Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badai kantuk menerpa ruang rapat pleno Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya, Slipi, Jakarta Barat, Kamis dini hari pekan lalu. Beberapa pengurus Golkar tampak menguap menganga. Yang lain keluar dari ruangan mencari udara segar. Sebagian lagi tak tahan: mereka mendengkur pulas di kursi.
Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung mencoba bertahan dengan mengganjal keningnya dengan kedua telapak tangan. Sesekali kepalanya terkulai untuk kemudian, ketika terjaga, ditegakkannya lagi. Upaya Ketua DPP Slamet Effendy Yusuf untuk mempercepat dan mengefektifkan rapat sia-sia saja. Pengurus Golkar yang mendapat giliran bicara tak mempedulikan Slamet yang menatap tajam seraya menunjuk jam tangannyaisyarat agar mereka berhenti bicara.
Dini hari itu, 65 orang anggota DPP Golkar menghadiri rapat pleno untuk membicarakan rencana koalisi menjelang pemilihan presiden periode kedua, 20 September nanti. Sidang maraton itu dilaksanakan untuk menyambut Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar, Minggu, 15 Agustus 2004, yang dilaksanakan di Menara Peninsula, Jakarta.
Karena pentingnya rapat pleno, Akbar membiarkan saja 27 orang urun rembuk tanpa dibatasi waktu. Sehari sebelumnya, 18 orang dari 19 pengurus harian telah menggelar rapat serupa. Akhirnya, tepat pukul 03.30 WIB, rapat pleno tertutup setelah digelar tujuh jam nonstop. "Kami sepakat berkoalisi sebelum pemilu presiden tahap kedua," kata Akbar seusai acara.
Tiga pekan terakhir, pembicaraan tentang urusan dukung-mendukung calon presiden ramai menjadi menu wajib pengurus Partai Beringin. Apalagi, Senin pekan lalu, gugatan sengketa penghitungan suara kandidat presiden Partai Golkar, Wiranto, kepada Komisi Pemilihan Umum ditolak Mahkamah Konstitusi.
Para pengurus Golkar sebenarnya sudah menginsafi kekalahan Wiranto-Salahuddin Wahid sepekan setelah pemilihan presiden putaran pertama berakhir. Sejak saat itu, mereka sudah rajin membina hubungan dengan kubu dua kandidat presiden. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR Ade Komaruddin dan Ketua DPP Mahadi Sinambela, misalnya, lebih suka merapat ke Mega Center, markas tim sukses Megawati Soekarnoputri. Sedangkan Ketua Golkar Marzuki Darusman dan Fahmi Idris lebih senang bergandengan dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski Wiranto kalah, tak aneh kalau pengurus Golkar cukup pede menjalin koalisi. Partai itu adalah pemenang pemilu legislatif 5 April lalu. Beringin berhasil menangguk 21,58 persen pemilih dan mendapatkan 127 kursi DPR. PDI Perjuangan, sang runner-up, hanya mendapat 109 kursi. Adapun Partai Demokrat, yang mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono, kebagian 57 kursi. "Siapa pun presidennya, ia pasti membutuhkan Golkar untuk menjamin kestabilan pemerintah," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar.
Mega dan Yudhoyono menyadari kenyataan itu. Pada 30 Juli lalu, Mega misalnya resmi bertandang ke rumah Akbar di Jalan Widya Chandra III-10, Jakarta. Sebelumnya, mereka juga secara informal telah beberapa kali bertemu. Dalam pertemuan terakhir, kepastian jatah kursi kabinet untuk Golkar ditegaskan. "Tujuh atau delapan portofolio menteri disiapkan untuk Golkar," kata Fahmi Idris (lihat Mengikat Banteng di Akar Beringin).
Untuk memperteguh hasrat PDIP meminang Golkar, seorang pengurus pusat Partai Beringin mengatakan bahwa PDIP juga menjanjikan "uang kadeudeuh" Rp 100 miliar sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan Golkar selama pemilu legislatif dan pemilu presiden periode pertama. "Seperempatnya sudah cair," kata pengurus partai itu. Namun, kata Akbar, "Itu hanya isu." Dwi Ria Latifa, orang kepercayaan Mega, juga menyangkal. "Saya belum pernah mendengarnya," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP itu.
Dari kubu SBY, begitu Yudhoyono biasa disapa, tawaran menteri memang belum jelas dilontarkan. Tapi itu bukan berarti mereka tak menggerilya Golkar. Calon wakil presiden Jusuf Kalla, misalnya, rajin menyambangi Pohon Beringin di daerah (lihat Arus Pusat Vs. Arus Bawah). Sebagai kader Golkar, Kalla masih punya pengaruhterutama di kawasan timur.
Segendang sepenarian, elite Golkar pro-Yudhoyono juga rajin mendatangi sang bekas jenderal. Sehari sesudah pemilu presiden, kader Golkar seperti Sofyan Mile, Burhanuddin Napitupulu, Priyo Budi Santoso, dan Fahmi Idris bertemu dengan SBY di Hotel Mulia. Sikap Fahmi pun sudah terdeteksi ketika beberapa kali ia mengungkap perlunya berkoalisi dengan pasangan Yudhoyono-Kalla.
Akbar bukannya tak tahu itu. Karena itu, dalam rapat evaluasi perolehan suara pemilihan presiden 19 Juli lalu, sikap Golkar menjelang putaran kedua mulai dibahas. Dalam rapat itu, Fahmi mengungkapkan bahwa dirinya mulai didekati SBY. "Bar, saya sudah tiga kali diundang SBY dan Kalla. Tapi, untuk menghormati Wiranto, saya enggak datang," kata Fahmi menirukan perbincangannya dengan Akbar. Sang Ketua Umum pun mengangguk setuju.
Namun, ketika Fahmi dan Marzuki menggelar "rapat gelap" pada 28 Juli dan 8 Agustus lalu, Akbar meradang. Sebab, tanpa memberi tahu Akbar, mereka mengundang beberapa petinggi Golkar pusat dan belasan ketua Golkar provinsi untuk bertemu dengan Kalla. Dalam rapat pengurus harian Rabu dini hari pekan lalu, keduanya dicecar pertanyaan soal pertemuan itu. Tapi Fahmi berkilah. "Ini kan pertemuan antarkader Golkar," ujarnya.
Marzuki lain lagi. Katanya, ia sebenarnya ingin menelepon Akbar. Tapi, karena pertemuan baru berakhir tengah malam, ia baru akan mengabari Akbar keesokan harinya. Celakanya, pagi-pagi, Marzuki sudah keduluan "disemprot". "Kalau ada pertemuan lagi, mbok saya dikasih tahu," kata Fahmi menirukan ucapan Akbar.
Kubu Yudhoyono memang menjalankan pola pendekatan yang berbeda dengan kubu Mega. Sementara Mega mendekati Golkar secara organisatoris, SBY lebih cenderung mengabaikan ikatan partai. Pola ini terbentuk karena kepercayaan mereka kepada dukungan masyarakat pada pemilu presiden putaran pertama.
"Langkah Kalla itu justru memecah belah Golkar," kata Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Rambe Kamarulzaman. Yudhoyono menyangkal. Menurut dia, apa yang dilakukan Kalla hanya untuk merespons aspirasi Golkar sendiri. "Tidak sedikit internal Golkar yang memberikan dukungan kepada kami berdua," ujarnya.
Mungkin karena gerilya SBY dilakukan ke akar dan bukan ke pucuk Beringin, Akbar membalik badan ke arah Mega. Katanya, Golkar dan PDIP memiliki chemistry yang sama. Ada perhitungan Mega dipilih karena ia hanya punya kesempatan jadi presiden satu kali lagi. Jika mendukung Yudhoyono, Akbar, yang berminat maju ke pemilu presiden 2009, bakal terganjal. "Sampai saat ini, Akbar masih calon terkuat untuk menduduki kursi presiden dari Golkar nanti," kata Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Bomer Pasaribu.
Dengan fakta itu, dukungan pimpinan Golkar kepada Mega memang lebih mengerucut. Hasil rapat harian DPP Golkar Rabu dini hari pekan lalu memberikan sinyal itu. Opsi netral yang sempat diusulkan dua pengurus harian tidak mendapat tanggapan. Sebagian besar menghendaki agar partai memilih salah satu calon. Dari 18 suara, 12 orang memilih berkoalisi dengan Mega, tiga abstain, dan sisanya ke SBY-Kalla.
Dalam rapat pleno, "Delapan puluh persen ke Mega," kata Mahadi Sinambela. Namun, menurut Akbar, penentuan itu masih harus menunggu hasil pertemuan Yudhoyono. Kamis malam, SBY memang bertandang ke rumah Akbar. Dalam pertemuan selama satu jam lebih itu, mereka mengaku telah berdialog meski tidak sampai pada tawaran koalisi ataupun bagi-bagi kursi kabinet. "Namun masih ada waktu bagi Pak Yudhoyono untuk berkomunikasi sebelum kami benar-benar memutuskan pilihan dalam Rapimnas," kata Akbar lagi.
Tapi secara pribadi Akbar sebetulnya lebih condong ke Mega. Menurut seorang pengurus partai, Akbar tak happy dengan orang di sekeliling Yudhoyono yang pernah menjadi rivalnya dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar 1998. Mereka bahkan kemudian menyempal dari Golkar dan mendirikan partai baru, seperti mantan Menteri Pertahanan Edi Sudradjat dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman.
Pertanyaannya kemudian: meski Golkar memihak Mega, akankah massa Beringin di bawah mematuhi titah paduka dari Jakarta? Tidak selalu. Ambillah contoh di Pulau Jawa. Dalam dua pertemuan pengurus Golkar tingkat provinsi dan kabupaten se-Jawa Tengah pada 23 Juli dan 9 Agustus lalu, pengurus mengaku belum menentukan sikap. "Tapi, dari 35 dewan pimpinan daerah II yang ada, mayoritas cenderung mendukung SBY-Kalla," kata Jazeri, Ketua Golkar dari Demak.
Jawa Timur idem dito. Pejabat Humas Golkar Fredy Utomo mengatakan, dalam rapat koordinasi Jumat pekan lalu, 20 dari 38 dewan pimpinan daerah (DPD) II di provinsi itu mendukung Yudhoyono-Kalla. "Dukungan itu bukan karena faktor SBY, tapi karena Jusuf Kalla," kata Ketua DPD II Kediri, Tamam Mustofa.
Di Jawa Barat lain lagi. Meski telah dikunjungi Kalla, Ketua Golkar Tanah Pasundan Nurhaman mengaku memilih netral. Menurut dia, Golkar tidak perlu berkoalisi dengan partai mana pun karena masyarakat Golkar sudah punya pilihan masing-masing. "Jadi, meski yang di atas mau ke kiri, kalau di bawah ingin ke kanan, ya, ke kanan," ujarnya.
Kader Golkar Yogyakarta terpecah. Sebagian mendukung Mega-Hasyim, sebagian lagi memilih Yudhoyono-Kalla. Karena itu, mereka belum memutuskan untuk mendukung salah satu calon presiden yang maju ke pemilihan presiden putaran kedua itu. Namun, menurut Ketua Golkar Kota Madya Yogyakarta, Muhammad Najib, aspirasi warga arus bawah Golkar Yogya cenderung ke Yudhoyono. "Tapi kami membebaskan kader beraspirasi sesuai dengan hati nurani," ujarnya. Di Banten, Golkar setempat menyatakan akan memberikan kebebasan kepada warga Golkar untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani. Kata Humaidi, Sekretaris Umum Golkar Banten, "Kendati hasil rapat pimpinan nanti Partai Golkar mendukung Mega, saya tak bisa menjamin instruksi itu akan berjalan mulus di tingkat grass root."
Di luar Jawa, pilihan sangat beragam. Ketua DPD Golkar Bali, I G.N. Alit Yudha, tak canggung menerima kunjungan Kalla. "Beliau kan juga kader Golkar," katanya. Berbeda dengan pengurus Golkar di tingkat provinsi, di Denpasar dukungan justru diarahkan kepada Megawati. "Kami siap mengamankan target PDIP pada pemilihan presiden putaran kedua,'' ujar Ketua Beringin Denpasar, I Ketut Suwandhi.
Suara mengambang terdengar dari pengurus Golkar di sejumlah provinsi di Sumatera. Di Sumatera Utara, Beringin terpecah. Karena itu, sikap mereka baru ditentukan setelah Rapimnas. Di Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan, pengurus juga menunggu pertemuan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Adapun pengurus Golkar di Sulawesi tampaknya cenderung memilih SBY-Kalla. Ini tak aneh: Kalla berasal dari Sulawesi Selatan.
Melihat gambaran sekilas itu, tampaknya pucuk Golkar memang tak mudah mendikte ranting, cabang, dan akar mereka. Dari 35 suara yang akan diperhitungkan dalam Rapimnas nanti, 32 suara berasal dari daerah tingkat satu dan 3 suara dari pusat, organisasi pendiri, dan organisasi sayap. Menurut hitungan seorang pengurus Golkar, 25 DPD I lebih menginginkan Golkar berkoalisi dengan Yudhoyono. "DPD II lebih banyak lagi," ujarnya.
Golkar pecah? Akbar dan para petinggi partai menolak dugaan itu. Mereka berjanji untuk meyakinkan para pengurus daerah agar memilih Mega dalam pemilu presiden putaran kedua nanti. "Dengan mekanisme partai, kita akan menjelaskannya sampai ke bawah," kata Akbar bersungguh-sungguh.
Tapi tak ada jaminan titah Akbar itu bakal terlaksana. Dalam konvensi Golkar lalu, Akbar malah tak terpilih meski ia sudah berteriak-teriak agar pengurus daerah memilihnya. Apalagi dalam Pemilu 2004 presiden dipilih langsung, sehingga tak ada yang bisa memaksakan kehendak. Soejatno Pedro, Wakil Ketua Golkar Jawa Tengah, mengaku akan tunduk pada keputusan Rapimnas. Namun ia mengaku kesulitan menjelaskan kepada pendukung Golkar jika pada pemilu presiden putaran kedua nanti harus mendukung Mega. "Tiga bulan lalu kita bersaing dan menjelekkan PDIP. Masa, sekarang mendukungnya?" ujarnya.
Pemilu 2004 memang mengubah segala asumsi: pucuk Beringin tak bisa selalu sama dengan akar dan ranting.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina (Jakarta),
Tarik Ulur Suara Golkar
6 Juli
Jusuf Kalla bertandang ke rumah Akbar Tandjung.
8 Juli
Fahmi Idris menyatakan Golkar cenderung berkoalisi dengan pasangan SBY-Kalla.
14 Juli
Sejumlah politisi Golkar seperti Sofyan Mile, Yahya Zaini, Ibrahim Ambong, Fachri Andi Laluasa bertemu di Hotel Mulia Jakarta. Mereka membahas dukungan ke SBY-Kalla.
19 Juli
24 Juli
28 Juli
Akbar bertemu Wiranto dan Salahuddin Wahid di Hotel Shangri-La, Jakarta. Wiranto meminta Golkar dan PKB tak melakukan koalisi sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi soal gugatan kecurangan pemilu.
30 Juli
Akbar bertemu dengan Megawati dan Taufiq Kiemas di kediamannya, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Akbar mengaku ditawari bekerja sama dengan PDIP dalam pemerintahan mendatang.
1 Agustus
Kalla bertemu 24 pengurus Partai Golkar yang dikomandani Fahmi Idris dan Marzuki Darusman di Hotel Regent. Pertemuan itu untuk menjajaki kemungkinan pelimpahan suara Golkar ke SBY-Kalla.
2 Agustus
Akbar menelepon Marzuki Darusman meminta konfirmasi soal pertemuan Kalla dengan fungsionaris Partai di Hotel Regent.
3 Agustus
Dalam rapat harian Partai Golkar, Fahmi Idris dan Marzuki Darusman dimintai klarifikasi soal pertemuannya dengan Kalla beserta belasan fungsionaris partai lain di Hotel Regent.
4 Agustus
Kalla minta elite Partai Golkar konsisten pada pemilihan presiden. Selama setahun, Golkar berkampanye pemerintahan Mega kurang berhasil tapi kenapa tiba-tiba Golkar mengkampanyekan Mega.
5 Agustus
Kalla bertemu pengurus Partai Golkar se-Bali di Hotel Bali Tropic, Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali. Menurut Kalla, pertemuan itu atas inisiatif kedua belah pihak.
7 Agustus
8 Agustus
Kalla bertemu dengan sejumlah pengurus Partai Golkar dan 18 DPD Golkar di Hotel Hilton, Jakarta. Pertemuan itu khusus menyokong pasangan SBY-Kalla dalam putaran kedua.
9 Agustus
10 Agustus
- Marwah Daud temui Mega di Istana Merdeka.
- Rapat harian DPP Golkar yang berlangsung hingga dini hari memutuskan Golkar sebaiknya berkoalisi dengan salah satu calon presiden.
11 Agustus
12 Agustus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo