Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Ada yang berubah dari cara Andi Primabudi, 29 tahun, menjalani hobinya. Sejak punya Xbox Series X pada akhir 2020, dia tak lagi jorjoran membeli game konsol. “Hampir semua game yang ingin saya mainin ada di Game Pass,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Game Pass adalah layanan video game berlangganan dari Microsoft. Dengan membayar US$ 10, atau hampir setara dengan Rp 150 ribu per bulan, pelanggan bisa memainkan lebih dari seratus judul game di Xbox dan PC. Mirip seperti Netflix bagi penggemar film. Sony menyuguhkan layanan yang sama bagi pemilik PlayStation, pesaing utama Xbox di industri konsol game, lewat PS Plus Deluxe mulai Mei lalu. Bayarannya lebih-kurang sama, hampir Rp 1,5 juta per tahun. Tapi dengan pilihan game lebih sedikit, sekitar 50.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Game Pass di Xbox. Istimewa
Saat memboyong Xbox Series X, Andi Primabudi mendapat akses Game Pass gratis selama tiga bulan. Warga Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu menghabiskan waktu luang dengan bermain Control dan Star Wars Jedi: Fallen Order. “Saya sebelumnya telah mendengar soal Game Pass, tapi baru saat itu merasakan betul enaknya,” kata Hiro—panggilan Andi.
Karyawan perusahaan marketplace tersebut kemudian melanjutkan berlangganan tahunan. Sejak saat itu, frekuensi belanja game-nya merosot. Apalagi di PS5, koleksi konsolnya yang lain, dia juga berlangganan PS Plus Deluxe. Dalam dua tahun, Hiro hanya membeli 11 game. Itu pun sebagian karena godaan diskon 50 persen lebih. Judul terakhir yang dia beli adalah Xenoblade Chronicles 3 pada akhir Juli lalu—game eksklusif Nintendo Switch, produsen ketiga di industri konsol dan tidak memiliki layanan berlangganan. “Itu pun belum sempat dimainkan,” ujarnya.
Pergeseran tren pembelian game dirasakan secara global. Microsoft dan Sony melaporkan penjualan game mereka merosot di tengah pertumbuhan aspek lain di perusahaan. Paul Tassi, penulis rubrik game di Forbes, menyatakan penurunan penjualan game ini merupakan kejadian tak lazim di industri yang diprediksi terus tumbuh beberapa tahun mendatang.
Pendapatan Microsoft dari sektor game turun 7 persen pada kuartal terakhir. Selain dari software, pemasukan dari penjualan hardware dan jasa servis mereka turun. Angka yang naik hanyalah jumlah pelanggan Game Pass, tanpa disebutkan angkanya.
Di Sony, perubahan terlihat lebih kasatmata. Pada kuartal terakhir, raksasa elektronik asal Jepang itu menjual 47,1 juta game PS4 dan PS5, turun jauh dari 63,5 juta pada kuartal kedua 2021. Perusahaan juga menurunkan prediksi penjualan PS5 untuk tahun depan.
Paul Tassi menunjuk tiga faktor yang menyebabkan anjloknya penjualan game. Pertama, Game Pass. Keputusan Microsoft untuk menggelontorkan semua game buatan mereka (first party) ke layanan ini membuat pelanggan tak lagi merasa butuh membeli game. Akses Game Pass ke PC juga membuat pelanggan tak lagi membutuhkan konsol.
Xbox. Shutterstock.
PS Plus Deluxe milik Sony belum masuk hitungan seperti Game Pass karena baru diluncurkan pada Mei lalu. Menurut Tassi, pelemahan penjualan game PlayStation akibat konsol itu sangat bergantung pada game buatan sendiri. Masalahnya, game first party mereka, seperti Gran Turismo, tidak semoncer yang diharapkan. Sempat ada harapan lewat Horizon Forbidden West saat diluncurkan pada 18 Februari 2022. Namun hype game action ini hanya bertahan satu pekan akibat dilibas kehadiran Elden Ring, judul yang mendapat penilaian sempurna oleh mayoritas kritikus dan media game.
Faktor lainnya, Tassi melanjutkan, adalah kondisi pasca-pandemi dan pengaruh inflasi. Penggemar telah banyak mengalokasikan uang untuk game pada masa lockdown. Anggaran tersebut kini bergeser ke pos lain, seperti kebutuhan sekolah.
embed
Beli Game untuk Koleksi
Irfan Zidni dan memorabilia gamenya. Dokumentasi Pribadi.
Meski demikian, ada saja penggemar yang tetap berbelanja game, meski sudah punya Game Pass dan PS Plus Deluxe. “Karena tidak semua game yang saya tunggu ada di layanan tersebut,” kata Irfan Zidni, 29 tahun, warga Koja, Jakarta Utara. Dia baru saja membeli Thymesia dan Saint Row 5 di PS5, yang dirilis pada 18 dan 23 Agustus lalu.
Irfan punya alasan lain untuk tetap membeli game, yaitu memenuhi hasrat mengumpulkan barang koleksi yang dijual bersama game edisi fisik. Irfan, misalnya, tetap akan membeli A Plague Tale: Requiem meski bisa ia mainkan tanpa biaya via Game Pass saat dirilis pada 18 Oktober lalu. “Karena dengar-dengar ada versi collectors edition-nya,” ujar karyawan badan usaha milik negara tersebut. Dia juga menantikan The Last of Us Part 1 yang akan dirilis untuk PS5 pada Jumat, 2 September 2022.
REZA MAULANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo