Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK kubu Koalisi Kerakyatan, yang pro-Presiden SBY, versus Koalisi Kebangsaan, yang dimotori Partai Golkar dan PDI Perjuangan, memuncak pekan ini. Pemicunya adalah pernyataan Presiden SBY, yang disampaikan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza, yang melarang para menteri menghadiri sidang-sidang di DPR. Pernyataan itu diucapkan Yusril Ihza sesaat setelah Presiden SBY bertemu Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
Benarkah guru besar tata negara UI ini melakukan mediasi? Berikut petikan wawancara Widiarsi Agustina dan Fajar W.H. dari Tempo dengan Jimly, orang Palembang berusia 48 tahun itu, di rumahnya di kawasan Pondok Labu, Selasa malam lalu.
Bagaimana Anda melihat konflik di DPR?
Ini bukan konflik, melainkan konsekuensi logis dari berubahnya sistem ketatanegaraan. Kita sudah menerapkan sistem pemilihan yang berbeda dalam memilih presiden dan anggota parlemen. Di satu sisi, mayoritas rakyat memilih si A sebagai presiden. Tapi di parlemen, jawara yang dipilih rakyat bukan orang-orang si presiden. Itulah yang tecermin dari pengelompokan Koalisi Kerakyatan (yang mendukung Presiden SBYRed.) versus Koalisi Kebangsaan. Repotnya, dua kelompok ini sejak awal sama-sama pasang kuda-kuda.
Maksudnya?
Misalnya saja soal penyusunan kabinet, sudah terjadi polarisasi. Sejumlah tokoh yang dikenal berseberangan suara dengan Koalisi Kebangsaan dipilih. Ini artinya sejak awal memang sudah membuka front. Lalu, hari pertama kerja, Presiden sudah mengirim surat soal panglima. Disadari atau tidak, sudah menggambarkan adanya front, adanya positioning.
Sikap DPR?
Di parlemen juga begitu. Sejak awal penyusunan komisi sudah terjadi grouping. Misalnya, kenapa pemilihannya dengan sistem paket. Tentu alasannya karena ingin sapu bersih. Jadi, sudah sama-sama buka front, positioning-nya hitam dan putih. Masalahnya semakin rumit ketika menyangkut pembagian proporsi kepemimpinan komisi. Yang satu jalan terus, satunya memboikot rapat. Jadi, keputusan tak bisa diambil karena tak kuorum. Tapi, kalau terus-terusan begitu, DPR tak pernah kerja.
Kondisi konflik sekarang?
Koalisi Kerakyatan mencari dukungan eksternal dengan melakukan tekanan melalui media dan melibatkan pemerintah. Bahkan mereka mengancam akan mengadukan (lawannya) ke Mahkamah Konstitusi. Jadi, sebetulnya ini permainan politik. Saya juga membaca, Presiden dalam hal ini dilibatkan dan secara sadar ingin melibatkan diri karena merasa kepentingannya terganggu. Salah satunya seperti apa yang disampaikan Menteri Sekretaris Negara itu. Bahwa soal bungkusnya kurang rapi, itu soal kedua.
Jika masalah politik, kenapa Mahkamah Konstitusi terkesan proaktif melakukan mediasi?
Mereka yang terlibat konflik itu menghubungi dan datang kepada saya, Senin malam lalu, karena merasa tak ada jalan keluar. Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), saya tak punya kepentingan untuk memihak siapa pun. Sebagai hakim, kami enggak boleh terlibat dalam kutub-kutub politik. Kami juga sadar penuh tugas-tugas MK adalah menjaga konstitusionalitas undang-undang, memutus perselisihan hasil pemilu, memutus pembubaran parpol, memutus impeachment, dan memutus sengketa lembaga negara. Nah, tugas yang terakhir itu relevansinya. Bagaimanapun, kami bertugas mengawal konstitusi dan proses demokratisasi. Jangan demokrasi yang baru satu minggu sudah mati muda.
Bagaimana dengan pertemuan Anda dengan Presiden?
Sabtu pekan lalu, Presiden menelepon saya. Beliau menyampaikan pandangan-pandangannya soal situasi, lalu menyinggung soal DPR. Tapi, karena ponsel saya tak begitu baik menerima, kami sepakat bertemu. Beliau menawarkan hari Senin lalu. Nah, pada hari itu beliau memang menanyakan soal DPR. Saya sampaikan bahwa itu masalah internal DPR karena tak bisa smooth membagi kepemimpinan komisi. Juga tak bisa ditutup-tutupi adanya pertarungan kepentingan saat membagi proporsi kepemimpinan komisi. Karena ini internal DPR, MK sebagai lembaga peradilan tak akan melibatkan diri.
Waktu itu Anda sendiri atau ada Menteri Sekretaris Negara?
Seingat saya, Yusril baru masuk ketika pembicaraan sudah separuh, waktu saya menyarankan sebaiknya masalah dipahami secara proporsional sebagai akibat perubahan sistem. Masyarakat perlu penjelasan agar tidak ikut tegang dan tidak larut dalam polarisasi.
Saya sampaikan juga bahwa materi ini yang akan saya sampaikan ke pers setelah pertemuan. Bahwa kemudian Mensesneg menyampaikan seperti itu setelah pesan-pesan saya, saya juga kaget.
Soal kehadiran menteri di DPR, apakah itu juga disampaikan SBY?
Tidak. Tapi, menurut saya, tak mungkin Mensesneg punya beleid sendiri. Mungkin saja, sebelum ada pertemuan dengan saya, sudah ada kebijakan seperti itu. Hanya tidak disampaikan kepada saya. Mungkin lo. Tapi, yang jelas, yang saya katakan itu berkebalikan dengan yang dikatakan Mensesneg. Saya sampaikan pentingnya kita tidak menambah ketegangan. Jadi, baik DPR maupun pemerintah jangan memperluas dan memperuncing masalah. Padahal pernyataan itu justru memperuncing.
Bagaimana dengan pertemuan pimpinan DPR?
Sebelum bertemu Presiden, saya juga bicara dengan Ketua DPR per telepon. Saya tanyakan soal DPR dan, menurut beliau, masih banyak opsi. Artinya ada optimisme masalah ini bisa diselesaikan. Saya hargai juga pertemuan Presiden dengan Ketua DPR. Saya yakin peluang penyelesaian itu masih ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo