Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan menunggu. Di lapangan yang sepi, pasukan penyelamat itu menunggu datangnya seorang pasien. Di penghujung 2005, di pinggiran barat Aceh, pasukan itu datang dengan "amunisi" berkotak-kotak obat, beberapa tenda, mobil klinik yang canggih. Juga, dokter-dokter spesialis yang siap menjadi juru selamat bagi korban-korban tsunami. Di klinik itu bukan cuma urusan mengoleskan salep menyambung tulang yang bisa dilakukan. Bahkan urusan identifikasi mayat pun bisa dilakukan, karena mereka datang dari sebuah kota di daratan Eropa dengan memboyong peralatan uji DNA (materi genetik yang bisa membuktikan sang mayat berkerabat dengan siapa).
Namun, dua pekan menanti di lapangan itu, para sukarelawan asing itu cuma berkawan dengan segelintir penduduk serta nyamuk. Tak ada satu pasien pun yang datang ke klinik kecil yang canggih itu. Baru pada hari ke-14 pasien yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pasien itu datang cuma ingin mengobati borok kecilnya!
Ini mubazir. Dan situasi ini memprihatinkan sejumlah petinggi di sebuah perusahaan multinasional yang berkantor di Jakarta. Salah satunya adalah Rizal I. Shahab. Pria yang bekerja di Alcatel Indonesia itu berpikir: begitu banyak duit yang ditumpahkan ke ranah Aceh pasca-tsunami, tapi begitu banyak yang cuma mendatangkan kesia-siaan. "Semua itu karena minimnya saluran komunikasi di sana," kata Rizal, Corporate Communication Manager Alcatel Indonesia.
Rizal dengan teman-temannya Juli ini berencana memasang sebuah kotak telepon pintar (Private Automatic Branch Exchange, yang biasa disebut PABX). Ini kotak telepon yang bisa mengatur lalu lintas telepon yang biasa dipasang di kantor-kantor sehingga bila ada panggilan masuk bisa disalurkan ke pesawat telepon yang dituju. Hanya, yang mau dipasang Rizal bukanlah PABX konvensional, melainkan PABX yang memungkinkan orang bertelepon lewat internet (Voice over Internet Protocol, VoIP). Dengan kotak ini, para sukarelawan bisa menelepon kolega mereka di belahan bumi lain atau di kota lain di Aceh dengan sangat murah.
Meskipun jaringan yang digunakan adalah internet, tapi mereka tidak harus berbicara di depan komputer. Kotak pintar itu dipasang sepaket dengan telepon nirkabel. Pencet tombol dan bicara seperti memakai telepon nirkabel yang kini banyak dipakai di rumah-rumah. Karena menggunakan teknologi nirkabel, para juru penolong di Aceh itu tak harus terpatok di kantor. Dengan teknologi wireless local loop (WLL), telepon nirkabel itu bisa ditenteng-tenteng sejauh 300 meter dan tetap bisa terhubung.
Rencananya, sepaket kotak telepon pintar beserta telepon nirkabel yang harganya sekitar US$ 15 ribu (sekitar Rp 144 juta) ini akan dipasang di Simeuleue. Tiga paket lainnya akan dipasang di Banda Aceh, Medan, dan Jakarta. Peralatan-peralatan itu akan dipasang di Care International, organisasi nirlaba yang khusus mengurusi kemiskinan dan korban bencana alam. Di setiap kantor itu, Alcatel mendonorkan kotak telepon pintar tipe OmniPCX Enterprise, 10 telepon nirkabel, serta beberapa telepon meja.
Cara kerjanya sederhana. Menurut Adios Purnama, Pre-Sales Manager Alcatel Indonesia. Nun di ujung Simeulue, kotak telepon ini akan dihubungkan ke antena parabola. Antena ini akan menghubungkan telepon itu ke satelit. Ketika seseorang berbicara dengan sebuah telepon nirkabel, sinyal suara itu dikirim ke kotak Omni. Di kotak telepon itulah data suara itu diubah menjadi data digital dan disalurkan ke satelit dengan menggunakan jaringan internet. Seorang sukarelawan di Simeulue, misalnya, bisa menghubungi kawannya di Banda Aceh atau Medan untuk meminta tambahan bantuan obat dan peralatan seperti memencet sebuah nomor ekstensi di sebuah kantor. Semua panggilan itu tanpa perlu ongkos roaming atau tarif Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Mereka juga bisa menghubungi kantor pusat Care International di Swedia tanpa harus membayar ongkos Sambungan Langsung Internasional (SLI). Atau kalau sukarelawan dari Simeulue itu datang ke kantor di Medan, telepon nirkabelnya asal Simeulue ini juga langsung bisa dipakai di Medan.
Itulah pesona teknologi VoIP yang sudah dikemas dalam satu kotak seukuran komputer minus layar monitor. Selain bisa untuk bertelepon, berselancar di internet pun bisa menggunakan alat ini. Cukup colokkan kabel jaringan dari laptop ke PABX pintar ini dan internet pun wus-wus-wus . "Alat ini ringan, mudah dibawa dan pasangnya pun mudah. Dua jam pasti sudah beres," kata Adios.
Aplikasi VoIP untuk perkantoran ini juga telah dilirik PT Excelcomindo Pratama atau XL. Operator jaringan ponsel berbasis GSM (Global System for Mobile) ini telah menjual layanan VoIP khusus untuk pelanggan korporat. Menurut A. Putranto, Vice President Business Corporate Solutions XL, layanan ini diintegrasikan dengan layanan jaringan ponsel GSM. Perusahaan yang berlangganan layanan ini akan dihubungkan dengan jalur khusus ke kantor XL. XL menjamin layanan VoIP melalui PABX ini jauh lebih murah ketimbang dengan layanan VoIP konvensional ang memakai kartu telepon. Soalnya, dengan teknologi XL, paket data suara yang dikirim lebih kecil daripada paket VoIP biasa, sehingga lebih efisien. Soal kualitas suara, menurut Putranto, cukup jernih. "Yang ditelepon tak akan tahu apakah telepon itu menggunakan saluran VoIP atau telepon biasa," ujarnya.
Gelombang VoIP telah tiba. Teknologi itu tak cuma mengubah cara berkomunikasi, tapi juga cara berbisnis. Procter & Gamble adalah contohnya. Produsen sampo dan aneka kebutuhan keluarga itu tak lagi melakukan riset sendiri untuk produk-produknya. Urusan penting itu kini diserahkan kepada 80 ribu peneliti independen yang tersebar di 173 negara. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan VoIP atau surat elektronik.
Salah satu periset independen itu adalah Drew Buschhorn, 21 tahun, sarjana kimia dari University of Indiana, Bloomington. Dia menemukan bahan kimia ketika sedang membantu ibunya mencelup pakaian. Kata bos perusahaan pemasok riset independen, InnoCentive Darren, J. Carroll, "Demokratisasi sains telah tiba."
Burhan Sholihin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo