Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA orang siswi sekolah setingkat SMA itu duduk berdampingan menatap layar monitor masing-masing. Euis dan Dewisebut saja nama mereka begitubertukar pandang sejenak. Mereka ingin berkirim surat elektronik. Dengan ragu, Euis mengetik nama rekannya di kotak "to": Dewi. Sedangkan Dewi, yang kini mendapat inspirasi, menulis dengan cekatan di kotak "to": Euis.
Cuma itu? Ya, cuma itu. Mereka tak membubuhkan tanda @ dan nama domain (misalnya @yahoo.com) dari alamat penerima, yang menjadi keharusan dalam berkirim surat elektronik. "Saya sedih sekali melihatnya. Ini memprihatinkan," tutur Judith M.S., Ketua Presidium Asosiasi Warnet Indonesia (Awari), tentang kejadian yang disaksikannya di Bandung pekan silam. "Sementara setiap hari kita selalu bicara bluetooth, MMS, dan istilah rumit lainnya," tambahnya dengan nada gundah.
Euis dan Dewi adalah dua dari 7.363 peserta program Internet Goes To School (IG2S) tahap II, yang digulirkan Telkom Divisi Regional III, mulai 9 Agustus sampai 8 September 2004. Program ini berlangsung di 16 lokasi di delapan wilayah Kantor Daerah Telkom, yaitu Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Subang, Garut, dan Rangkasbitung.
Untuk menggelar acara seramai itu, Telkom tak perlu berkeringat karena hanya mengeluarkan dana sekitar Rp 750 juta.
Sebagai alat bantu belajar, Telkom menyediakan 250 PC baru dengan prosesor Pentium IV, yang kelak digunakan perusahaan itu untuk menggantikan PC mereka yang lama. Materi yang diajarkan meliputi bagaimana membuat, mengirim, dan menerima surat-e, memanfaatkan mailing list, berselancar (browsing) di mesin pencari, sampai chatting dengan ICQ. "Ternyata yang tertarik bukan cuma pelajar, melainkan juga guru dan aparat pemerintah," tutur Mahmur Suriadiredja, Kepala Divisi Regional III Telkom.
IG2S periode pertama berlangsung pada 26 April hingga 31 Mei 2004, yang merupakan proyek uji coba, juga dilakukan oleh Divisi Regional III. Waktu itu jumlah peserta di dua provinsi, Jawa Barat dan Banten, mencapai 11 ribu. Faktor utama yang mendorong diluncurkannya pengenalan dunia Internet kepada dunia sekolah ini adalah hasil survei yang dilakukan oleh Divisi Multimedia Telkom terhadap siswa berumur 17-20 tahun, pada November 2003. "Hasilnya, cuma 2 persen yang menggunakan Internet untuk pekerjaan rumah. Artinya, kalangan pelajar yang memanfaatkan Internet untuk menunjang tugas dari sekolah masih sedikit," ujar Suryatin Setiawan, Direktur Bisnis Jasa PT Telkom, kepada TEMPO.
Angka itu mencemaskan karena menunjukkan betapa belum melek Internetnya para pelajar. Apalagi jika dikaitkan dengan hasil sidang PBB di Jenewa, Swiss, tahun 2003, yang menargetkan separuh penduduk Indonesia akan terkoneksi dengan Internet pada 2015, seperti dilansir dalam situs Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Sebab, kendati dalam 3-4 tahun terakhir ini kenaikan jumlah warung internet (warnet) terasa signifikan, di mata Judith hal itu tak mengesankan. "Yang makin banyak itu game online, dan tak bisa dihitung sebagai warnet," ujar-nya. Sedangkan di lain pihak, tarif pulsa telepon juga terus melambung membebani masyarakat.
Atas dasar itulah Awari dan beberapa elemen masyarakat telematika yang lain mulai mendesak Telkom agar memikirkan pelayanan sosial, terutama pelajar. Caranya, dengan melakukan subsidi silang dari keuntungan yang diperoleh Telkom dari hasil penjualan E-1 (satu line telepon yang dibundel untuk 30 nomor) ke ISP (penyedia jasa la yanan Internet).
Ini memang salah satu lahan gemuk perolehan Telkom. Bayangkan saja, satu paket E-1lebih dikenal masyarakat dengan nomor 0809bisa menerapkan tujuh diferensiasi harga, yang seharusnya sama (flat). Akibatnya, harga pulsa satu menit bisa mencapai Rp 4.000. Keuntungan luar biasa itulah yang disarankan Awari untuk membiakkan warnet dial-up dengan patokan harga Rp 100 per menit. "Dan sekolah menjadi lahan yang potensial, di mana idealnya setiap sekolah memiliki satu mail server sendiri," Judith menambahkan.
Dengan adanya mail server menggunakan nama domain sekolah itu, surat elektronik yang berseliweran antara guru, siswa, dan karyawan di sekolah yang bersangkutan akan bersifat lokal, sehingga penggunaan Internet cukup 15-30 menit per hari. Akibatnya, biaya menjadi murah. Pakar Internet dan telematika Onno W. Purbo menghitung, dengan menggunakan Internet 30 menit sehari, sekolah hanya mengeluarkan Rp 100 ribu sebulan. Ditambah biaya listrik, pemeliharaan sederhana, dan lain-lain, seorang murid di sebuah sekolah dengan jumlah 100 siswa maksimal hanya membayar Rp 2.000 sebulan.
Onno optimistis, bila rencana ini berjalan, 220 ribu sekolah se-Indonesia akan terkoneksi dengan Internet. Itu berarti 48 juta siswa akan semakin mahir berseluncur di mayantara, menyelisik informasi demi informasi hanya dari ujung jari. "Kita bisa menjadi bangsa yang besar di region ini, semua swadaya masyarakat, tanpa perlu utangan dari IDB atau IMF," katanya dalam sebuah kesempatan.
Tapi, sabar dulu. Baik Onno, Telkom, maupun Awari sadar bahwa pembuatan mail server sekolah hanya bisa dilakukan bila pengetahuan dasar Internet sudah dikuasai dengan baik oleh siswa dan guru. Karena itulah program IG2S ini diperkenalkan sebagai langkah awal.
Eloknya, dampak dari meluapnya peserta program periode I langsung menggemukkan pundi-pundi Telkom sendiri. Ada kenaikan sekitar Rp 1,5 miliar setelah IG2S digelar April-Mei lalu. "Tapi, yang jelas, profit bukan merupakan orientasi kami dalam program ini," kata Suryatin. Dari sisi bisnis, unit Internet memang belum memberikan kontribusi besar bagi Telkom, diperkirakan hanya 3 persen untuk tahun 2004.
Meski begitu, patut diperhatikan juga kritik Judith terhadap IG2S. "Infrastruktur yang disediakan Telkom sudah bagus, tapi kurikulumnya harus dimatangkan benar," kata Judith, yang agak kesal melihat chatting dimasukkan sebagai bagian dari pengenalan. "Itu bisa dipelajari sendiri, tidak penting," katanya.
Tak lama kemudian, derai tawanya mengembang. Salah seorang peserta IG2S sudah bisa mengiriminya kabar via surat-e seperti di bawah ini (kalimat dan tanda baca dibiarkan apa adanya, tidak dieditRed.):
hi, bu pha kabar ini saya siptia salah satu siswa dari smk bina warga bandung mau berkenalan dengan ibu lebih jauh atau lebih dekat . mudah-mudahan di perbolehkan.
belajar internet bersama telkom sangat menyenangkan karena bisa mendapatkan teman dan mengenal ilmu pengetahuan lebih banyak lagi .
terimakasih , semoga ibu datang kembali ke sekolah.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo