Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalur Darat Paniai-Nabire

MASYARAKAT Kabupaten Paniai, Papua, kini mulai lega dan mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah pusat. Sebab, jalan darat sepanjang 270 kilometer dari Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, menuju Kabupaten Nabire mulai difungsikan. Pembukaan jalur itu memberi harapan bagi masyarakat. Berangsur-angsur cekikan harga mulai lepas.

Selama ini harga barang-barang kebutuhan pokok di sana "mencekik leher", naik sampai 300 persen dibandingkan dengan harga di Jayapura. Harga gula pasir di Enarotali sampai Rp 25 ribu per kilogram, beras Rp 25 ribu-Rp 30 ribu per kilogram, dan bensin Rp 25 ribu per liter. Mungkin harga ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tapi, setelah jalur Enarotali-Nabire difungsikan dan sejumlah kendaraan pedagang mulai masuk ke Enarotali, harga barang pun berangsur turun. Gula pasir dan beras menjadi Rp 10 ribu per kilogram, bensin dan minyak tanah Rp 7.000 per liter.

Perlahan tetapi pasti, nasib masyarakat Enarotali bakal berubah. Hasil pertanian dari pedalaman Paniai, seperti nanas, umbi-umbian, kopi, dan jeruk, yang dibawa ke Enarotali dapat diangkut lewat jalan darat ke Nabire dan diteruskan ke Jayapura atau Biak. Dengan berfungsinya jalan darat itu, masyarakat pun mulai belajar berdagang. Kini ada 25 orang dari sekitar 150 ribu penduduk Paniai yang belajar menjual barang-barang kebutuhan pokok seperti gula pasir, beras, dan hasil pertanian di Enarotali.

Dampak lainnya, para siswa lulusan SD dan SMP di Enarotali dapat melanjutkan pendidikan ke SMU di Nabire atau ke perguruan tinggi di Jayapura melalui jalan darat. Sebelumnya, sebagian besar siswa memilih tidak melanjutkan pendidikan karena mereka tak punya biaya transportasi yang cukup besar. Bila seorang siswa Enarotali hendak sekolah di Nabire, itu artinya harus mengeluarkan biaya pesawat rute Enarotali-Nabire Rp 350 ribu. Tiket kapal laut Nabire-Jayapura hanya Rp 150 ribu, tetapi butuh waktu selama dua hari perjalanan.

Jalan itu juga memudahkan masyarakat berobat ke Nabire. Masyarakat yang sakit berat dan sulit ditangani di puskesmas rawat inap di Enarotali dapat dibawa ke rumah sakit umum daerah di Nabire.

Secara jujur saya mengapresiasi kepedulian pemerintah pusat memajukan daerah. Bravo jalur darat Paniai-Nabire!

HERMANUS BABOA
[email protected]


Penjelasan PT Newmont

Sebagai sebuah perusahaan yang bertanggung jawab secara lingkungan, PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) mematuhi semua perundangan dan peraturan yang berlaku, dan juga memenuhi standar lingkungan hidup dan keselamatan kerja di Indonesia. Sehubungan dengan artikel berjudul "Pelaku Pencemaran Teluk Buyat Harus Diadili" di TEMPO Edisi 2-8 Agustus 2004, kami merasa perlu memberikan informasi mengenai keterangan di halaman 96, yang menyatakan, "Tapi staf ahli ahlinya (staf ahli Menteri Lingkungan Hidup) menyatakan bahwa PT Newmont Minahasa tak memiliki studi amdal tahunan".

Kami bermaksud menjelaskan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman mengenai ketentuan pemerintah mengenai hal tersebut. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) harus diselesaikan oleh perusahaan dan disetujui oleh pemerintah sebelum perusahaan bisa memulai konstruksi dan operasi tambang. Studi Amdal tidak diwajibkan untuk dilakukan setiap tahun.

Sebagai catatan, laporan Amdal PT NMR telah disetujui pada 1994. Guna memastikan kepatuhan terhadap perundangan dan peraturan di Indonesia, dan juga analisis-analisis khusus yang terkait dengan Amdal, PT NMR telah melakukan pemantauan secara berkala sesuai dengan persyaratan yang ketat.

Hasil dari data pemantauan tersebut disampaikan ke pemerintah Indonesia setiap tiga bulan sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). PT NMR secara berkala menyerahkan laporan RKL dan RPL ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Walaupun hal ini tampak sepele, para pembaca mungkin bisa memiliki pemahaman yang keliru bahwa PT NMR tidak mematuhi persyaratan lingkungan yang berlaku. Dalam kenyataannya, kami selalu memenuhi tanggung jawab dengan sungguh-sungguh dan berkomitmen menjalankan operasinya secara bertanggung jawab, baik terhadap lingkungan maupun terhadap masyarakat sekitar operasi kami.

Richard Ness
Presiden Direktur PT NMR

Terima kasih atas koreksi Anda.


Perundingan Hoge Veluwe (1946)

PADA 14-24 April 1946, diadakan perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Benteng Hoge Veluwe, Negeri Belanda. Walaupun berakhir gagal, perundingan ini telah meletakkan dasar bagi Perundingan Linggarjati (ditandatangani di Jakarta pada 25 Maret 1947). Pokok-pokok pikiran Sutan Sjahrir yang dibawa ke perundingan Hoge Veluwe antara lain: Republik Indonesia diakui sebagai pengemban kekuasaan di seluruh daerah bekas Hindia-Belanda (Soebadio Sastrosatomo, Revolusi Indonesia, 1994).

Tapi, pada 10 Februari 1946, Van Mook telah mengajukan rencana ke parlemen Belanda antara lain: kewarganegaraan Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di Indonesia. Delegasi Indonesia ke Hoge Veluwe saat itu terdiri atas Dr. Sudarsono, Mr. Suwandi, dan Mr. A.K. Pringgodigdo. Mereka curiga bahwa pihak Belanda mau menjalankan politik memecah belah, yang waktu itu mereka namai "Pembagian Wilayah Hindia-Belanda Gaya Colijn" (Lambert Giebels, Soekarno, 1999).

Pada titik krisis itulah Bung Karno bergerak cepat dengan menandatangani UU No. 3/1946 tentang warga negara dan penduduk negara pada 10 April 1946 di Yogyakarta. Intinya: menetapkan seluruh penduduk bekas Hindia-Belanda sebagai warga negara Indonesia.

Ketajaman berpikir para pemimpin Indonesia ketika itu membuat seluruh upaya pemerintah kolonial untuk menguasai kembali Indonesia jadi sia-sia belaka, baik dengan operasi militer (Agresi Militer I 1947 dan Agresi Militer II 1948) maupun dengan seluruh upaya diplomasi.

Sayang, pencapaian intelektual yang luar biasa itu selama ini seakan-akan dilupakan, dengan menonjolkan keberhasilan fisik semata.

I.H. Kendengan
Taman Alfa Indah, Jakarta Barat


Uang Parkir

PEKAN lalu saya punya pengalaman tidak mengenakkan ketika memarkir mobil di pinggir sebuah jalan di kawasan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Saat saya membayar uang parkir Rp 1.000, tukang parkir ngotot meminta Rp 2.000. Kejadian seperti ini sering saya alami di berbagai tempat ketika memarkir mobil di pinggir jalan. Pertanyaan saya kepada pihak yang berwenang: berapakah tarif parkir mobil di pinggir jalan? Untuk siapakah uang parkir tersebut? Masuk kantong pribadi tukang parkir atau kas pemerintah daerah?

Welnaldi
Jalan Palmerah Utara III/9, Jakarta
[email protected]


Tanggapan Kuasa Hukum Wiranto

PERKENANKAN saya, Zulhendri Hasan, S.H., M.H., salah seorang kuasa hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden, H. Wiranto dan H. Salahuddin Wahid, menyampaikan kritik sekaligus dalam rangka menggunakan hak jawab. Ini berkaitan dengan pemberitaan di Majalah TEMPO Edisi 9-15 Agustus 2004 pada halaman 26, yang saya pandang tidak sempurna, sehingga menghilangkan makna persidangan yang sesungguhnya.

Perlu disadari betul bahwa proses persidangan perselisihan hasil pemilihan presiden, antara Wiranto-Wahid selaku pemohon dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon, yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan tersebut merupakan suatu catatan baru dalam bingkai sejarah ketatanegaraan RI, baik dari sisi institusinya, ruang lingkup sengketa, maupun undang-undang yang mengatur mekanisme persidangan tersebut.

Permohonan Wiranto-Wahid ke Mahkamah Konstitusi bukan bermaksud untuk melegitimasi atau menghalalkan segala cara agar dapat maju ke putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden. Permohonan ini lebih berorientasi pada proses pembelajaran bangsa dalam rangka mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi supremasi hukum, karena kalah atau menang bukan merupakan tujuan utama.

Dalam kesempatan ini saya selaku pribadi menyampaikan bahwa TEMPO telah melakukan pemberitaan yang tidak berimbang dan tidak obyektif sebagaimana peristiwa yang terjadi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Pertama, pada awal persidangan saya menyatakan keberatan atas kehadiran serta hak bicara yang dimiliki setiap unsur KPU, sepanjang mereka tidak mendapat surat tugas dari Ketua KPU. Tapi anggota majelis hakim I Gde Palaguna menyatakan setiap unsur KPU, mulai dari struktur yang paling bawah sampai paling atas, adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai pihak termohon, dan dilanjutkan dengan suara lantang Palaguna, "Saudara kuasa hukum pemohon sudah membaca Undang-Undang MK, belum? Tolong Saudara cabut keberatan Saudara!"

Ketika itu saya menjawab, "Keppres No. 54 Tahun 2003 tentang Pola Organisasi KPU, yang pada intinya dalam hal bertindak ke luar dan ke dalam untuk dan atas nama KPU adalah Ketua KPU. Kemudian Pasal 44 ayat 1 dan 2 UU MK menegaskan dalam hal pemohon atau termohon didampingi selain kuasa hukumnya, maka harus membuat surat khusus untuk itu, yang kemudian harus diserahkan dan ditunjukkan kepada majelis hakim dalam persidangan".

Setelah mendengar dalil yang saya kemukakan tersebut, akhirnya ketua majelis hakim memerintahkan kepada pihak-pihak termohon untuk menunjukkan surat tugas. Tapi sayang hal ini tidak diberitakan secara utuh dan menyeluruh oleh pers (TEMPO), sehingga substansi persidangan di Mahkamah Konstitusi tersebut kehilangan makna yang sesungguhnya.

Kedua, satu hal yang tidak terbantahkan bahwa sikap anggota majelis hakim I Gde Palaguna telah cenderung berat sebelah. Ketika pihak termohon menyampaikan tanggapan atau pemaparan, ia memperhatikan dengan saksama. Saat ada hal-hal yang bersifat merugikan posisi pemohon, Palaguna merespons hal tersebut dengan lantang. Tapi, ketika pihak pemohon sedang menyampaikan tanggapannya, Palaguna sibuk mengajak anggota majelis hakim yang lainnya berbicara dan hal ini terjadi berulang kali.

Ketiga, rekan Amir Syamsuddin, S.H., M.H., selaku kuasa hukum termohon, sempat melontarkan kalimat dengan nada tinggi, bahwa kuasa hukum pemohon tidak mengerti undang-undang. Dia kemudian menunjukkan berita acara yang ada di Provinsi Banten, yang tidak ada keberatan dari saksi pemohon, tapi ditandatangani juga oleh saksi pemohon. Artinya berita acara tersebut sah menurut undang-undang, sehingga tidak perlu dipermasalahkan lagi, demikian tanggapan rekan Amir.

Namun saya pada saat itu menyatakan keberatan langsung atas pernyataan rekan Amir. "Majelis Hakim yang Mulia, kami sangat keberatan sekali atas pernyataan saudara kuasa hukum termohon, justru karena kami mengerti dan memahami undang-undang itu, sehingga kami bisa duduk dan hadir di sini". Kemudian majelis hakim memperingati kuasa hukum termohon, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang bahwa satu sama lain dilarang saling menghujat. Saya lanjut bertanya, "Apakah seluruh berita acara tersebut ditandatangani oleh saksi pemohon?" Rekan Amir tidak menjawabnya.

Saya katakan juga bahwa kami bisa membuktikan bahwa tidak semua berita acara tersebut ditandatangani oleh pihak saksi pemohon. Artinya, ada dua kemungkinan, pertama tidak ditandatangani berita acara tersebut bisa jadi saksi pemohon sudah pulang ketika terjadi penghitungan ulang surat suara. Kedua, bisa jadi saksi pemohon tidak menyetujui penghitungan surat suara tersebut, kalau demikian halnya berarti hal ini dapat dijadikan bukti petunjuk penyimpangan. Namun sayang pers (TEMPO) sebagai sutradara film menyensor tayangan yang menguntungkan posisi pemohon.

Keempat, sebagaimana yang dikutip TEMPO: Zulhendri Hasan, salah seorang anggota Tim, bergidik. Seseorang yang memberikan keterangan palsu bisa dikurung sembilan bulan di penjara. "Data kami memang belum sempurna, tapi tolong kami jangan diancam. Kami jadi ketakutan". Pengunjung sidang lagi-lagi tertawa. Yang jelas saya sedang tidak melucu saat itu dan argumentasi tersebut juga bukan bagian dari komedi. Tapi itu merupakan bagian dari catatan sejarah perjalanan bangsa ini yang sedang disajikan dalam persidangan MK tersebut. TEMPO telah tidak sempurna mengutip argumentasi bahkan menambah dan mengurangi yang sesungguhnya terjadi dalam persidangan.

Jelas itu sangat merugikan posisi saya, baik sebagai pengacara profesional maupun sebagai salah seorang tim kuasa hukum pemohon. Perlu saya jelaskan kronologi yang sebenarnya. Ketika rekan kami Albert Sagala, S.H. menanggapi pertanyaan anggota Majelis Hakim I Gde Palaguna: apakah Saudara punya bukti keberatan dari saksi pemohon, ia menjawab, "Yang tertulis tidak, Majelis Hakim yang Mulia, tetapi bukan berarti kami setuju atas itu semua". Lalu Palaguna menanggapi lagi, "Menurut ketentuan undang-undang harus ada berita acara keberatan dari saksi Saudara secara berjenjang mulai dari TPS, PPK, KPUD Kabupaten/Kota dan KPUD Provinsi." "Betul," sanggah rekan Albert, "Tapi itu idealnya. Kenyataannya telah terbukti adanya ketidaksetujuan/protes para saksi kami di lapangan, akan tetapi tidak ada bukti tertulisnya sebagaimana keterangan saksi perkebunan (PTPN) pada persidangan kemarin."

Perdebatan itu berlanjut dengan pernyataan Palaguna "Saudara jangan memberikan keterangan palsu, karena undang-undang dapat kami gunakan atas keterangan Saudara." Atas pernyataan tersebut saya pada saat itu langsung menyatakan keberatan, "Majelis Hakim yang Mulia, dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, bahwa apa yang kami ungkapkan dan sampaikan dalam persidangan itu adalah upaya maksimal kami, dan perlu digarisbawahi kami punya bukti, akan tetapi masalah waktu yang membuat kami kesulitan, sehingga kami tidak bisa membuktikan secara sempurna sebagaimana keinginan panel ini. Akan tetapi sepenuhnya kami serahkan kepada Majelis Hakim yang Mulia untuk menilainya, setidak-tidaknya apa yang kami paparkan ini merupakan bukti petunjuk adanya penyimpangan. Sebagaimana UU MK bahwa alat bukti bukan hanya saja bukti formal, akan tetapi juga bukti lainnya. Tolong hargai keterangan kami, jangan ada pernyataan majelis hakim yang sifatnya menghambat kebebasan kami berpendapat, sehingga kami merasa terancam dan merasa takut."

Itulah antara lain dinamika persidangan yang begitu menarik dan positif untuk disajikan kepada masyarakat luas, dalam rangka proses pembelajaran demokrasi dan penegakan supremasi hukum. Namun sayang harapan ini sirna seketika ketika pers sudah tidak lagi menjunjung tinggi netralitas dan cover both side dalam pemberitaannya.

Zulhendri Hasan, S.H., M.H.
Salah seorang kuasa hukum pasangan Wiranto-Wahid


Parkir di Taman Puring

SETIAP hari kemacetan di jalanan sekitar Taman Puring, Jakarta Selatan, semakin parah. Ini diakibatkan oleh bertebarannya parkir liar di sekitar taman itu sehingga menyumbat arus lalu lintas. Padahal tanda larangan parkir sudah sangat jelas dipasang di mana-mana. Ironisnya lagi, pelanggaran massal itu berlangsung di sebelah kantor polisi.

Saya jadi curiga, jangan-jangan petugas parkir liar itu "punya setoran" kepada aparat polisi agar operasinya dilegalkan.

ARIEF SUHARDIMAN
Gandaria, Jakarta Selatan


RALAT

Pada Majalah TEMPO Edisi 9-15 Agustus 2004 lalu terdapat kesalahan dalam tulisan di rubrik Lingkungan berjudul ”Dewa-Dewa Kecil Penyelamat Bumi”, di halaman 43. Di sana tertulis Smith Hadad, Direktur Eksekutif Kehati. Yang benar adalah Ismid Hadad. Atas kesalahan ini, kami mohon maaf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus