Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT musim kampanye lalu, calon Presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton, harus meladeni berbagai pertanyaan dari Biro Investigasi Federal (FBI). Clinton dicurigai membocorkan rahasia negara lantaran tak memakai akun e-mail resmi pemerintah, tapi menggunakan e-mail pribadi saat menjabat Menteri Luar Negeri Amerika periode 2009-2013. Beberapa hari menjelang pemungutan suara, FBI menyatakan Clinton bersih. Tapi skandal e-mail ini menjadi bulan-bulanan pesaingnya, Donald Trump.
Trump, dan sebagian warga Amerika, pantas khawatir atas penggunaan e-mail pribadi untuk urusan negara. Sebab, e-mail pribadi sangat rentan disusupi peretas. Salah satu teknik membobol akun e-mail adalah spear phising. Caranya, si peretas membuat akun palsu dan mengirim surat elektronik pancingan untuk mencuri data yang diinginkan dari jaringan target.
Untuk mengamankan lalu lintas dokumen rahasia dari peretas, sebuah perusahaan besar biasanya menyewa jasa keamanan cyber. Saat ini ada dua sistem keamanan cyber yang lazim digunakan, yakni dengan bantuan manusia dan mesin. Yang pertama mengandalkan sistem yang dibuat para ahli teknologi informatika. Sayangnya, sistem ini memiliki kelemahan terhadap serangan baru yang belum terdaftar dalam sistem mereka. Adapun sistem kedua menggunakan pendekatan machine-learning. Mesin dilatih mendeteksi sesuatu yang mencurigakan, seperti serangan peretas. Hanya, pada akhirnya, tetap saja ada campur tangan manusia untuk menyelesaikannya.
Nah, bagaimana bila ada sebuah sistem yang mampu menjaga kerahasiaan sebuah informasi tanpa bantuan manusia sama sekali? Dalam sebuah tulisan berjudul "Learning to Protect Communications with Adversarial Neural Cryptography", yang terbit dalam jurnal online arXiv edisi Oktober 2016, tim Google Brain—unit riset fundamental Google—mengatakan hal tersebut sangat mungkin. Jurnal ini pun secara rinci mengulas bagaimana dan kapan teknologi artificial intelligence (AI) akan mengubah kriptografi, kunci dasar enkripsi, saat ada serangan dari luar.
"Bisa Anda bayangkan, mesin berperan sebagai sebuah analis sekaligus benteng pertahanan virtual," tulis Michael Abadi, pakar algoritma teori Google Brain, dan David Andersen, peneliti ilmu komputer dari Carnegie Mellon University di Pittsburgh, Amerika Serikat, dalam jurnal tersebut.
Artificial intelligence adalah kecerdasan buatan yang ditambahkan dalam suatu sistem entitas ilmiah, seperti JARVIS (Just A Rather Very Intelligent System)—komputer pintar milik tokoh fiktif Tony Stark dalam film Iron Man. Kecerdasan tersebut ditambahkan ke dalam suatu mesin agar bisa melakukan pekerjaan layaknya seorang manusia. Beberapa macam bidang yang menggunakan AI antara lain sistem pakar, logika fuzzy, robotika, dan jaringan saraf tiruan.
Untuk menguji sistem pertahanan AI yang dibuat oleh tim Google Brain, Abadi dan Andersen menciptakan tiga entitas jaringan saraf tiruan yang memiliki kemampuan serupa dengan tugas masing-masing, yakni Alice, Bob, dan Eve. Alice harus mengirimkan dan membuat enkripsi pada sebuah pesan. Bob bertanggung jawab menerima dan membuka pesan tersebut. Sedangkan Eve bertugas membongkar informasi yang mengalir di antara keduanya.
Contoh bagus soal "pertarungan" ketiganya itu tergambar dalam film The Imitation Game (2015) besutan Morten Tyldum. Alice ibarat Nazi Jerman yang mengirimkan pesan kepada Italia dan Jepang (dalam hal ini diperankan oleh Bob) melalui pesan terenkripsi menggunakan mesin enigma. Adapun Eve adalah Alan Turin—bapak komputer modern digital—di kubu Sekutu yang berusaha membongkar pesan tersembunyi tersebut. Turin berhasil meretas pesan yang dikirimkan Nazi. Namun, sebaliknya, Eve gagal membongkar pesan dari Alice.
Menariknya, para peneliti tak mengajarkan apa pun tentang cara mengenkripsi pesan serta algoritma kriptografi dasar kepada Alice dan Bob. "Mereka belajar dengan mengakali satu sama lain," tulis Abadi dan Andersen. Keduanya hanya mengajarkan untuk membuat ribuan iterasi—metode matematika yang digunakan secara berulang untuk memecahkan sebuah masalah—dengan algoritma yang juga selalu berubah. Dengan begitu, sistem mampu belajar dengan cepat cara memecahkan masalah, bahkan membuat dan membuka enkripsi.
Untuk 7.000 pesan pertama, Alice dan Bob mulai dengan cara yang sederhana. Enkripsi buatan Alice cukup mudah untuk dipahami Bob, tapi bukan berarti gampang ditebak Eve. Sedangkan dalam 6.000 pesan berikutnya, keduanya mulai menyusun jenis enkripsi yang sama sekali tak bisa diretas Eve. Bob sangat lihai menebak enkripsi yang dikirim Alice tanpa satu pun kesalahan. Adapun Eve selalu berhenti di kunci ketujuh dari 16 kunci yang benar.
Model pengamanan ini berbeda dengan metode enkripsi yang ada pada aplikasi pengirim pesan singkat populer, seperti WhatsApp dan Telegram. WhatsApp menawarkan end-to-end encryption untuk setiap pesan yang dikirim. Untuk mengacak kode data yang terkirim, aplikasi ini menggunakan Signal Protocol rancangan Open Whisper Systems. Kode pada message key selalu berubah untuk setiap pesan yang dikirim.
Message key tak bisa direkonstruksi oleh siapa pun. Sebab, kunci ini tak pernah disimpan. Cara kerjanya mirip token PIN yang digunakan pada Internet banking. Hanya, kode PIN pada WhatsApp berubah-ubah dengan sendirinya. Adapun Telegram menggunakan metode enkripsi 256-bit simetrik AES, Enkripsi RSA 2048, dan Diffie Helman. Cara kerjanya tak jauh berbeda dengan model enkripsi WhatsApp. Baik kode WhatsApp maupun Telegram dibuat oleh tim perancang yang terdiri atas sekumpulan manusia, bukan kecerdasan buatan seperti halnya metode rancangan tim Google Brain.
Jacob Ginsberg, Direktur Senior Echoworx, perusahaan perangkat lunak enkripsi yang berbasis di Toronto, Kanada, mengatakan sistem artificial intelligence yang dibuat Google Brain berpotensi meningkatkan keamanan bidang informasi. "Akan menarik melihat bagaimana teknologi ini berkembang dalam beberapa tahun ke depan dan penerapannya di dunia bisnis," ujarnya seperti dikutip dari SCMagazine. Ginsberg menyatakan Alice dan Bob memiliki kunci enkripsi yang aneh dan tak terduga, mengingat enkripsi yang dibuat mereka bukan buatan manusia.
Michael Scott, Kepala Kriptografi Multiprecision Integer and Rational Arithmetic C/C++ Library (MIRACL), menganggap percobaan Alice dan Bob termasuk hal yang biasa. Ia beralasan, keduanya hanya berbagi kunci dasar dan memotong salah satu masalah terbesar dalam distribusi kriptografi. "Namun inilah percobaan sederhana terbaik yang pernah ada," ucapnya. MIRACL adalah lembaga "perpustakaan" yang merancang nomor-nomor kriptografi dan mengaplikasikannya di dunia nyata.
Sedangkan Pedro Domingos, profesor ilmu komputer dari University of Washington dan pembuat AI, memprediksi metode ini akan sangat bermanfaat di masa mendatang. Seperti dikutip dari WIRED, ia mengatakan, "Dari formulasi ini kita bisa belajar merancang jaringan yang lebih baik."
Menurut tim Google Brain, skema kriptografi yang ada selama ini sebenarnya cukup mudah dipahami dan dapat dipecahkan oleh manusia. Tapi, suatu hari nanti, Abadi dan Andersen yakin akan ada perangkat yang dapat bekerja bersama-sama dalam menghasilkan skema enkripsi buatan yang lebih kuat daripada yang bisa dibayangkan manusia saat ini.
Entah terinspirasi dari Google Brain entah kapok atas kasus skandal e-mail, yayasan amal bentukan Hillary dan suaminya, Bill Clinton, kini menyewa jasa keamanan cyber FireEye untuk menjaga berbagai dokumen rahasia mereka. Namun, seperti dikutip dari WatchGuard Technologies, sehebat apa pun teknologi diciptakan, penjahat cyber selalu ada dan siap mencari korban baru.
Amri Mahbub (Wired, Research.google, Politico)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo