untuk tidak menghadiri undangan-undangan rapat dari DPR" membuat Jimly terhenyak. "Ini bahaya," kata Jimly. Apalagi, kata Yusril, pemerintah akan mengeluarkan surat edaran kepada jajaran kabinetnya agar tidak menghadiri undangan dari komisi-komisi DPR. Jimly menduga surat itu sudah dirancang beberapa waktu sebelum pertemuannya dengan Presiden (lihat Wawancara dengan Jimly).

Keesokan harinya, entah karena gusar atau panik, SBY mengontak Agung untuk bertemu pim-pinan DPR hari itu juga. Saat itu dia bersama para Wakil Ketua DPR tengah menerima kunjungan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Dan betul. Pukul 13.00 WIB, SBY didampingi Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Koordinator Polkam dan Hukum, Widodo A.S., tiba di Gedung MPR/DPR. Kedatangan Presiden yang mendadak itu kabarnya mengacaukan agenda harian Presiden Yudhoyono. Kedua lembaga melakukan pertemuan tertutup selama 45 menit. Setelah itu, keduanya membuat konferensi pers bersama. Selain menyangkal pernyataan Yusril, Presiden menyatakan harapan agar masalah internal ini bisa selesai secepat mungkin.

Yusril tak mau banyak bicara. Sambil bergegas menuju mobil dinasnya, ia berujar singkat, "Memang tak pernah ada larangan." Lalu, wus..., mobilnya berangkat bersama rombongan Presiden.

Sengkarut yang hiruk itu untuk sementara reda, tapi tidak di Gedung DPR. Telah hampir sebulan lembaga legislatif itu ricuh. Koalisi Kebangsaan—persekutuan penentang pemerintah SBY yang dimotori Golkar dan PDIP—berniat menyapu bersih posisi pimpinan komisi di lembaga itu. Koalisi Kerakyatan, yang pro-Presiden, menentang dengan memboikot sidang. Belakangan, Kerakyatan membuat komisi sendiri bernama Gabungan Kelompok Fraksi atau Gapoksi

"Perang Bubat" antara dua kubu ini bermula dari kekecewaan kubu Kerakyatan terhadap pimpinan DPR yang tak menaati kesepakatan rapat konsultasi 19 Oktober 2004. Dalam rapat itu, 10 fraksi sepakat pemilihan pimpinan 11 komisi dan lima badan DPR dilakukan secara proporsional, bukan melalui voting. Dengan sistem proporsional ini, 10 fraksi kebagian jatah pimpinan, tak peduli fraksi besar maupun kecil.

Namun, karena adanya perubahan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dari Mahfud Md. ke Ali Masykur Musa, pada rapat konsultasi 21 Oktober, fraksi nahdliyin itu mempersoalkan kesepakatan sebelumnya. Fraksi Kebangkitan Bangsa, yang memperoleh 52 kursi DPR, cemburu dengan Fraksi Partai Amanat Nasional, yang dengan modal 53 kursi mendapat jatah dua posisi ketua dan lima wakil ketua. PKB sendiri hanya memperoleh satu ketua dan empat wakil ketua.

Rapat buntu. Merasa jalan musyawarah tak bisa dilakukan, pimpinan rapat, Agung Laksono, langsung menawarkan jalan kedua: voting. Sistem voting ini sedianya akan ditawarkan dalam sidang paripurna yang digelar pada 25 Oktober 2004. Namun, Koalisi Kerakyatan minta agar paripurna ditunda sehari. "Rapat konsultasi ini bukan untuk mengambil keputusan. Jadi, bisa saja bila ada yang mempersoalkan jalan musyawarah yang sudah kita tempuh diganti voting," kata Agung Laksono (lihat Tempo 1 November 2004).

Agung benar. Sesuai dengan tata tertib DPR, mekanisme voting memang tidak diharamkan jika musyawarah menemui jalan buntu. Tapi Koalisi Kerakyatan bergeming: mereka lalu memboikot sidang.

Di sini persoalan bertambah ruwet. Kebangsaan kemudian mengubah tata tertib DPR agar sidang-sidang mereka yang tak mencapai kuorum tetap dianggap legal "Di tatib jelas kok keabsahan itu bila dihadiri separuh fraksi. Sidang yang mereka gelar itu tidak sah," ujar Lukman Hakim Saifuddin, Sekretaris Fraksi PPP, salah satu pengikut Kerakyatan (lihat, Perang Tanding Pasal-Pasal).

Kebangsaan jalan terus. Posisi ketua dan wakil ketua komisi tetap mereka bagi-bagi. Perinciannya: Golkar merebut tujuh ketua dan sembilan wakil ketua, PDI Perjuangan mendapat lima ketua dan 11 wakil ketua, PKB mendapat tiga ketua dan sembilan wakil ketua, Partai Damai sejahtera dan Partai Bintang Reformasi masing-masing lima wakil ketua. Dua posisi pimpinan semula sempat dijabat wakil dari PAN—partai pendukung Kerakyatan. Namun, Jumat kemarin, dua orang dari PAN itu mengundurkan diri. Presiden, melalui Yusril, ketika itu menyambut baik terbentuknya alat kelengkapan DPR.

Tapi tak ada persoalan yang tak ada jalan keluarnya. Sumber Tempo di Koalisi Kebangsaan yang ikut dalam pertemuan DPR dengan Presiden SBY menyebutkan, dalam pertemuan itu Susilo minta agar masalah ini bisa segera selesai. "Saya kan juga dekat dengan para tokoh Koalisi Kerakyatan," kata SBY seperti ditirukan sumber Tempo tersebut.

"Intinya, SBY minta agar pimpinan komisi itu dibagi secara layak," kata sumber lainnya.

Usai pertemuan itu pimpinan DPR pun segera berembuk. Hasilnya: posisi 16 ketua badan DPR dan 48 wakil ketua, yang sebagian besar sudah terisi, harus dibongkar ulang. Untung-ruginya dihitung lagi. Soalnya, sudah jadi rahasia umum bahwa posisi pimpinan fraksi sangat strategis. Selain ia bisa dijadikan "tambang duit", komisi parlemen juga signifikan untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemerintahan. Tak lama setelah Susilo dipastikan memenangi pemilu Oktober lalu, terdengar kabar bahwa lawan politiknya di DPR akan menghentikan pemerintahan Susilo dalam waktu setahun.

Sumber Tempo di Kebangsaan membisikkan tiga posisi ketua dan 12 wakil ketua akan diserahkan untuk Koalisi Kerakyatan. "Golkar, PDIP, dan PKB masing-masing merelakan satu posisi ketua," kata sumber itu.

Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, membenarkannya. Formulasi itu, kata dia, sudah dikomunikasikan kepada lima fraksi di Koalisi Kerakyatan. Koalisi Kebangsaan sendiri sampai Rabu sore masih terus membahas langkah selanjutnya. "Kami masih membahas komisi apa saja yang akan diberikan ke Kerakyatan," ujar Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini. Sumber lainnya menyebutkan Ketua DPR sudah menyampaikan formulasi itu kepada SBY dan Jusuf Kalla. "Tanggapan mereka kelihatannya bagus," ujar sumber itu.

Tapi Kerakyatan tak langsung tergiur oleh tawaran itu. Ketua Fraksi Partai Demokrat, Soekartono Hadisuwiryo, me-ngatakan formulasi yang ditawarkan kepada mereka terus berubah-ubah. Semula tiga ketua dan sembilan wakil ketua, lalu berubah menjadi tiga ketua dan 12 wakil. "Bola ada pada mereka. Kami menunggu sampai fixed, dan kami menunggu pernyataan tertulis agar kami tak dikhianati lagi," ujarnya.

Lukman idem dito. Katanya, jatah yang diberikan belum menyelesaikan masalah. "Kita mau proporsional. Emang kita subordinat, pake dijatah-jatah?" katanya ketus. Koalisi Kerakyatan juga memberikan satu syarat lagi: perubahan tata tertib DPR harus dicabut.

Dengan kata lain: dalam beberapa hari ini "Perang Bubat" tampaknya belum akan segera surut.

AZ/Fajar W.H., Sapto Pradityo, Ecep S. Yasa


Panas-Dingin di Gedung Bulus

10 Oktober Fraksi-fraksi yang tergabung dalam kubu Kebangsaan mengusulkan penambahan komisi, yang semula sembilan, menjadi 11.

11 Oktober Rapat konsultasi pimpinan dan fraksi DPR sepakat membahas surat Presiden Megawati soal pemberhentian Panglima TNI ke rapat paripurna DPR.

15 Oktober Rapat paripurna DPR menyerahkan pembahasan surat Presiden ke Komisi I DPR. Sebelumnya, muncul pula pendapat agar soal ini dibahas dalam Panitia Khusus DPR.

18 Oktober Rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi menyepakati pemilihan pemimpin komisi berdasarkan hitungan proporsional jumlah kursi tiap fraksi.

24 Oktober Lima fraksi dari kubu Kerakyatan bertemu di Hotel Darmawangsa. Mereka sepakat akan meminta pemilihan pimpinan fraksi DPR dilakukan dengan musyawarah.

25 Oktober Fraksi-fraksi kubu Kebangsaan rapat di ruang Fraksi Golkar. Mereka membahas skenario mengantisipasi aksi boikot dengan mendekati PPP dan PAN.

26 Oktober

  • Kubu Kerakyatan memboikot rapat paripurna DPR untuk memilih pimpinan komisi dengan tak mau ikut rapat.
  • Ketua DPR Agung Laksono mempertemukan pimpinan 10 fraksi di DPR.

27 Oktober

  • SBY mencabut surat presiden sebelumnya soal pergantian Panglima TNI dan menetapkan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai panglima yang baru. Surat itu dibacakan dalam rapat paripurna DPR dan disambut reaksi keras oleh peserta rapat.
  • Kubu Kerakyatan tak menghadiri rapat paripurna DPR. Rapat tetap mengesahkan pembentukan panitia khusus untuk merevisi tata tertib DPR soal persyaratan kuorum. Rapat secara sepihak juga mengesahkan partner kerja komisi, mengesahkan nama-nama anggota komisi, dan badan kelengkapan DPR. Posisi untuk lima fraksi dikosongi.
  • Kubu Kerakyatan melobi Ketua DPR Agung Laksono di Hotel Mulia. Mereka mempersoalkan rapat paripurna yang tetap berlangsung, meski tak dihadiri lima fraksi. Mereka menganggap keputusan itu tak sah dan meminta rapat pemilihan pimpinan komisi ditunda.
  • Kubu Kebangsaan menggalang penggunaan hak interpelasi kepada Presiden Yudhoyono.

28 Oktober

  • Rapat Paripurna DPR yang dihadiri fraksi kubu Kebangsaan plus Fraksi Kebangkitan Bangsa secara sepihak memilih pimpinan komisi.
  • Kubu Kerakyatan bertemu pimpinan DPR. Mereka menyampaikan permintaan daftar nama anggota fraksi dalam komisi dan meminta sidang pemilihan ditunda lagi.
  • Kubu Kebangsaan tetap meneruskan rapat pembentukan komisi. Alvin Lie dan Sujud Surojudin dari PAN, yang hadir dalam rapat itu, didaulat menjadi Wakil Ketua Komisi VII dan Komisi IV.

29 Oktober

  • Kubu Kerakyatan mengajukan mosi tidak percaya kepada pemimpin DPR. Mereka juga meminta pemerintah tak memenuhi undangan komisi bentukan kubu Kebangsaan.
  • SBY bertemu pimpinan DPR di Istana Merdeka.

30 Oktober

  • SBY menelepon Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, berbicara soal kondisi DPR.

01 November

  • SBY bertemu Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, di Istana Merdeka.
  • Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan Presiden SBY meminta semua menteri kabinetnya tak menghadiri undangan rapat dari DPR sampai DPR menyelesaikan persoalan internalnya.
  • Kubu Kerakyatan menggelar rapat paripurna dan membentuk komisi tandingan dengan nama Gabungan Kelompok Fraksi. Aksi mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR diteken 233 anggota.
  • Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie bertemu pimpinan Koalisi Kerakyatan.
  • Alvin Lie mundur dari kursi Wakil Ketua Komisi VII.

2 November

  • Kubu Kebangsaan mengecam sikap Presiden soal larangan terhadap menterinya hadir dalam sidang DPR.
  • Jimly Asshiddiqie bertemu Agung Laksono di DPR.
  • SBY dan Kalla ke DPR, menemui pimpinan DPR.
  • SBY membantah telah melarang menterinya hadir dalam sidang-sidang DPR.
  • Sejumlah pentolan kubu Kebangsaan bertemu dengan kubu Kerakyatan membahas tawaran pembagian kursi ketua komisi.

3 November

  • Agung mengaku tengah melobi sejumlah petinggi kubu Kerakyatan untuk mencairkan suasana.
  • Gabungan Kelompok Fraksi, yang dibentuk kubu Kerakyatan, memilih melakukan kunjungan kerja, sedangkan kubu Kebangsaan melakukan rapat komisi.
  • DPR melayangkan surat panggilan kepada KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu untuk memberikan paparan visi dan misinya sebagai calon Panglima TNI.

Perang Tanding Pasal-Pasal

Argumentasi Koalisi Kebangsaan

Pasal 36 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan komisi menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pasal 37 Pimpinan komisi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi. (Artinya, bisa di-voting atau dimusyawarahkan, tergantung kesepakatan di dalam komisi—Red.)


Argumentasi Koalisi Kerakyatan (Koalisi Kebangsaan dianggap sewenang-wenang mengubah tata tertib.)
Tata Tertib LamaTata Tertib Baru
Pasal 97: (1) Ketua rapat membuka rapat apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat telah hadir lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi. (2) Apabila pada waktu yang ditentukan belum dihadiri oleh separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi, sebagaimana dimaksud ayat (1), ketua rapat mengumumkan penundaan pembukaan rapat. Pasal 97: (1) Ketua rapat membuka rapat apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat telah hadir lebih dari separuh jumlah anggota rapat. (2) Apabila pada waktu yang ditentukan belum dihadiri oleh separuh jumlah anggota rapat, sebagaimana dimaksud ayat (1), ketua rapat mengumumkan penundaan pembukaan rapat.
Pasal 203: (1) Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi. Pasal 203: (1) Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat.
Pasal 206: Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 203 Ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir. Pasal 206: Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 Ayat (1), dan disetujui oleh semua yang hadir.
Pasal 209: (1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 Ayat (1), dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir.Pasal 209: (1) Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 Ayat (1), dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir.
Sumber: Tata Tertib DPR, 2004

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus