Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Google meluncurkan platform Wildlife Insights berteknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membantu upaya konservasi pelestarian lingkungan. Tujuannya adalah membantu memproses salah satu basis data foto terbesar dan paling beragam di dunia yang diambil dari kamera yang diaktifkan dengan gerakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program Manager Google Earth Outreach Tanya Birch menjelaskan bahwa hal itu dilakukan melalui ribuan camera trap yang ditempatkan di seluruh dunia yang dipantau organisasi konservasi untuk mengambil gambar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Wildlife Insights tersedia untuk umum, memungkinkan orang untuk mengeksplorasi gambar camera trap dan memfilternya berdasarkan spesies, negara, dan tahun. Model AI Google terlatih di cloud dan menjalankan data melalui model dengan latensi rendah, dan memungkinkan Wildlife Insights menganalisis hingga 3,6 juta foto per jam,” ujar Birch melalui video converence di Google Indonesia, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
Saat ini Google bekerja sama dengan organisasi konservasi internasonal yaitu Smithsonian’s Natonal Zoo and Conservation Biology Institute, North Carolina Museum of Natural Science, Map of Life, World Wide Fund for Nature, Wildlife Conversation Society dan Zoological Society of London, dengan dukungan dari program Google Earth Outreach, Gordon and Betty Moore Foundation, dan Lyda Hill Philantropies. Termasuk dengan Wildlife Conservation Society di Bukit Barisan, Sumatra,
Banyaknya gambar membuat sulit memilah-milah gambar secara efisien, dan tidak setiap hewan mudah dikenali, terutama ketika berada di kegelapan atau bersembunyi di balik semak-semak. Lebih dari 80 persen foto tidak mengandung hewan sama sekali karena perangkap kamera dipicu oleh gerakan.
Platform tersebut, kata Birch, dapat membantu melatih model untuk mengklasifikasikan spesies dalam gambar menggunakan kerangka pembelajaran mesin TensorFlow open source. Dan untuk secara otomatis menghapus foto yang tidak mengandung gambar binatang.
“Ini mencapai akurasi tinggi sebanyak 614 spesies, dengan akurasi klasifikasi 80 persen hingga 98,6 persen untuk spesies seperti jaguar dan gajah Afrika, serta satwa liar yang lebih jarang, seperti pecularis berbibir putih,” kata Birch.
Dengan data itu, Birch melanjutkan, pengelola kawasan lindung atau konservasi dapat mengukur keadaan spesies tertentu, dan pemerintah daerah dapat menggunakan data untuk menginformasikan kebijakan dan membuat tindakan konservasi.
Di seluruh dunia, populasi mamalia, burung, ikan, reptilia, dan amfibi telah menyusut 60 persen sejak periode 1970-an, menurut World Wildlife Fund (WWF). Sebuah laporan global dari PBB menemukan bahwa satu juta spesies binatang terancam punah saat ini, bahkan banyak di antaranya mungkin akan punah dalam satu dekade ke depan.
“Sementara kita baru saja menerapkan AI untuk lebih memahami satwa liar dari sensor di lapangan, solusi seperti Wildlife Insights dapat membantu kita melindungi planet kita sehingga dapat menghindari kepunahan,” tutur Birch.
Untuk melindungi margasatwa dengan lebih baik, para peneliti dan ahli biologi mulai memanfaatkan kamera sensor gerak untuk memantau jumlah spesies di suatu wilayah beserta pola pergerakan dan aktivitas mereka. Kamera sensor gerak mengambil sejumlah foto setiap kali dilewati hewan, yang kemudian dimanfaatkan peneliti untuk mempelajari lebih jauh keadaan populasi mereka.
Sekarang, dengan Wildlife Insights, mereka dapat berfokus pada upaya pelestarian. “Peneliti dapat mengupload data ke Google Cloud dan menganalisis citra dengan model AI pengidentifikasi spesies yang disediakan Google, memvisualisasikan margasatwa dengan Google Maps, dan membuat laporan untuk membagikan insight ini kepada pihak lain,” tutur Birch.