Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan kayu yang lusuh seluas 16 meter persegi itu sudah buram warna catnya, dimakan oleh hari dan musim. Di halaman depan bangunan, sehelai bendera merah-putih yang tak kalah lusuh berkibar sekenanya di atas tiang kayu. TEMPO tiba di lokasi itu suatu siang tiga pekan silam. Tampak lima orang tengah duduk-duduk santai. Ada yang asyik mendengarkan radio siaran Malaysia. Ada yang sesekali keluar dari pos untuk mengambil selembar surat dari tangan sopir-sopir truk yang melintas.
Inilah salah satu pos penjagaan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Tegak di tepi Pasar Badau di Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pos ini punya fungsi penting, yakni mengawasi lalu lintas kendaraan dan manusia yang keluar-masuk di pintu wilayah perbatasan selama 24 jam.
Ya, 24 jam! Tapi jangan terburu silap oleh angka itu. Jangan pula membayangkan bahwa di dekat-dekat pos kayu tua itu ada tentara pengawas dengan senjata terkokang. Yang ada ya lima orang itu tadi. Tanpa seragamdan lupakan senjata. Toh, para pelintas tahu saja bahwa merekalah petugas resmi di perbatasan itu. Jika dipukul rata, setiap lima menit sekali truk bermuatan kayu gelondongan melewati pintu pos Badau. Ada truk bernomor polisi Indonesia, ada yang Malaysia. Dan, aha, ada juga yang tak berpelat nomor alias bodong.
Kok, bisa? Bisa saja karena para penjaga sama sekali tak memeriksa keabsahan surat-surat ataupun muatan truk. Setidaknya itu yang terlihat selama sepekan TEMPO mondar-mandir di sana. Para sopir truk hanya perlu menyerahkan semacam kupon ke tangan petugas. Selebihnya, silakan meluncur bersama muatan ke wilayah Malaysia. "Saya tidak tahu berapa harga selembar kuitansi bon (kupon) itu," kata Sayudi. Dia salah satu penjaga di pos Badau, sekaligus pegawai honorer Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu. Jawaban serupa dilontarkan seorang pria setengah baya yang tampak gerah oleh pertanyaan TEMPO perihal kupon.
Tak jauh dari tempat itu, berdiri satu pos "tandingan". Beberapa warga, sebagian adalah suku Dayak Iban, mengutip bayaran dengan kupon serupa. Alasan mereka, truk-truk itu melewati tanah adat, jadi harus membayar. TEMPO mendapatkan informasi, harga kupon di pos penjagaan itu bergerak antara Rp 50 ribu dan Rp 100 ributergantung jumlah kayu yang dijejalkan di dalam bak truk. Kupon itu biasanya dikeluarkan oleh cukong pemilik perusahaan ekspedisi.
Kertas-kertas berbentuk segi empat itu kemudian ditukar dengan uang senilai angka yang tertera di atasnya. Memang kutipan resmi, tapi amat besar peluangnya untuk diselewengkan. Caranya? Truk besar yang seharusnya membayar Rp 100 ribu untuk kupon cukup menyetor Rp 50 ribu saja. Hal itu terjadi lantaran para penjaga sama sekali tidak menelisik muatan kendaraan.
Polisi bukannya tidak ada. Sekitar 400 meter dari pos Badau, ada Kantor Kepolisian Sektor Nanga Badau. Resminya, mereka ikut menjaga wilayah perbatasan. Tidak resminya? Simak apa yang disaksikan wartawan mingguan ini: suatu ketika, seorang polisi berbaju preman mendatangi pos Badau. Penegak hukum itu meminta agar salinan kupon dikirim ke Kantor Polsek. Dari isi pembicaraan mereka, sepertinya ini "kerja sama rutin". Artinya apa? Polisi itu menanyakan berapa jumlah kupon hari itu.
Dari pengamatan TEMPO, polisi cenderung melewatkan saja kendaraan-kendaraan pelintas. Celakanya, truk tanpa pelat nomor pun dibiarkan lolos zonder diperiksa. Dan tak ada sekadar tanya-jawab apakah kayu yang diangkut adalah hasil penjarahan hutan atau penebangan resmi. Mardi (bukan nama sebenarnya), seorang sopir truk asal Wonogiri, mengaku kepada TEMPO bahwa muatan kayu di truknya adalah hasil jarahan hutan di kawasan Kapuas Hulu: "Saya diberi upah 60 ringgit Malaysia (sekitar Rp 140 ribu) sekali jalan untuk membawa kayu itu dari Nanga sampai ke Kamp Sawit (satu daerah di perbatasan MalaysiaRed.)."
Mardi memperkirakan ada 200 truk bermuatan kayu gelondongan melintasi perbatasan menuju wilayah Malaysia. Tentu saja isi truk-truk itu tidak melulu barang gelap. Toh, dari data sederhana itu saja bisa kita hitung berapa ribu pohon di hutan Kalimantan tumbang setiap hari. Taruh kata, satu truk memuat enam gelondong kayu besar, maka ada 1.200 pohon yang ditebang dari kawasan hutan setempat setiap hari.
Tidak mengherankan jika kini hutan di Kecamatan Badau dan Kecamatan Lanjak di Kabupaten Kapuas Hulu banyak yang gundul. Beberapa sopir lain membisikkan bahwa cukong merekatepatnya cukong yang menjarah isi hutanmulai melirik hutan di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum dan Bentuang Karimun.
Satu hal, penjarahan kayu di atas bukan dengan cara petak umpet. Pohon ditebang secara terang-terangan di siang bolong. Wartawan mingguan ini menyaksikan, hampir sepanjang jalan antara Kecamatan Badau dan Lanjak berserakan tumpukan kayu gelondongan. Di antaranya sudah digergaji oleh para penebang. Madun, buruh penebang asal Kabupaten Sambas, mengaku bahwa kayu itu diambil dari pohon di kawasan Kapuas Hulu. Menurut dia, papan kayu hasil gergajian itu nantinya akan dibawa ke tempat penampungan milik warga Malaysia.
Kondisi serupa berlangsung di perbatasan Entikong, Kalimantan Barat, dengan Tebedu, Malaysia. Kendati ada pos pemeriksaan lintas batas (PPLB), pengecekan di sini juga tergolong lunak. Para pelintas yang bermobil tidak digeledah laiknya orang yang melewati perbatasan negara. Cukup buka jendela kaca mobil, sedikit senyum, langsung bisa tancap gas. Gerbang perbatasan pun sederhana saja, hanya berupa rantai panjang melintang, dan dijaga seorang petugas.
Sekali waktu, sebuah truk bermuatan kayu melintas. Alih-alih mengecek, petugas jaga malah tak beranjak dari pos yang teduh. Tak mengherankan bila cerita tentang suap-menyuap meruap dengan santer. TEMPO menyaksikan seorang sopir memberikan uang "lelah" Rp 50 ribu kepada penjaga yang membuka pintu rantai itu. Ketika seorang wartawan televisi swasta merekam lalu lintas truk di pos itu, satu petugas Direktorat Jenderal Imigrasi serta-merta menegur dan melarang.
Situasi pos Entikong dan Badau hanya satu-dua contoh tentang rapuhnya penjagaan perbatasan Indonesia-Malaysia. Rapuhnya sistem pengawasan di perbatasan ini tidak hanya melahirkan problem penjarahan kayu ataupun hasil hutan lainnya. Ada soal lain yang tak kalah gawat: patok-patok batas wilayah makin menjorok masuk ke tanah Indonesia. Sebagian besar bergeser dan lenyap. Bahkan ada yang menyebut pergeseran itu sampai hitungan kilometer jaraknyaTEMPO memperoleh data itu dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Secara keseluruhan, panjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan merentang sejauh 1.960 kilometer, hampir dua kali panjang Pulau Jawa. Di perbatasan antara Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dan Sarawak, Malaysia, misalnya, sudah ratusan patok hilang dan bergeser. Jaraknya beragam, dari yang hanya 200 meter sampai 3 kilometer masuk wilayah Indonesia. "Saya mendapat laporan dari masyarakat Sambas soal patok yang bergeser," kata Sunarno, Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Tidak jelas siapa yang memindahkan patok-patok tanda kedaulatan sebuah negara itu.
Salah satu versi yang beredar, penduduk sengaja memindahkan patok itu untuk memperoleh tambahan area hutan. Dengan begitu, mereka bebas menebang kayu di hutan tanpa "pemilik". Tudingan ini dibantah Safrani, penduduk Desa Sebubus, Kabupaten Sambas. "Warga di sini tak lagi menebang hutan. Kami hidup dengan cara menjual hasil pertanian," kata dia. Menurut Safrani, warga Sebubus tak akan berani memindahkan patok batas wilayah negara.
Pembatas wilayah itu terdiri atas berbagai jenis dan ukuran. Patok tipe A, misalnya, berupa bangunan tugu yang biasanya dipasang dalam jarak 300 kilometer. Patok tipe B dan C berupa tugu kecil yang ditanam dengan jarak 5 sampai 50 kilometer. Sedangkan tipe D berupa patok kayu yang dipasang dalam jarak 25 hingga 200 meter. Patok jenis C dan D ini yang banyak lenyap atau bergeser.
Warga di sekitar Badau mayoritas dari suku Dayak Iban. Sepintas, mereka tampak tidak peduli dengan batas negara. "Kami tidak ada urusan dengan masalah perbatasan," kata Lampung, salah satu warga Badau. Maklum, sebagian besar dari mereka memiliki hubungan darah dengan warga Lubuk Antu, Malaysia. Menurut pengakuan warga setempat, jangankan paspor, selembar surat keterangan pun tidak diperlukan untuk masuk dari dan ke daerah perbatasan. Polisi Malaysia juga mendiamkan saja. Yang penting, "Bisa berbahasa Dayak Iban," kata Lampung.
Sialnya, instansi yang berwenang pun seperti tidak peduli. Dengar saja pengakuan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, Tri Budiarto, kepada TEMPO: "Untuk apa dipersoalkan (pergeseran perbatasan)? Wong, yang punya kewenangan mengurusi itu tenang-tenang saja." Hingga kini, memang belum ada sikap resmi dari pemerintah baik pusat maupun daerah mengenai pergeseran patok itu.
Departemen Pertahanan pada 1999 sudah menetapkan pembangunan koridor selebar empat kilometer di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Koridor itu dipakai sebagai sabuk pengaman (security belt). Harus diakui, menjaga perbatasan yang sebagian besar berupa gunung dengan ketinggian hingga 2.160 meter di atas permukaan laut bukanlah soal mudah. Lantas bagaimana dengan sikap TNI, garda terdepan penjaga kedaulatan?
Menurut Panglima Daerah Militer VI Tanjung Pura Mayor Jenderal Herry Tjahjana, TNI sudah berusaha sekuat tenaga menjaga wilayah itu. Namun, apa daya, "Personel kami amat terbatas," ujarnya kepada sejumlah wartawan beberapa pekan lalu. Apalagi anggaran yang diberikan kepada tentara juga terbatas. Tidak semua pos penjagaan TNI dilengkapi sarana telepon, apalagi telepon satelit. Padahal alat komunikasi itu penting untuk menghubungkan penjaga pos dengan pusat komando. Klop sudah.
Nun di seberang tanah Indonesia, pemerintah Malaysia terlihat memperlakukan wilayah perbatasannya dengan lebih patut. Setidaknya ada satu divisi tentara yang terbagi dalam tiga brigade di daerah perbatasan. Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya menyuplai satu pasukan setingkat satu brigade (3.000-5.000 orang). Perbedaan mencolok juga terlihat dari kehidupan masyarakat di kawasan itu. Di daerah yang masuk wilayah Malaysia, jalan dan bangunan tertata rapi. Sebaliknya, di wilayah Badau dan Lanjak, mayoritas jalan beralas tanah. Pasar dan bangunan tampak kumuh, tidak teratur.
Kisah-kisah dari perbatasan Kalimantan memang mudah memancing rasa miris. Bayangkan, di perbatasan Badau (Indonesia) dan Lubuk Antu (Malaysia), wilayah kedua negara hanya dipisahkan oleh sebilah kayu bertuliskan Sepadan-Indonesia-Malaysia. Tidak ada pagar atau pintu yang dijaga oleh petugas negara. Siapa pun boleh keluar-masuk. Mau bawa barang apa saja, silakan. Tukang ojek, mobil sewaan, penumpang, dan truk-truk yang mengangkut kayu bebas hilir-mudik dengan santai tanpa perlu repot-repot mengantongi paspor atau dokumen resmi.
Singkat kata, kita tidak seperti tengah melewati perbatasan negara. Suka tak suka, ini ironi yang menggiriskan hati di ambang ulang tahun Indonesia yang ke-59: dua negeri, dua kedaulatan, cuma dipisahkan oleh sebilah kayu yang mulai rapuh dimakan musim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo